Mungkin jarang yang tahu siapa itu Luc Besson, bukan? Bagaimana jika
disebutkan beberapa film seperti Transporter, 3 Days To Kill, dan Taken? Ya,
nama Luc Besson memang sudah tidak asing lagi di film-film aksi spionase. Pria
asal perancis ini mungkin lebih banyak mengambil andil dalam menuliskan setiap
adegan lewat naskah. Pun dia juga pernah mengarahkan filmnya sendiri dan pernah
menyapa penontonnya di tahun lalu lewat Malavita atau The Family.
Kali ini, sineas perancis ini kembali menyapa penontonnya. Dengan
didistribusikan oleh Universal Pictures, Luc Besson mengajak aktris cantik
Scarlett Johansson di film terbarunya. Terlalu lama berkutat dengan film
spionase, Luc Besson menjajal genre baru yaitu Science Fiction. Sineas asal
perancis, Luc Besson mendapat kesempatan untuk mengarahkan dan menulis sendiri
film terbarunya dengan judul Lucy.
Apa yang ditawarkan oleh Lucy sebagai film science fiction? Dimulai
saat Lucy (Scarlett Johansson) diberi perintah oleh sang cinta satu malamnya
untuk mengantarkan koper kepada Mr. Jang (Choi-Min Sik). Pada awalnya, Lucy
tidak mau hingga akhirnya Lucy terpaksa mengantarkannya ke MR. Jang karena
tangan Lucy terkunci dengan koper yang harus diantar. Lucy pun berusaha menemui
Mr. Jang agar bisa melepaskan diri dari koper tersebut.
Na’as, bertemunya Lucy dengan Mr. Jang malah merubah kehidupan Lucy.
Mr. Jang adalah gangster yang melakukan transaksi narkoba versi terbaru, CPH4
yang harus dikirim ke berbagai belahan dunia. Lucy dijadikan seorang kurir yang
mengantarkan paket CPH4 di dalam perutnya. Suatu ketika, paket berisi CPH4 di
dalam perutnya ini bocor dan meracuni organ tubuhnya. Tak disangka, CPH4
mengubah Lucy sehingga bisa menggunakan kemampuan otaknya hingga 100 persen.
Risky way to talk about human.
Setelah lama terus berkutat pada proyek-proyek film spionase, Luc
Besson menjajal genre Science Fiction yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya.
Lucy memang memiliki tidak menawarkan hal baru untuk film ini. Sebuah obat
sintetis buatan baru yang merubah kegunaan organ tubuh manusia yang sudah
pernah digunakan di film Limitless.
Tetapi, sesuatu berbeda digunakan oleh Luc Besson dalam presentasi di film Lucy
kali ini.
Apa yang berbeda? Ya, penggunaan narasi untuk memaparkan setiap adegan
film Lucy inilah yang berbeda. Mungkin, Luc Besson menginginkan sesuatu
eksperimental namun tetap mempertahankan gaya khas Luc Besson dalam film-film
spionase-nya seperti biasa. Ditilik dari bagaimana Lucy ini memaparkan proses
evolusi manusia bisa dibilang mencomot atau berkiblat pada film milik Stanley
Kubrick's 2001 : A Space Odyssey (dan memang Luc Besson terinspirasi dari film tersebut) bertemu dengan Terrence Malick's The Tree of Life.
Menawarkan beberapa lambang atau pun simbol metaforik yang menuntun
penonton ke dalam 89 menit tentang Lucy dan perubahannya. Visual layaknya
sel-sel, proses terbentuknya bumi, zaman pra-histori yang bisa dibilang berada
di luar konteks film Lucy sendiri menemani penonton untuk menangkap sendiri
makna dari narasi Luc Besson yang tidak seperti biasanya. Sangat mengejutkan
terlebih film Lucy ini sendiri masih dipromosikan sebagai film science fiction
mainstream untuk menarik penonton.
Lucy bisa dibilang adalah sebuah film yang eksperimental bagi Luc
Besson. Mungkin di film ini, sineas asal perancis ini berusaha untuk keluar
dari zona nyamannya untuk menyajikan sebuah film science fiction yang juga
masih penuh dengan signature ala dirinya tetapi dengan penuturan metaforik yang
merupakan hal yang baru baginya which is
good but there’s something bad happened too in this movie. Ya, sesuatu yang
cukup riskan untuk memaparkan narasi film Lucy dengan cara yang berbeda ini
karena akan membuat penontonnya terbelah ke dalam dua kubu yang berbeda. Di
mana akan ada penonton yang menyukainya dan ada penonton yang akan sangat membenci
film Lucy.
Tetapi Lucy bukan berarti suatu film metaforik masterpiece dengan unsur fiksi ilmiah layaknya 2001 : A Space Odyssey. Lucy masih memiliki banyak keterbatasan
yang harusnya bisa diolah ulang agar lebih baik. Film ini terkesan ambisius
untuk memaparkan narasinya yang absurd itu dengan fast pace non-stop action
yang menarik penonton awam. Akhirnya, film ini seperti memiliki dua babak yang
berdiri sendiri dan mencoba untuk dipersatukan tetapi masih ada dinding yang
membatasi hal tersebut.
Untuk sebuah film science
fiction pun, konsentrasi Luc Besson masih tidak bisa terfokus dan meninggalkan
signature-nya. Akhirnya, Lucy pun not stay
on the science fiction track tetapi menjadi film aksi non-stop di segmen
kedua filmnya. Kesan ambisiusnya untuk mencoba keluar dari zona nyamannya pun
terlalu berlebihan. Ya ada baiknya untuk Luc Besson, akhirnya dia
berkonsentrasi di bagian cerita agar berjalan seimbang. Tetapi, hal tersebut
malah membuat Luc Besson tersesat dan tidak tahu bagaimana caranya untuk
membawa cerita menarik ini berakhir.
Ending film bisa dibilang hampa dan tidak memiliki pengertian yang
cukup jelas. Sepertinya Luc Besson memang sengaja untuk memberikan sebuah
ending yang hampa tersebut tanpa penjelasan yang cukup agar penonton bisa
berinterpretasi sendiri dengan adegan tersebut. Beberapa akan menyebut ending
tersebut menggelikan meskipun 10 menit akhir adalah sebuah perjalanan evolusi
yang cukup memiliki arti lambang yang cukup dalam.
Seperti halnya karakter Lucy di film ini yang tak sengaja menjadi
kelinci percobaan dari obat sintetis CPH4, film arahan Luc Besson ini pun
bernasib sama. Ini sesuatu eksperimental karya Luc Besson yang mencoba keluar
dari zona nyamannya. Menarik jika disimak ketika filosofi penggunaan otak
manusia hingga proses evolusi yang ditampilkan secara metaforik dan di-blend
dengan non-stop fast paced action ala Luc Besson. Meskipun terlalu over the top
dan penanganan yang masih mediocre, Lucy belum bisa menjadi masterpiece tetapi ini adalah sebuah film science fiction
yang sayang untuk dilewatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar