Urgensi, kata yang tepat dan selalu menjadi poin menarik di setiap
film-film tentang seseorang atau biografi. Menilik tujuan seperti apa yang ingin diwujudkan
lewat beberapa sineas setelah menyelesaikan proyek film biografi.
Beberapa poin ini memang terkadang masih terkesan bias, karena masih
ada kepentingan politik yang berusaha ingin disampaikan. Memang, film sejatinya bisa
digunakan sebagai alternatif penyampaian pesan, film memiliki misi dari pembuatnya. Sehingga, metode ini kerap
digunakan sebagai medium untuk membangun atau mengembalikan sebuah citra.
Juga ada Relevansi, kata yang tepat setelah menonton sebuah film
biografi. Apa yang berusaha dibangun dan ingin disampaikan oleh
menonton akan berdampak pada bagaimana seseorang memiliki paradigma dengan
sosok tersebut. Dua poin itu juga yang membuat Riri Riza ingin mengabadikan
secara visual tentang sosok Ibu Jusuf Kalla bernama Athirah. Memoir tentang
Athirah telah pertama kali dituliskan ke dalam bentuk buku oleh Albethiene
Endah. Sehingga, ‘Athirah’ versi film ini adalah adaptasi dari buku dengan
judul sama.
Delusi adalah hal yang terkadang mewarnai sebuah film biografi yang sedang
membangun citra kembali. Maka, alih-alih sebagai sebuah cerita dari orangnya
asli, semuanya nampak seperti sebuah cerita fiksi. Sehingga, orang-orang terkadang
mempertanyakan sebuah verifikasi dalam sebuah kisah dalam filmnya sebagai
komunikator. Lantas, hal tersebut sepertinya membuat Riri Riza berhati-hati
dalam menyampaikan pesan dalam film ‘Athirah’. Kekuatannya ada pada narasi dari
naskah adaptasi yang ditulis secara kooperatif oleh Riri Riza dan Salman Aristo
serta pengarahannya yang detil.
Athirah (Cut Mini) dan Puang Haji Kalla (Arman Dewarti) membangun
sebuah keluarga kecil yang bahagia dan serba berkecukupan. Puang Haji Kalla
menjadi sosok yang dihormati di berbagai kalangan orang Makassar. Tetapi, akan
sesuatu hal, cengkrama antar Puang Haji Kalla dan Athirah mengendur tiba-tiba.
Nyatanya, Puang Haji Kalla telah memikat hati wanita lain dan Athirah merasakan
sebuah pengkhianatan pernikahan yang amat dahsyat.
Tak lama setelah itu, Athirah harus bangkit dan meninggalkan segala
jenis sakit hatinya agar dapat terus bertahan hidup. Menghidupi anak-anaknya
terutama Ucu (Christoffer Nelwan), yang selalu senantiasa mendampingi transisi
kehidupan Ibundanya. Athirah sedikit demi sedikit menguatkan hatinya agar tak
biasa bergantung dengan Puang Haji Kalla. Tetapi, problematika yang muncul di
kehidupan Athirah semakin dilematis. Puang Haji Kalla kembali ke Athirah dan
membuatnya mengingat akan puing-puing masa lalunya.
Inspiratif tanpa perlu membuatnya seperti memberikan dakwah adalah tujuan
Riri Riza dalam mengemas Athirah. Alih-alih menekankan Athirah sebagai sebuah
film Inspiratif, nyatanya Riri Riza ingin membangun adanya relevansi di benak penonton. Muncul sebuah kesan,
bahwa Athirah adalah sosok yang perlu diberi sorotan lebih, apalagi, sosoknya
sebagai perempuan. Tak perlu sebuah peristiwa hidup yang megah sebagai
titik balik, hanya sebagai seorang perempuan biasa yang dapat bertahan hidup
sendiri menjadi kekuatan dari sosok Athirah ini.
Terlepas dari Athirah adalah sebuah film yang sedang menceritakan
tentang seseorang di balik sosok mahsyur negeri ini, Riri Riza memanfaatkannya sebagai medium berbicara tentang
perempuan. Riri Riza merangkum segala pesan tentang kesetaraan gender dengan
penuh elegansi dalam bertutur, bukan sekedar menunjukkan superioritas ilmu
tentang feminisme secara bar bar. Permainan narasi dalam film Athirah
adalah kunci utama dari film ini. Tanpa perlu bicara banyak dengan dialog yang menggurui, Athirah akan berdampak besar kepada penontonnya dengan visual kuat yang dimiliki.
Athirah adalah gambaran seseorang perempuan lintas zaman yang masih
memiliki relevansi dengan problematika masa kini. Bagaimana Athirah sebagai
seorang perempuan dapat menjadi tolak ukur dengan berbagai atribut yang tak
jauh dari kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Terutama sosial masyarakat
di Indonesia yang masih menganut segala pendekatan budaya timur dalam menjalin
interaksi. Menunjukkan bahwa Athirah yang mewakili perempuan Indonesia juga masih memiliki
keterbatasan dalam menyampaikan opini dan haknya sebagai perempuan dan manusia.
Di sinilah Riri Riza bermain dengan medium yang dia miliki. Film ‘Athirah’
bukan hanya sebagai film tentang seseorang, tetapi juga bermain dalam wilayah
suara untuk perempuan Indonesia. Sehingga, tak ada eksklusivitas yang terjadi
dalam sosok Athirah dan tak menimbulkan efek alienasi antara karakter dan
penontonnya. Penonton yang minim ilmu feminisme dan gender pun masih bisa
mengambil sebuah kesimpulan besar tentang kekuatan seorang wanita di dalam lingkungan
sosial masyarakat.
Intimasi, poin yang ingin dibangun lagi oleh Riri Riza lewat bagaimana
karakter-karakter menampakkan diri di kamera. Dilema Athirah sebagai seorang
karakter di dalam film, --bahkan sosok penting di dunia nyata --ini berusaha
membangun relasi dengan penontonnya. Cara Riri Riza dalam membangun intimasi itu adalah dengan memperlihatkan
raut mukanya lewat pencahayaan dan pengambilan gambar yang tepat. Maka, penonton akan dapat
mengidentifikasi tujuan dari Riri Riza di dalam film ‘Athirah’ mengenai sosok
Athirah itu sendiri. Penonton berusaha berkoneksi dengan Athirah yang sedang berusaha membicarakan posisinya di bumi ini.
Riri Riza berusaha membangun pesan non verbal yang masih mempunyai
sisi naratif yang luar biasa unik, berbeda dengan beberapa film yang berusaha
penuh metafora lainnya. Athirah memang tak menyampaikan pesannya terlalu
gamblang, tetapi masih punya cara dan Riri Riza tahu akan kewajibannya untuk menuntun penontonnya mendapatkan pesan
tersebut. Masih ada sebuah plot linear yang ada di dalam Athirah sehingga
penonton merasakan sebuah transisi yang terjadi di dalam para karakternya.
Tak perlu dialog yang berakumulasi, nyatanya film Athirah mampu
memberikan sebuah permainan emosi yang Indah sebagai sebuah film biografi. Film
Athirah bermain secara visual dengan transisi seperlunya yang dapat menimbulkan
sebuah kontemplasi yang tak manipulatif. Penyampaian pesan yang dapat diterima
secara luas adalah prinsip yang masih dipegang teguh oleh Riri Riza, sehingga
film Athirah tak melupakan kewajibannya sebagai pembuat pesan dibalik idealisme miliknya saat mengemas pesan ini sendiri.
Riri Riza tak perlu berusaha keras menjadikan filmnya sebuah film
biografi inspiratif, tetapi tujuannya adalah untuk membangun ‘Athirah’ mendapat
atensi secara visual. Tak perlu terlalu bar bar menunjukkan superioritas akan
berbagai ilmu dan teori, ‘Athirah’ adalah sebuah pesan universal untuk mempertanyakan posisi
perempuan Indonesia masa kini saat menyampaikan sebuah opini. Meski ‘Athirah’
minim akan pesannya secara verbal, ini adalah kekuatan dari filnya sendiri. Masih ada kewajiban Riri Riza untuk menyampaikan pesan kepada
penontonnya dengan caranya sendiri. Bukan hanya sekedar kontemplasi yang manipulatif atau terkesan seperti cerita fiksi, tetapi ada cara sendiri lewat personifikasi yang tampil penuh akan urgensi, relevansi, dan intimasi yang hadir memikat penontonnya.
film info perlu di apresiasi nih
BalasHapusdownload film action