Anti-hero.
Akan lebih
cocok disebut untuk film ini dibandingkan sebagai sebuah film tentang superhero. Meski diangkat dari komik
dari DC yang melahirkan beberapa manusia super kelas kakap seperti Superman
atau Batman, tetapi tidak berlaku untuk film ini.
Dia adalah Harley Quinn.
Dia adalah Harley Quinn.
Karakter ini pun pada awalnya diangkat dari origin story dengan sudut pandang seorang penjahat. Tetapi, Harley Quinn diangkat untuk mendapatkan sebuah simpati untuk dan dihadirkan untuk penontonnya. Karakter ini pun sempat naik daun berkat penampilan dari Margot Robbie di film Suicide Squad. Dan tentu saja, Warner Bros dan Geoff Johns mempertahankan aktris ini untuk memerankan karakter yang sama untuk film-film DC lainnya.
Melepaskan
diri dari Suicide Squad yang mendapatkan banyak sekali kritikan pedas, Harley
Quinn pun mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan tim lain. Kali ini,
semua timnya beranggotakan para perempuan –yang menurut sang karakter utamanya
–yang membutuhkan emansipasi. Iya, sudah tidak ada lagi DC Extended Universe.
Warner Bros pun katanya ingin fokus membuat film-film solid untuk adaptasi
komik dari DC.
Dan kali ini
pun, Cathy Yan didapuk menjadi sang sutradara dan membuat filmnya terpisah dari
beberapa linimasa. Masih membahas sedikit tentang Suicide Squad milik David
Ayer, tapi tak menjadi momok utama darinya. Selain Margot Robbie sebagai Harley
Quinn, film ini juga dibintangi oleh beberapa aktor perempuan. Dari Mary
Elizabeth Winstead, Rosie Perez, Jurnee Smollett-Bell, dan Ella Jay Basco.
Tenang, masih ada Ewan McGregor dan Chris Messina juga kok.
Birds of Prey and The Fantabulous of Emancipation One Harley Quinn
Lantas, mari kita setujui untuk memanggil film ini sebagai Birds of Prey di sepanjang tulisan. Ya, biar gampang aja.
Patah hati
menjadi awal mula film Birds of Prey ini. Iya, Harley Quinn (Margot Robbie)
sedang patah hati karena ditinggalkan oleh Joker begitu saja tanpa ada
penjelasan. Tentu saja, Harley Quinn tak membuat patah hatinya larut lebih
dalam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberitahu seisi Gotham bahwa
dirinya tak lagi bersama sang kekasih. Mengetahui ini, tentu seisi Gotham
mengincar Harley Quinn.
Bukan, bukan
untuk menjadikannya pasangan. Tetapi, banyak sekali musuh-musuh berkeliaran
untuk memburunya. Ya, bisa dibilang dulu Harley Quinn selalu dilindungi oleh
kekasihnya. Tetapi, Harley Quinn tetap sosok yang tangguh untuk dikejar. Salah
satu orang yang ternyata harus berurusan dengannya adalah Roman (Ewan McGregor)
atau Black Mask. Tentu saja, Harley Quinn berusaha untuk melepaskan dirinya
dari kejaran sang musuh.
Ketika baca
sinopsis ini pun pasti akan bertanya-tanya, ini kisah tentang Birds of Prey
atau Harley Quinn ya?
Film Birds
of Prey ini memang memiliki Harley Quinn sebagai salah satu karakternya.
Bahkan, dirinya lah yang menguasai narasi utama. Sejak menit awal film pun,
cerita di film ini dibawakan oleh Harley Quinn. Dibawakan dengan unik, meskipun
tidak baru, tetapi Birds of Prey sebenarnya punya usaha untuk mengatur sendiri
narasinya sehingga terlihat segar. Narasi non-linearnya bisa menjadi sesuatu
yang ditawarkan kepada penonton dan ada intensi dari sang sutradara membuat
filmnya terkesan stylish.
Sayangnya......
Seperti
judulnya yang membuat orang berusaha keras untuk dipahami, begitu pula dengan
narasi filmnya. Plot ceritanya harusnya pun sederhana, tetapi Cathy Yan
mengambil langkah yang beresiko untuk menuturkannya. Hasilnya, Birds of Prey malah
berputar-putar sendiri saat menuturkan setiap konfliknya. Ada beberapa kendala
dalam menuturkan narasi dari film ini.
Pertama, banyaknya
ambisi dalam pengarahan milik Cathy Yan di dalam filmnya. Ingin terlihat
berbeda dalam menuturkan cerita hingga bagaimana sang sutradara ingin
menyampaikan pesan tentang woman power. enuturannya
yang menggebu-gebu itulah yang terkadang malah membuat pesan dan tujuan dari
Cathy Yan belum bisa mencapai ekspektasi yang diinginkan. Relevansi cerita
dengan judulnya, pun terkadang juga menjadi kendala.
Kedua, film
Birds of Prey memiliki banyak sekali karakter di dalamnya. Cathy Yan memiliki kendala
untuk mengenalkan setiap karakternya dan urgensi setiap karakternya untuk
muncul di layar kecuali karena semua karakternya ada di dalam komiknya. Inilah
yang membuat filmnya akan terasa tumpang tindih. 109 menit mengikuti setiap
karakternya akan terasa melelahkan. Cathy Yan sebagai sutradaranya harusnya
bisa memutuskan apa yang menjadi fokus utama dalam filmnya. Tak perlu berambisi
untuk memberikan arc masing-masing karakter di dalam filmnya. Tetapi, bagaimana
caranya agar penonton bisa memberikan simpati kepada setiap karakternya.
Ketiga,
action spectacle yang ada di dalam filmnya. Masih ada banyak yang perlu
dibenahi. Action sequences di film ini berasa seperti sebuah tarian yang perlu
dihafalkan gerakannya. Terlihat stylish karena berkat tata artistik yang mampu
bermain dengan warna. Ya, ini adalah bagian paling lemah dari Birds of Prey.
Padahal, dalam reshoots-nya, adegan-adegan ini sudah disupervisi oleh Chad
Stahelski yang biasa terlibat dalam John Wick universe.
DC mungkin
memang harus tak lagi mengulik kesalahan-kesalahan lama dari film-film
sebelumnya. Buang saja jauh-jauh dan restart semua dari awal. Sekalinya akan
ada pembahasan dari film sebelumnya, linimasanya pun berantakan belum lagi
legacy-nya ternyata bisa berdampak cukup signifikan dalam filmnya. Birds of
Prey ini salah satunya. Mari kita lihat saja, The Suicide Squad yang sekali
lagi menggunakan adanya karakter Harley Quinn nanti akan berada di linimasa
yang mana. Berharap saja lebih baik nantinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar