Proses pubertas memang sejatinya akan terjadi di setiap anak-anak yang sudah tumbuh menjadi remaja. Perubahan emosi dan hormonal akan mereka rasakan dan para orang tua seharusnya sudah waspada akan hal itu. Memberikan pengertian-pengertian itu, mencari tahu tentang bagaimana sikap orang tua untuk bisa memberikan diskusi yang baik terhadap mereka.
Terlebih, bagi yang memiliki anak perempuan, di mana proses pubertasnya akan jauh lebih kompleks dibanding laki-laki. Domee Shi, di karya animasi panjang perdananya ini membahas hal ini dengan caranya yang menyenangkan. Tentang seorang perempuan kecil yang baru saja beranjak dewasa. Tentang seorang perempuan kecil yang baru saja menemukan banyak sekali perubahan dari dalam dirinya dalam perjalanannya menuju pubertas.
Bersama dengan Julia Cho, Domee Shi menulis naskahnya. Menariknya lagi, Turning Red menggunakan kedekatan kultur asia dari tradisi hingga sosiokulturalnya. Ini bukan hal yang pertama dilakukan oleh Domee Shi. Dirinya juga sudah pernah melakukan hal yang serupa lewat film pendek kolaborasinya bersama Pixar yaitu Bao. Sehingga, akurasi dalam penggambaran kulturnya akan terasa tepat tetapi bisa relevan dengan banyak orang tanpa atribut kultur tersebut.
Mari kembali ke cerita Meilin Lee (Rosalie Chang) yang di umur 13 tahunnya ini merasa bahwa dirinya sudah dewasa dan bebas melakukan apa saja. Apalagi, secara akademis, tentu saja Meilin Lee atau biasa dipanggil Mei Mei bisa menaklukkan semua yang dia kerjakan. Inilah yang membuat dirinya merasa memenuhi tanggung jawabnya dan bangga dengan pencapaiannya saat menjadi dewasa.
Tetapi, ironis, bahwa kebebasan itu tak dia dapatkan di dalam keluarganya. Mei Mei harus tetap patuh terhadap apa yang dikatakan oleh sang Ibu, Ming (Sandra Oh). Ya, Ming adalah seorang Ibu yang protektif terhadap Mei Mei. Hingga suatu ketika, Mei Mei ternyata mengalami masalah. Dirinya berubah menjadi panda merah raksasa yang ternyata sudah diantisipasi oleh keluarganya. Mei Mei tentu kaget dan berusaha agar panda merah raksasa ini tak menganggu kehidupannya.
Turning Red bukan sekedar berubah ke dalam satu warna. Tapi, juga membahas perubahan warna lain di spektrum yang sama.
"Red is a lucky color" - MeiMei's Dad.
Seperti kata sang ayah, Mei Mei sedang berubah menjadi 'warna' baru dalam hidupnya. Apabila dicocokkan ke dalam apa yang terjadi di film ini. Warna merah menjadi tanda bahwa dirinya sedang mengalami pubertas.
Dalam pubertas, perubahan yang terjadi bukan hanya sekedar satu aspek. Tak hanya perubahan dalam fisik, tetapi juga perubahan secara stabilitas emosi yang bisa saja muncul. Inilah yang dibahas di Turning Red. Perubahan Mei Mei menjadi seorang panda merah raksasa adalah gambaran lain dari bagaimana dirinya mengalami perubahan secara signifikan ketika mengalami pubertas.
Proses saat perempuan mengalami pubertas memang melalui banyak hal. Proses sakitnya, menahan emosinya yang meledak-ledak, dan bagaimana mereka harus menghadapinya ini digambarkan unik dalam Turning Red. Domee Shi dan Julia Cho —yang juga seorang perempuan —berhasil sekali menggambarkan dengan presisi apa yang dialami oleh perempuan lewat karakter Mei Mei.
Orang-orang yang berada di satu lingkungan dengan perempuan seperti Mei Mei akan dengan mudah merasa relevan. Menjadikan Turning Red menjadi salah satu film animasi yang dekat dengan penontonnya dari pengalaman hidupnya dan terasa jujur. Inilah kekuatan Turning Red dibanding film-film Pixar yang lain. Kedekatannya menjadikan film ini terasa segar dan diperkuat dengan visual animasinya yang cantik.
Tentang perempuan yang sedang berusaha memahami perubahan dalam dirinya. Perubahan yang terkadang suka diberi asumsi buruk oleh adat istiadat yang ada.
Pergulatan batin MeiMei saat menjadi Red Panda ini seakan menjadi tanda bahwa terkadang perempuan sering tak memahami apa yang ada dalam dirinya. Perempuan dan kodratnya di masyarakat, perempuan dan fungsinya di masyarakat. Seakan membuat perempuan itu sendiri merasa terhambat dalam berkembang. Perbedaan-perbedaan yang terjadi ketika perempuan sedang berkembang dalam dirinya ini akan terlihat menjadi kelemahan.
Maka dari itu muncul sebuah dialog dari Mei Mei yang mengatakan bahwa: "I'm A Monster"
Mei Mei yang belum paham itu merasa dirinya teralienasi oleh sosiokultural yang ada. Terlebih, keluarga Mei Mei yang sangat menjunjung tinggi nilai adat istiadat ketimuran yang suka mengonstruksi bagaimana perempuan berperilaku. Tentu, ritual untuk mengembalikannya menjadi 'normal' menjadi sesuatu yang paling ditunggu. Padahal, normal hanya bentuk konstruksi sosial yang sudah terjadi dari masa ke masa.
Apalagi dengan setting film ini yang berada di tahun 2002, seakan problematika perempuan dengan pilihannya memang sudah terjadi dari masa ke masa. Perjuangan perempuan untuk mempertahankan pilihannya ini harus dijaga hingga saat ini dan jangan sampai nilai-nilai perjuangan mereka berakhir sia-sia.
Kultur asia dan kedekatannya menjadi kunci penting di film Turning Red
Secara visual jelas mempengaruhi. Bagaimana Domee Shi dan kru film ini memberikan sentuhan-sentuhan anime atau manga dalam membuat Turning Red. Penekanan-penekanan dalam ekspresi karakternya ini jelas seperti membaca komik-komik buatan jepang. Ibarat sedang menikmati menonton Sailor Moon atau Dragon Ball, tetapi dengan jalan cerita ringan, lucu, dan menggelitik seperti Doraemon.
Belum lagi secara konflik. Penonton dengan kultur asia pasti akan relevan dengan bagaimana lagi-lagi parenting di kultur ini dikulik. Orang tua Asia yang selalu menuntut anaknya untuk bisa terlihat sempurna di mata mereka. Bagaimana para orang tua dengan kultur Asia yang selalu menganggap bahwa manusia harus bisa menahan perasaan. Mereka yang belum siap untuk mengajari hal-hal berkenaan dengan proses anaknya menjadi dewasa.
Mei Mei, bila di kultur Cina adalah panggilan bagi seorang adik perempuan. Ya, begitulah Meilin Lee di mata orang tuanya. Selalu dianggap sebagai anak kecil yang harusnya memiliki kewajiban untuk nurut atas apa kata orang tua. Tapi, tak selamanya hal itu berhasil. Mei Mei dan Ming —sebagai seorang Ibu —juga harusnya sudah siap untuk saling berdiskusi dan berkompromi. Memahami perasaaan sang anak dan mengetahui bahwa hidup sang anak bukan sepenuhnya lagi diatur oleh orang tuanya.
Ketika Mei Mei harus menghadapi dirinya berubah menjadi sosok panda merah raksasa, ini sudah tanda bagi Ming untuk mulai siap-siap untuk menerima perubahan.
Jangan lupakan bagaimana Domee Shi pintar sekali mengolah film ini menjadi sebuah tontonan keluarga yang ringan. Penonton muda yang masih belum tahu bagaimana mengalami pubertas akan menemukan Turning Red sangat menyenangkan. Dengan desain animasi yang berwarna serta imajinatif, penuturan kisahnya yang tepat sasaran, ditambah celotehan-celotehan lucu dari setiap karakternya membuat film ini sangat lengkap.
Sejak Meilin Lee mengenalkan dirinya sebagai seorang karakter di film ini pun, penonton akan dengan mudah tertarik untuk mengikuti kisah selanjutnya. Dilengkapi pula dengan musik-musik menarik dari Ludwig Goransson dan jangan lupakan lagu Nobody Like U gubahan Finneas dan Billie Eilish yang melengkapi cerita Turning Red ini. Seakan dari lagu saja, ini jelas layaknya memberikan tribut dengan lagu-lagu boyband era millenium.
Sekaligus, menegaskan bahwa tujuan Domee Shi membuat Turning Red, salah satunya adalah untuk menjadikannya sebuah memoir atas hidupnya. Kehidupannya sebagai seorang warga Toronto di negara Kanada yang memiliki ragam budaya dan kebetulan beberapa warganya adalah imigran. Makanya, kamu juga bisa melihat beberapa desain karakternya memiliki beragam kedekatan budaya.
Bila harus dibandingkan dengan beberapa film-film Pixar yang ada, Turning Red bisa masuk menjadi salah satu yang terbaik yang pernah mereka buat. Turning Red tak hanya menjunjung tinggi misinya menyampaikan representasi kultur asia dan kisah coming of age karakter perempuan dengan presisi. Tapi, juga memang banyak sekali aspek di film Turning Red secara teknis hingga pengarahannya yang membuat film dengan durasi 97 menit ini terasa sangat singkat dan solid. Bagus banget!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar