Setelah sukses luar biasa dari The Fault In Our Stars, buku-buku milik John Green sudah mulai dilirik oleh rumah produksi untuk diangkat menjadi sebuah film. Kesuksesan The Fault in Our Stars tak hanya dalam segi Box Office saja, melainkan juga dari respon para kritikus film. Jelas, hal tersebut akan terlihat menggiurkan bagi para rumah produksi. Beberapa daftar dari buku milik John Green pun satu persatu masuk ke dalam daftar film yang akan rilis di tahun-tahun berikutnya
Di tahun 2015, Paper Towns, buku kedua milik John Green ini mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi 100 menit gambar bergerak. Ditangani oleh sutradara berbeda, tetapi Paper Towns kembali diadaptasi ke dalam naskah yang ditulis oleh Michel H. Weber dan Scott Neutstadter. Jake Schreier menjadi atasan dari proyek adaptasi buku milik John Green ini.
Di tahun 2015, Paper Towns, buku kedua milik John Green ini mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi 100 menit gambar bergerak. Ditangani oleh sutradara berbeda, tetapi Paper Towns kembali diadaptasi ke dalam naskah yang ditulis oleh Michel H. Weber dan Scott Neutstadter. Jake Schreier menjadi atasan dari proyek adaptasi buku milik John Green ini.
Bukanlah hal mudah bagi
Jake Schreier untuk mengadaptasi Paper
Towns menjadi sebuah pengalaman menonton yang menyenangkan dalam 100 menit
durasinya. Karena tak dapat dipungkiri, presentasi akhir dari Paper Towns akan disandingkan langsung
dengan The Fault In Our Stars yang
sudah mematok hasil akhir yang luar biasa tinggi. Paper Towns bukan tak memiliki hasil akhir yang menarik, hanya saja
Paper Towns tak akan bisa menyaingi The Fault In Our Stars sebagai
presentasi sempurna.
Margo Roth Spiegelmen (Cara
DeLevigne), gadis sebelah rumah yang sangat dikagumi oleh Quentin (Nat Wolff).
Margo sangat menyukai teka-teki, saat mereka masih anak-anak Quentin dan Margo
sering bermain bersama-sama. Hingga semakin lama, intensitas bertemu mereka pun
semakin jarang. Apalagi, ketika keduanya masuk dalam masa remaja sekolah lanjut
tingkat akhir. Meski begitu, Margo tetap menjadi gadis sebelah rumah Quentin
yang ia kagumi.
Hingga suatu ketika, Margo
mendatangi kamar Quentin untuk melaksanakan 9 misi balas dendamnya. Quentin pun
dengan sigap melakukan semua yang direncanakan oleh Margo. Hal tersebut membuat
Quentin merasa dirinya penting bagi Margo. Hingga keesokan harinya, Margo tak
kunjung datang ke sekolah mereka. Beberapa hari berjalan, Margo pun tetap tak
kunjung datang. Quentin pun dapat kabar bahwa Margo telah hilang. Tetapi, Margo
meninggalkan jejak bagi Quentin untuk ditemukan.
Sebagai sebuah film drama romance yang ditujukan kepada para
remaja sebagai target pasar mereka, Paper
Towns bisa dianggap sebagai sebuah angin segar di dalam genre ini. Paper Towns menawarkan tak hanya drama romance kental, melainkan ada drama persahabatan
yang juga cukup kental di dalam filmnya. Pun, Paper Towns memiliki premis cerita yang akan terkesan tak biasa di
dalam genre ini. Mengombinasikan dua genre berbeda yaitu romance dan mystery.
Kombinasi dari dua genre
itu pun akan sangat bisa menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Meski tak
secara keseluruhan gagal menyampaikan ceritanya, Paper Towns pun akan terasa begitu membingungkan bagi penonton yang
tak membaca bukunya. Naskah milik Weber dan Neutstadter pun seharusnya sudah
dapat mengadaptasi dengan baik buku dari John Green. Hanya saja, Jake Schreier
tak begitu kuat mengarahkan Paper Towns.
Alhasil, akan banyak sekali plot hole
yang tersebar dalam elemen misterinya.
Elemen-elemen yang terlalu
banyak di Paper Towns ini lah yang
membuat filmnya tak terlalu fokus terhadap poin utamanya. Yang seharusnya film
ini kuat dalam elemen misteri di mana Margo pun akan terasa semakin blur di setiap
durasinya. Teka-teki yang sudah disebar di sepanjang durasi pun seperti tak
berpengaruh penting bagi sisa akhir ceritanya. Tetapi, bagaimana Jake Schreier
mengelola Paper Towns dengan caranya
sendiri membuat film ini masih menyenangkan untuk diikuti.
Oleh tangan Jake Schreier
diubahnya menjadi sebuah drama coming of
age yang lebih kepada persahabatan dan romance
sebagai sampingannya. Perkembangan karakter-karakter yang ada di Paper Towns pun berubah menjadi poin
utama yang menyenangkan di dalam filmnya. Sehingga, Paper Towns pun akan terasa menyenangkan bagi para penonton dewasa
yang ingin merasakan kembali suasana-suasana sekolah tingkat akhir di masa
remaja mereka.
Pun, para remaja bukan
berarti tak dapat menikmati keseluruhan film ini. Mereka pun akan tetap
mendapatkan film yang penuh dengan semangat remaja ceria yang menyenangkan.
Akan tetapi, penonton yang mengharapkan film romance luar biasa akan merasakan kekecewaan. Karena Paper Towns tak hanya sekedar film coming of age dengan romansa yang
kental, tetapi ada elemen lain yang hadir untuk melengkapi film ini.
Tak hanya menyenangkan, Paper Towns memiliki gambar-gambar
cantik yang jelas menguatkan segala kesenangan dan keceriaan nada cerita film
ini. Juga, jangan lupakan lagu-lagu pengiring yang manis di dalam film ini yang
juga menjadi kekuatan di setiap film-film adaptasi buku John Green. Sayangnya,
penempatan lagu pengiring di film Paper
Towns tak bisa semegah dan tepat The
Fault In Our Stars. Sehingga, beberapa lagu tak mendapat highlight
sempurna.
Dibandingkan dengan film
adaptasi buku John Green sebelumnya –The
Fault In Our Stars –adaptasi Paper
Towns tak bisa tampil se-prima itu. Tetapi, Paper Towns menyajikan sesuatu yang cukup menyenangkan untuk
diikuti dan menyelipkan sesuatu yang segar di dalam genre ini. Meski terlalu
banyaknya elemen di dalam ceritanya membuat fokus utamanya kabur, Paper Towns tetaplah sajian drama Coming of age yang layak untuk ditonton
sebagai pengenang masa remaja yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar