Sabtu, 12 September 2015

PAPER TOWNS (2015) REVIEW : Another Fresh Air From John Green’s Adaptation

Setelah sukses luar biasa dari The Fault In Our Stars, buku-buku milik John Green sudah mulai dilirik oleh rumah produksi untuk diangkat menjadi sebuah film. Kesuksesan The Fault in Our Stars tak hanya dalam segi Box Office saja, melainkan juga dari respon para kritikus film. Jelas, hal tersebut akan terlihat menggiurkan bagi para rumah produksi. Beberapa daftar dari buku milik John Green pun satu persatu masuk ke dalam daftar film yang akan rilis di tahun-tahun berikutnya

Di tahun 2015, Paper Towns, buku kedua milik John Green ini mendapatkan kesempatan untuk diadaptasi menjadi 100 menit gambar bergerak. Ditangani oleh sutradara berbeda, tetapi Paper Towns kembali diadaptasi ke dalam naskah yang ditulis oleh Michel H. Weber dan Scott Neutstadter. Jake Schreier menjadi atasan dari proyek adaptasi buku milik John Green ini.

Bukanlah hal mudah bagi Jake Schreier untuk mengadaptasi Paper Towns menjadi sebuah pengalaman menonton yang menyenangkan dalam 100 menit durasinya. Karena tak dapat dipungkiri, presentasi akhir dari Paper Towns akan disandingkan langsung dengan The Fault In Our Stars yang sudah mematok hasil akhir yang luar biasa tinggi. Paper Towns bukan tak memiliki hasil akhir yang menarik, hanya saja Paper Towns tak akan bisa menyaingi The Fault In Our Stars sebagai presentasi sempurna. 


Margo Roth Spiegelmen (Cara DeLevigne), gadis sebelah rumah yang sangat dikagumi oleh Quentin (Nat Wolff). Margo sangat menyukai teka-teki, saat mereka masih anak-anak Quentin dan Margo sering bermain bersama-sama. Hingga semakin lama, intensitas bertemu mereka pun semakin jarang. Apalagi, ketika keduanya masuk dalam masa remaja sekolah lanjut tingkat akhir. Meski begitu, Margo tetap menjadi gadis sebelah rumah Quentin yang ia kagumi.

Hingga suatu ketika, Margo mendatangi kamar Quentin untuk melaksanakan 9 misi balas dendamnya. Quentin pun dengan sigap melakukan semua yang direncanakan oleh Margo. Hal tersebut membuat Quentin merasa dirinya penting bagi Margo. Hingga keesokan harinya, Margo tak kunjung datang ke sekolah mereka. Beberapa hari berjalan, Margo pun tetap tak kunjung datang. Quentin pun dapat kabar bahwa Margo telah hilang. Tetapi, Margo meninggalkan jejak bagi Quentin untuk ditemukan. 


Sebagai sebuah film drama romance yang ditujukan kepada para remaja sebagai target pasar mereka, Paper Towns bisa dianggap sebagai sebuah angin segar di dalam genre ini. Paper Towns menawarkan tak hanya drama romance kental, melainkan ada drama persahabatan yang juga cukup kental di dalam filmnya. Pun, Paper Towns memiliki premis cerita yang akan terkesan tak biasa di dalam genre ini. Mengombinasikan dua genre berbeda yaitu romance dan mystery.

Kombinasi dari dua genre itu pun akan sangat bisa menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Meski tak secara keseluruhan gagal menyampaikan ceritanya, Paper Towns pun akan terasa begitu membingungkan bagi penonton yang tak membaca bukunya. Naskah milik Weber dan Neutstadter pun seharusnya sudah dapat mengadaptasi dengan baik buku dari John Green. Hanya saja, Jake Schreier tak begitu kuat mengarahkan Paper Towns. Alhasil, akan banyak sekali plot hole yang tersebar dalam elemen misterinya.

Elemen-elemen yang terlalu banyak di Paper Towns ini lah yang membuat filmnya tak terlalu fokus terhadap poin utamanya. Yang seharusnya film ini kuat dalam elemen misteri di mana Margo pun akan terasa semakin blur di setiap durasinya. Teka-teki yang sudah disebar di sepanjang durasi pun seperti tak berpengaruh penting bagi sisa akhir ceritanya. Tetapi, bagaimana Jake Schreier mengelola Paper Towns dengan caranya sendiri membuat film ini masih menyenangkan untuk diikuti. 


Oleh tangan Jake Schreier diubahnya menjadi sebuah drama coming of age yang lebih kepada persahabatan dan romance sebagai sampingannya. Perkembangan karakter-karakter yang ada di Paper Towns pun berubah menjadi poin utama yang menyenangkan di dalam filmnya. Sehingga, Paper Towns pun akan terasa menyenangkan bagi para penonton dewasa yang ingin merasakan kembali suasana-suasana sekolah tingkat akhir di masa remaja mereka.

Pun, para remaja bukan berarti tak dapat menikmati keseluruhan film ini. Mereka pun akan tetap mendapatkan film yang penuh dengan semangat remaja ceria yang menyenangkan. Akan tetapi, penonton yang mengharapkan film romance luar biasa akan merasakan kekecewaan. Karena Paper Towns tak hanya sekedar film coming of age dengan romansa yang kental, tetapi ada elemen lain yang hadir untuk melengkapi film ini.

Tak hanya menyenangkan, Paper Towns memiliki gambar-gambar cantik yang jelas menguatkan segala kesenangan dan keceriaan nada cerita film ini. Juga, jangan lupakan lagu-lagu pengiring yang manis di dalam film ini yang juga menjadi kekuatan di setiap film-film adaptasi buku John Green. Sayangnya, penempatan lagu pengiring di film Paper Towns tak bisa semegah dan tepat The Fault In Our Stars. Sehingga, beberapa lagu tak mendapat highlight sempurna. 


Dibandingkan dengan film adaptasi buku John Green sebelumnya –The Fault In Our Stars –adaptasi Paper Towns tak bisa tampil se-prima itu. Tetapi, Paper Towns menyajikan sesuatu yang cukup menyenangkan untuk diikuti dan menyelipkan sesuatu yang segar di dalam genre ini. Meski terlalu banyaknya elemen di dalam ceritanya membuat fokus utamanya kabur, Paper Towns tetaplah sajian drama Coming of age yang layak untuk ditonton sebagai pengenang masa remaja yang indah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar