Jumat, 06 September 2019

GUNDALA (2019) REVIEW: Selamat Datang Genre Superhero di Indonesia



Di tengah gencarnya perfilman Hollywod dengan genre superhero yang semakin membesar, tentu ini membuat perfilman Indonesia juga terkena hype-nya. Maka dari itu, mulai banyak yang berusaha membuat cinematic universe di perfilman Indonesia yang diadaptasi dari cerita bergambar. Mulai dari Wiro Sableng hingga Gundala yang diadaptasi dari karakter yang direka oleh Hasmi. Kabar tentang adaptasi film Gundala memang pada awalnya sudah ada beberapa tahun lalu.

Hingga di awal tahun 2019, proyek Gundala akhirnya resmi ada dan disutradarai oleh sutradara kenamaan Indonesia, Joko Anwar. Tentu, dengan adanya nama Joko Anwar sebagai sutradara dari Gundala telah menimbulkan ekspektasi sendiri bagi penonton film Indonesia dan penikmat cerita bergambarnya. Gundala dibintang oleh banyak nama-nama seru di dalamnya. Dari Abimana Aryasatya, Tara Basro, Lukman Sardi, Ario Bayu, hingga actor cilik Muzakki Ramadan yang pernah bermain dalam episode Folkore HBO milik Joko Anwar.

Tetapi, tujuan dari adanya film Gundala ini ternyata bukan berhenti sampai film ini rilis dan menjadi sebuah film sendiri saja. Layaknya film-film superhero milik luar negeri, Gundala dipersiapkan untuk menjadi pembuka dari film-film jagoan lokal lainnya yang tergabung dalam Jagat Sinema Bumi Langit jilid pertama. Tentu, hal ini sangat menarik untuk diikuti terlebih bisa jadi awal bagi perfilman Indonesia untuk pada akhirnya mau membuka genre baru agar semakin beragam.


Tentu, harapan besar dipikul oleh Gundala. Bukan hanya karena fakta bahwa film ini adalah karya dari Joko Anwar saja. Tetapi, sebagai pembuka dari Jagat Sinema Bumi Langit itu sendiri. Gundala tentu menjadi patokan bagaimana line up lainnya akan bekerja. Pendekatan seperti apa nantinya untuk membesarkan jagat sinema ini nantinya. Apakah nantinya akan diterima oleh penonton Indonesia dan berbagai macam pertanyaan lainnya.

Patut berbanggalah para penonton Indonesia karena masih ada filmmaker yang memiliki gairah untuk membangkitkan genre ini di perfilman Indonesia. Bahkan, sudah memiliki visi yang jauh di depan. Dan ucapkan selamat datang kepada genre superhero di perfilman Indonesia lewat film Gundala. Dengan pendekatan yang berbeda dan sangat lokal, Gundala berhasil membuka halaman baru bagi perfilman Indonesia. Juga, membuka awal perjalanan untuk Jagat Sinema Bumi Langit jilid pertama menuju langkah selanjutnya.

Gundala berpusat pada karakter Sancaka kecil (Muzakki Ramadan) yang sedang memahami dunia yang dia jalani. Banyak sekali pengorbanan, jatuh bangun yang harus dia lewati. Dirinya pun dikejar oleh petir saat hujan hingga menjadi hal yang tak bisa dia hindari. Perjalanan memahami dunianya pun masih berlanjut hingga Sancaka beranjak dewasa (Abimana Aryasatya). Tumbuh menjadi dewasa inilah yang membuat Sancaka harus berurusan dengan problematika yang lebih rumit.

Sancaka yang belum tahu betul akan kekuatannya harus berusaha untuk membantu menyingkirkan kejahatan yang semakin merajalela di tempat dia tinggal. Hingga berhadapanlah dia dengan urusan intrik politik yang jauh lebih besar. Segala intrik politik ini menuju ke satu titik yang didalangi oleh seseorang bernama Pengkor (Bront Palarae).


Memang, Gundala milik Joko Anwar ini memang sedang membangun dunianya secara perlahan. Hingga, memunculkan banyak intrik politik yang sekaligus menjadi media bagi dirinya untuk memberikan kritik terhadap praktik politik yang terjadi sekarang. Hal ini lah yang dijadikan dasar bagi Jagat Sinema Bumi Langit menjadi besar. Sebagai sosok jagoan, Gundala memilih karakter yang dekat oleh penontonnya. Sehingga, Gundala bisa dibilang memiliki pendekatan yang cukup membumi.

Munculnya sebuah harapan dari sosok yang dekat dengan masyarakat inilah yang menjadi Gundala sebagai film jagoan lokal memiliki citarasanya sendiri. Bukan berusaha untuk mengadaptasi Marvel atau DC, tetapi berusaha mengkolaborasikan keduanya. Sehingga, yang terjadi adalah, meskipun konflik di dalam film Gundala ini terkesan rumit, tetapi Joko Anwar berusaha untuk tetap menyuntikkan banyak unsur harapan dan kesenangan di dalam filmnya. Sehingga, mengikuti 123 menit dari Gundala juga masih bisa dikategorikan sangat menyenangkan.

Gundala banyak sekali momennya untuk bersinar, menceritakan kisah origin karakternya untuk lebih dekat kepada penontonnya. Tetapi, yang perlu untuk digarisbawahi dari Gundala adalah banyak cabang cerita yang membuat film ini terasa tumpang tindih. Memang, tujuannya untuk membangun dunianya agar memiliki celah untuk menjadi sesuatu yang lebih besar. Tetapi, alangkah baiknya untuk ditahan sedikit demi bisa menceritakan kisah originnya dengan lebih leluasa.


Karakternya memang masih dibuat sangat abu-abu. Sancaka masih mencari jati dirinya sebagai sosok jagoan. Penonton diajak masuk ke dalam konflik batin Sancaka dengan cara yang tepat. Pengarahan Joko Anwar dalam film Gundala masih cukup kuat untuk mengantarkan segala konflik karakternya dengan baik. Hanya saja, mungkin masih ada keinginan dari penonton menyaksikan karakternya lebih “tegas” dalam menunjukkan urgensinya. Apa yang membuat Sancaka kuat, kenapa dia yang terpilih sebagai sosok jagoan.

Hal-hal inilah yang muncul belum terlalu tegas di dalam film Gundala itu sendiri. Tetapi, hal ini juga menjadi potensi yang baik untuk kelangsungan Jagat Sinema Bumi Langit nantinya. Masih ada potensi-potensi yang bisa dikembangkan untuk dunianya. Sehingga, timbul rasa penasaran penonton tentang apa yang akan terjadi dengan film selanjutnya dalam line up Jagat Sinema Bumi Langit. Maka dari itu, tujuan dari film Gundala ini juga sudah terpenuhi meskipun bisa lebih baik lagi.


Tetapi, tentu film ini masih memiliki banyak kelebihan yang bisa dirayakan. Gundala masih punya sekuens aksi yang dikemas seru. Para pemainnya yang memiliki kharismanya masing-masing. Terlebih untuk performa Abimana dan Muzakki, yang berhasil menghidupkan karakter Sancaka ini. Bahkan, ketakutan penonton akan efek visual yang tak bagus pun berhasil dipatahkan. Gundala memiliki tata efek khusus yang halus untuk ukuran film Indonesia.

Gundala bukan hanya datang sebagai penanda genre superhero di Indonesia. Tetapi juga sebagai penanda bahwa film ini menetapkan standar tinggi di tata teknisnya, terutama dalam hal tata suara. Penggunaan tata suara Dolby Atmos di dalam film ini cukup membuat penonton merasakan sensasi yang berbeda saat menonton di Bioskop dengan Dolby Atmos. Semua suaranya melingkari penontonnya. Belum lagi didukung scoring oleh Aghi Narotama serta Joko Anwar untuk Gundala Theme yang memorable dan ikonik. Menjadi salah satu scoring film Indonesia terbaik tahun ini.


Maka dari itu, mari kita rayakan Gundala yang sedang berusaha mendobrak industri perfilman Indonesia ini. Meskipun masih bisa bermain dengan lebih baik lagi, tetapi Joko Anwar tetap tak main-main dalam mengarahkan film ini. Penuturan cerita, tata gambar milik Ical Tanjung yang luar biasa cantik, hingga tata teknis suara yang menetapkan standar tinggi ini sudah menjadi modal bagi Gundala untuk bisa meneruskan dunianya. Layaknya karakter dalam filmnya yang memberikan secercah harapan, film ini pun berlaku demikian. Gundala adalah awal yang sangat baik untuk Jagat Sinema Bumi Langit Jilid satu sebagai cinematic event tahunan yang perlu dirayakan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar