Minggu, 15 September 2019

MIDSOMMAR (2019) REVIEW: Medium Ari Aster Mendefinisikan Ulang (Lagi) Genre Horor


Ari Aster kembali dengan karya sophomore-nya di tahun ini. Setelah di tahun 2018, Hereditary berhasil menjadi buah bibir di kalangan penikmat film. Tentu saja, horor yang dibuat oleh Ari Aster tak sekedar horor dengan makhluk-makhluk astral. Dia berusaha untuk bermain dalam genre horor dan mendefinisikan ulang horor di dalam filmnya. Tentu, hal inilah yang membuat karya kedua dari Ari Aster ini menjadi menarik untuk ditunggu.

Midsommar, karya kedua dari Ari Aster ini dari trailernya saja sudah berusaha memberikan definisi lain tentang genre horor sendiri. Ari Aster sedang berusaha untuk mematahkan salah satu ciri dari genre film horor itu sendiri. Bermain dalam setting waktu siang hari yang membuat Midsommar menjadi salah satu film horor yang berbeda di era yang baru ini. Midsommar ditulis sendiri oleh Ari Aster dalam naskahnya. Dibintangi oleh Florence Pugh, Jack Reynor, hingga Will Poulter, Midsommar berusaha untuk menghantui penontonnya dengan cara sendiri.


Menceritakan tentang sosok Dani (Florench Pugh) yang sedang mengalami banyak sekali tekanan dalam hidupnya, apalagi tentang keluarganya. Tetapi, sebuah kabar duka mendatanginya dan membuat hidupnya semakin berantakan. Tetapi, dia masih memiliki Christian (Jack Reynor), kekasihnya yang berusaha mendampinginya. Hanya saja, Christian ternyata telah memilki rencana lain sebelum ada bencana yang menimpa Dani. Dirinya sudah berencana untuk pergi ke Swedia untuk riset tesisnya sekaligus pergi liburan bersama teman-temannya.

Christian tak memberitahu rencana ini ke Dani, hingga akhirnya Dani memutuskan untuk ikut Christian ke Swedia. Tibalah mereka ke sebuah desa terpencil di sana bernama Harga. Mereka sedang dalam sebuah festival tradisi selama 9 hari. Tentu, hal ini diterima dengan senang hati oleh Dani, Christian, dan teman-teman mereka. Hingga suatu ketika, tradisi yang dilakukan oleh para penduduk di desa tersebut berjalan terlalu jauh dan memiliki arti lain. Membuat liburan mereka yang awalnya terlihat menyenangkan menjadi sebuah kegiatan yang mengganggu pikiran.


Dalam karyanya, memang Ari Aster bermain dalam ranah horor yang lebih menganggu pikiran dibandingkan dengan menggunakan formula jumpscares. Hal ini yang perlu diketahui oleh penonton sebelum akhirnya memutuskan untuk menonton Midsommar. Hingga nanti saat keluar dari bioskop, tak berusaha membandingkannya dengan film-film horor seperti karya-karya milik James Wan dan yang sejenisnya.

Setelah Ari Aster berusaha mendefinisikan horor tentang sebuah ketidakpastian dalam Hereditary, Midsommar juga berusaha melakukan hal yang sama. Ari Aster menggunakan Midsommar untuk mendefinisikan ulang horor sebagai cara melepaskan beban. Entah beban tentang masa lalu atau beban yang dipikul sekarang. Dani menjadi pion yang digunakan oleh Ari Aster untuk karakter studi bagi penontonnya tentang perjalanannya menghadapi masalah dalam hidupnya.

Midsommar memang bukan film horor dengan penuturan yang seperti ditemui oleh horor-horor pada umumnya. Ari Aster membangun atmosfirnya secara perlahan hingga membuat penontonnya masuk ke dalam konflik Dani dan ikut mengalami beban di dalam dirinya. Tujuannya adalah ketika di akhir film penontonnya pun juga ikut merasa lega saat Dani berusaha melepaskan beban dalam dirinya. Tetapi, dalam perjalanannya melepaskan beban milik Dani ini, Ari Aster sedikit menemukan jalan berliku.


Banyak yang ingin disampaikan oleh Ari Aster dan dirinya berusaha untuk membuat setiap plotnya berjalan seimbang. Tetapi, hal itu malah membuat Midsommar sedikit tidak rapi jika dibandingkan dengan Hereditary. Di paruh kedua filmnya, Midsommar terlalu sibuk memperlihatkan tradisi-tradisi dan konsekuensi yang terjadi di desa Harga dan lupa untuk memberikan signifikansi dalam karakter utamanya. Sehingga, tensi di pertengahannya terasa sedikit merenggang. Barulah di paruh ketiga menuju konklusi, Ari Aster berusaha mengencangkan tensinya.

Di sinilah problematika Ari Aster dalam karya-karyanya. Midsommar dan Hereditary memiliki babak revealing yang berusaha membuat filmnya masih bisa dicerna oleh penontonnya. Sehingga, dengan apa yang dibangun oleh Ari Aster di awal film, penutup filmnya terasa menggebu-gebu. Tetapi, dengan adanya hal ini juga memberikan pengertian bahwa film-film Ari Aster pun memiliki penuturan dengan narasi yang popular. Hanya saja, label ‘alternatif’ dan premisnya yang terlihat unik –meskipun sebenarnya banyak ditemui di film lain –ini  menutupi narasinya yang masih sangat mudah dicerna.


Inilah yang mungkin membuat para penontonnya gampang terkesima dan berusaha menjadikan film-film Ari Aster sebagai ajang pembuktian diri menemukan hal-hal lain. Tetapi, di luar tujuan penontonnya, Midsommar menjadi sebuah pengalaman film horor yang berbeda dan perlu untuk ditonton. Mematahkan salah satu ciri genre horor dan mendefinisikan ulang tentang horor adalah tujuannya. Dibalut dengan visual yang cerah tetapi tak nyaman hingga scoring yang haunting membuat Midsommar ini sangat menarik untuk dikulik.


1 komentar:

  1. Kak , bagi tips donk cara bikin 1blog dengan isi banyak artikel kaya punya kamu gini . Untuk kepentingan Tugas kuliah kak . Terimakasih 🙏😁

    BalasHapus