Menjadi salah satu
sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy
Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan
kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara
adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy
Umbara kembali menyusun setup baru
untuk dikembangkan agar menjadi franchise
besar lainnya.
Menawarkan sesuatu yang
berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi
untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film
Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki
isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan
kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat
surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti.
Anggy Umbara berani
mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang
selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala
manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa
kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah
membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan
menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?
Hal tersebut tergambar
lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara
Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah
negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama
adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda
dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam
(Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)
Mereka menjadi sosok
individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi
dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang
jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa
hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk
tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman.
3 : Alif Lam Mim menawarkan
premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang
ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan
selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim
akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska
kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang
sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke
dalam filmnya.
Arogansi dalam membela apa
yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan
tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu
yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu
tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis
ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.
Presentasi 3 : Alif Lam Mim
memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan
banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten
itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi,
kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita
karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman
karakter yang seimbang.
Di luar presentasinya yang
belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya
menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah
penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang
sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan
yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.
Meskipun, naskah milik
Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk
membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip
memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim
tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang
absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam
naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian
yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya
yang juga diakui.
Tetap, 3 : Alif Lam Mim
memberikan i’tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari
konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas
filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat
itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa
menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa
film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran
kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka
anggap benar?
Maka di luar presentasinya
yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda
dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara
berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film
terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja
menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam
Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas
negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar