Road movie menjadi salah
satu pendekatan baru dari para sineas baik lokal maupun luar untuk mengantarkan
ceritanya. Biasanya, ada beberapa idealisme yang disampaikan oleh beberapa
sineas lewat medium audio visual. Setelah itu, lewat road
movie karakter-karakter yang ada di dalam filmnya mengalami kontemplasi
terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya lewat beberapa konflik yang mereka
temukan di sepanjang perjalanan.
Dengan pendekatan genre ini,
dianggap cukup efektif untuk memberikan renungan kepada penontonnya dengan apa
yang terjadi di sekitar. Dan di tahun ini, Road Movie diangkat oleh Djenar Maesa Ayu dalam film terbarunya berjudul Nay. Film ini hanya mengambil satu
tempat setting dan menjadikan satu orang sebagai karakter utama filmnya. Hal
ini jelas menjadi salah satu hal yang baru di perfilman Indonesia karena
memiliki kesulitan yang cukup besar untuk mengolahnya menjadi presentasi yang
kuat.
Melalui Sha Ine Febriyanti sebagai pemeran utama, Djenar Maesa Ayu mencoba untuk memberikan
sebuah pertunjukan teater monolog ke dalam sebuah layar lebar. Dengan
presentasi yang sederhana, Djenar Maesa Ayu berusaha untuk melayangkan sebuah
problematika posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari terlebih di negara
Indonesia. Hanya berbekal satu plot yang sangat dekat dengan sosok perempuan,
tetapi berusaha diulik lebih dalam lagi oleh Djenar Maesa Ayu. Sehingga, film Nay memiliki dampak yang besar dan
efektif untuk menyinggung dinamika sosial yang ada.
Seorang model yang sedang naik daun bernama Nay (Sha Ine Febriyanti) tengah dirundung masalah yang bisa membuat
beberapa poin penting dalam hidupnya hancur. Nay mengetahui bahwa dia sedang mengandung seorang janin di dalam
perutnya. Masa kandungan di dalam perut Nay
sudah berumur 11 minggu dan ini adalah hasil hubungan intim dengan pacarnya
bernama Ben (Paul Agusta). Setelah mengetahui hal tersebut, Nay memutuskan untuk pergi menemui Ben.
Di tengah perjalanannya menuju rumah Ben, Nay mengalami banyak masalah. Ben menunjukkan sikap yang tak enak
ketika mereka sedang berbicara lewat telepon. Dengan adanya hal ini, dia pun
mencoba untuk berdiskusi dengan temannya, Ajeng (Cinta Ramlan) dengan maksud
akan menemukan solusi akan masalah yang dia hadapi. Sayangnya, Nay pun tak sepenuhnya menemukan solusi
yang tepat dan semakin dilema. Selama diperjalanan pun dia merenung dan mencoba
intropeksi diri akan masa lalu yang Nay
alami.
Film Nay memang tak bisa
dipungkiri akan dibanding-bandingkan dengan film yang dibintangi oleh Tom Hardy
yaitu Locke. Secara konsep besar, film Nay
memang memiliki kemiripan yang lumayan besar. Hanya saja, apa yang diusung
sebagai konflik di dalam filmnya jelas memiliki perbedaan yang sangat
signifikan. Nay mengulik sisi yang
lebih dalam terhadap konflik utama di dalam filmnya. Tak hanya memberikan
pengaruh besar dalam menonton, tetapi juga menjadi bahan kontemplasi yang kuat
bagi penontonnya.
Berbekal problematika yang masih menjadi tabu di dalam budaya milik
Indonesia, film yang diarahkan oleh Djenar Maesa Ayu ini berhasil berkembang
menjadi sebuah film yang tak biasa. Lewat film ini, Djenar Maesa Ayu ingin
sekali lagi memberikan nasihat lewat medium audio
visual untuk perempuan yang masih merasa dirinya termarjinalkan oleh
beberapa pihak. Sehingga, film Nay
adalah sebuah surat terbuka berisi opini yang dilayangkan kepada publik tentang
keberadaan wanita yang masih tak juga dianggap sejajar.
Berbekal satu karakter utama yang juga hanya satu-satunya yang ada di
depan layar, jelas bukan sesuatu yang mudah untuk membuat film Nay memiliki presentasi yang kuat. Karakter-karakter yang lain hanya
tampil lewat voice over yang tak tampak fisik, tetapi Djenar Maesa Ayu mampu
menghadirkan karakter pendukung itu terasa nyata. Penuh dengan dialog yang
jakarta-sentris tetapi Djenar Maesa Ayu masih bisa mencari kesamaan atribut
yang dia tempelkan di dalam filmnya agar bisa relevan dengan kehidupan
penontonnya.
Djenar Maesa Ayu mendobrak paradigma tentang perempuan yang masih
terbayang tentang dogma-dogma budaya yang sangat kaku diberlakukan kepadanya.
Terlebih, di negara Indonesia yang masih memuja dan menjunjung tinggi akan
idealisme patriarki. Bagaimana perempuan harus berperilaku, bagaimana
keperawanan masih dianggap sebagai patokan penilaian akan kepribadian seorang
perempuan secara keseluruhan. Dan anggapan-anggapan kolot tentang ketangguhan
wanita yang bisa mengambil keputusan akan hidupnya yang masih dianggap tabu.
Juga, bagaimana film Nay
mengangkat tentang isu standar ganda yang sering digunakan oleh orang-orang
dalam menilai sesuatu. Bagaimana seseorang tak lagi kembali introspeksi
terhadap dirinya kembali dan langsung menganggap perilaku seseorang itu tidak
baik. Hal ini, juga digambarkan pada karakter Nay yang memiliki masalah psikis dan rekam jejak yang tak baik terhadap
masa lalunya dengan ibunya. Jelas, Nay
memiliki banyak sekali isu sosial relevan yang perlu dikritik.
Tak hanya berkekuatan dalam isu-isu sosial yang mendapat kritik tajam
dari Djenar Maesa Ayu sebagai konten yang dijual olehnya. Tetapi, Djenar
Maesa Ayu juga memberikan pengarahan yang baik di dalam filmnya sehingga
dengan presentasi dan dasar konflik yang sederhana pun bisa memberikan dampak
yang luar biasa bagi penontonnya. Sehingga, film Nay ini berhasil menjadi sebuah medium untuk berkaca pada diri
sendiri tentang keberadaan perempuan yang kadang masih dianggap tertinggal.
Meski mengambil banyak resiko di dalam genre-nya dan menjadikan film Nay
menjadi karya yang memiliki pasar sendiri yang menikmatinya, Djenar Maesa Ayu
patut diacungi jempol dalam mengarahkan karya terbarunya. Penuh dengan kritik
terhadap isu sosial, ajaran budaya yang masih kaku, dan bagaimana kaum
perempuan masih dianggap sebagai kaum marjinal. Sehingga, dengan film Nay, semua poin-poin itu dapat
disampaikan layaknya sebuah surat terbuka kepada masyarakat secara luas.
Terlebih, kepada masyarakat di negara yang menjunjung tinggi patriarki dan
menganggap perempuan masih tak berdaya.
Bang, kalo komentar soal akting pemainnya Sha Ine Febriyanti?
BalasHapus