Screenplay Films memang sedang aktif-aktifnya untuk merilis filmnya.
Di awal tahun, penonton di sapa lewat Promise
dan London Love Story 2. Di kuarter
kedua, penonton disapa lewat film horor dengan judul Jailangkung yang mendapatkan perolehan penonton yang cukup
fantastis. Dan akhir kuarter tahun ini, screnplay berusaha untuk merilis film
terbarunya dengan nuansa yang cukup berbeda dengan judul One Fine Day.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Screenplay Films dalam ranah perfilman
Indonesia ini menjadi salah satu kompetitor yang kuat bagi rumah produksi
lainnya. Mulai dari Magic Hour,
Screenplay Films membuktikan bahwa mereka bisa membuat film yang laris manis di
pasaran. Meskipun, formula yang dihadirkan oleh rumah produksi satu ini tetap
sama dari satu film ke film lainnya. Tetapi, ada usaha untuk mengubah filmnya
menjadi cinematic event yang akan
dinanti segmentasinya.
Maka, datanglah One Fine Day
yang berusaha mendaur ulang formula usangnya dengan cara mengkombinasikan para
pemainnya. Michelle Ziuditih, aktris favorit dari Screenplay Films ini
disandingkan dengan aktor pendatang baru dengan fans range yang sangat besar yaitu Jefri Nichol. Serta, nama-nama
yang belum pernah digunakan oleh Screenplay Films sebelumnya seperti Maxime
Bouttier turut mewarnai film terbaru dari Asep Kusdinar ini.
One Fine Day berusaha
memberikan nuansa yang berbeda dibanding dengan film-film Screenplay sebelumnya.
Tetapi dengan Asep Kusdinar yang tetap berada di bangku sutradara, jangan harap
ada perubahan signifikan dari One Fine
Day ini. Dengan segala upaya membuat nuansa yang lebih ceria dan tata
produksi yang lebih sinematik, Screenplay Films lagi-lagi tak berusaha
memperbaiki bagaimana One Fine Day
harus diarahkan.
Inilah One Fine Day yang
menceritakan tentang Mahesa (Jefri Nichol), orang asli Indonesia yang sedang
merantau ke Barcelona. Kehidupannya di Barcelona memang tak semujur yang banyak
orang bayangkan. Dia mengikuti minatnya untuk membuat band bersama teman-temannya sekaligus menipu wanita-wanita
Barcelona untuk bisa bertahan hidup di sana. Hingga di suatu cafe, dia bertemu dengan wanita cantik
bernama Alana (Michelle Ziudith).
Mahesa berusaha untuk mendekati Alana, tetapi dengan maksud yang lain.
Dia tak ingin menipu Alana, tetapi Mahesa benar-benar jatuh cinta padanya.
Meskipun, sebenarnya Alana ini sudah menjadi kekasih lelaki lain bernama Danu
(Maxime Bouttier). Tetapi, Mahesa tetap berusaha mengejar Alana dan mereka
pergi berdua secara diam-diam. Alana bisa bersenang-senang dengan Mahesa dan
hal tersebut tak pernah dirinya rasakan ketika bersama Danu.
Formula kisah ceritanya ini generik, kisah cinta ala-ala Screenplay
Films dengan kemasannya yang hiperbolik. Belum lagi, One Fine Day dipenuhi dengan rentetan dialog-dialog khasnya yang
sangat dramatis agar pas untuk dikutip untuk bahan gegalauan oleh
segmentasinya. Plotnya sederhana, tetapi bagaimana Asep Kusdinar berusaha untuk
memberikan banyak konflik di dalam ceritanya tak diimbangi dengan metode
pengarahan yang benar.
One Fine Day hanya dipenuhi
dengan fans service yang disasar
benar kepada target segmentasinya. Eksploitasi yang dilakukan oleh Tisa TS di
dalam One Fine Day adalah impian dan
ambisinya tentang makhluk bernama laki-laki. Maka, di sepanjang 30 menit
pertama One Fine Day, fokus utama
dari film ini bukanlah plot cerita beserta bangunan konflik-konfliknya. Tetapi,
fokusnya berubah ke bagaimana Jefri Nichol disorot habis-habisan untuk memenuhi
impian para fansnya.
Asep Kusdinar menuruti setiap mimpi dan obsesi Tisa TS sehingga tak
bisa memaksimalkan pengarahannya yang beberapa kali membaik di dua film
Screenplay sebelumnya. One Fine Day
penuh akan lekuk tubuh dan wajah dari Jefri Nichol. Bermain terlalu asyik sendiri
menampilkan paras Jefri Nichol yang sedang bercengkrama mesra dengan Michelle
Ziudith agar setiap fansnya bisa terpuaskan. Juga keindahan kota Barcelona yang
dipadupadankan bersama lagu-lagunya yang nuansanya pun dipaskan dengan
keeksotisan kotanya.
Tetapi, dengan begitu penonton akan mulai kebingungan dengan siapa itu
Mahesa, Alana, Danu dan segala bentuk karakter yang ada di dalam filmnya. Belum
baik menceritakan bangunan tiap karakter dan mengenalkan plotnya, konflik yang
memperumit film datang bertubi-tubi ditambahi dengan pengenalan karakter lain.
Ini adalah sebuah distraksi besar dari plot ceritanya yang seharusnya sederhana
dan bisa berjalan lancar-lancar saja.
Mengikuti One Fine Day akan
membutuhkan usaha yang luar biasa besar agar tahu tentang segala motif konflik
dan karakternya. Penonton disuruh untuk meraba bangunan karakter dan plotnya
dengan informasi-informasi yang tak sepenuhnya ada di sepanjang filmnya yang
berdurasi 104 menit. Seharusnya, film dengan durasi sepanjang itu sudah lebih
dari cukup untuk berusaha memberikan dasar-dasar cerita agar presentasinya
semakin kuat. Tetapi, karena obsesi tersebut, One Fine Day tak bisa memberikan performanya yang maksimal.
Memang, One Fine Day
memiliki nuansa yang berbeda dari film-film Screenplay sebelumnya yang tingkat
dramatisasinya terlalu berlebihan. Tetapi, pengarahan One Fine Day tak benar-benar berbeda bahkan sedikit menurun
performa pengarahan dari Asep Kusdinar ini. Penonton akan merasa ada beberapa
adegan hilang di dalam filmnya sehingga harus mengkoneksikan sendiri setiap
informasi dari filmnya. Inilah yang membuat One
Fine Day tak memiliki performa yang maksimal meskipun sudah mencari
atmosfir yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar