Toh, sebenarnya semua suku di Indonesia ini memiliki benang merah yang sama. Jadi, problematikanya yang dihadapi juga akan serupa. Sehingga, tak heran apabila Ngeri-Ngeri Sedap terasa dekat oleh penontonnya. Apalagi di saat tulisan ini dibuat, penontonnya sudah mencapai lebih dari 500.000 penonton.
Budaya —dalam salah satu pengertiannya —adalah kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan sudah menjadi kebiasaan atau sesuatu yang lumrah dilakukan. Sehingga, Budaya itu pun sifatnya tidak absolut. Bisa saja berubah atau berkembang mengikuti zaman. Tinggal bagaimana budaya ini bisa beradaptasi saja dengan keadaan.
Begitu pula yang terjadi di salah satu keluarga Batak ini. Pak Domu (Arswendy Beningswara) merasa bahwa dirinya adalah kepala keluarga yang gagal. Semua anaknya, terutama anak laki-laki Mereka melakukan hal di luar kebiasaan budaya Batak yang ada. Domu (Boris Bokir) harus merantau ke Jawa dan memutuskan untuk menikah dengan orang keturunan Sunda.
Gabe (Lolox), merantau ke Ibukota untuk belajar hukum di Universitas ternama tapi Malah menjadi seorang komedian terkenal. Begitu pula dengan anak terakhirnya, Sahat (Indra Jegel) yang sebagai anak bungsu seharusnya berada di tanah kelahiran untuk menjaga rumah. Tapi, malah merantau ke Jogja dan menetap di sana. Tersisa anak perempuannya, Sarma (Gita Bhebita) yang berada di rumah untuk mengurus Pak Domu dan Mak Domu (Botika Panggabean).
Tentang generasi sekarang yang dianggap selalu melawan budaya yang ada.
Akhirnya segala cara dilakukan pak Domu untuk kembali mengumpulkan mereka di satu rumah. Memberikan pengertian kepada anak-anaknya bahwa apa yang dia lakukan ternyata di luar kebiasaan-kebiasaan atau norma yang ada. Apa yang mereka lakukan sangat bertentangan dengan budaya Batak yang dulu biasa mereka ikuti dan turuti semasa kecil Bersama dengan keluarganya.
Pak Domu selalu mengeluh dengan keputusan-keputusan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Padahal, seorang anak juga bisa menentukan hidupnya masing-masing. Mereka juga bisa memilih ke mana kapal kehidupan mereka akan berlabuh nantinya.
Anak-anak generasi sekarang memiliki hak istimewa untuk mengemban ilmu lebih tinggi. Mereka menerima perubahan zaman dan akan mulai berpikir untulk menentukan sendiri tindakannya. Ada banyak pertimbangan saat melakukan tindakan-tindakan lama yang biasa zaman orang tua mereka lakukan karena mungkin hal itu tak sesuai dengan zaman sekarang. Dari sini, muncul kesan bahwa ada perlawanan budaya di generasi sekarang. Tindakan mereka menyimpang dari kebiasaan yang ada.
Hal ini pun diamini dengan hadirnya dialog antara Pak Domu dengan Ibunya. Bahwa tentu saja ajaran-ajaran lama yang tak bisa dipaksakan kepada anak-anaknya yang sudah mengikuti zaman.
Tetapi, seharusnya budaya itu pun tetap bisa beradaptasi. Bisa berkompromi dengan zaman yang ada. Seseorang bisa saja tetap terus mewarisi kebudayaan mereka tanpa perlu melakukan kebiasaan-kebiasaan lama. Mereka tetap bisa bangga dengan nilai-nilai leluhur mereka secara sukarela bila tak ada represi dalam menganutnya.
Setidaknya dalam dialognya, mereka yang masih terpaku dengan budaya lama pun harusnya memahami perilaku generasi sekarang yang harus mengikuti zaman yang dinamikanya terus berkembang. Toh tanpa ada represi pun, dalam adegannya di Ngeri-Ngeri Sedap, Pak Domu menemukan fakta bahwa Domu, anaknya, mau mengajarkan nilai-nilai leluhurnya kepada calon istrinya yang latar belakangnya malah berasal dari suku lain. Kesan melawan budaya pun muncul semata-mata karena asumsi para generasi tua saja.
Lagi-lagi ini perkara Pak Domu dan egonya yang tak mau mengalah. Mungkin bisa saja disebabkan oleh gendernya yang selalu mendapatkan hak istimewa dalam sebuah budaya. Ya, tentang laki-laki dan budaya patriarki yang mendasari berkembangnya budaya yang diaplikasikan sehari-hari.
Budaya dan relasinya dengan laki-laki yang berada di puncak hirarki.
Ego seorang laki-laki dan budaya yang menuntutnya untuk selalu tetap tegar di segala kondisi. Tentang laki-laki yang seharusnya memegang kendali. Inilah produk yang terjadi dari patriarki yang acap kali menjadi dasar dalam membentuk sebuah budaya. Laki-laki harus ini, laki-laki harus itu. Mereka sering kali berada di atas puncak sistem tanpa mereka sadari.
Begitu pula dengan Pak Domu yang mengharuskan dirinya menjadi kepala atas segala rencana dan problematika yang mereka hadapi dalam sebuah keluarga. Padahal, sebuah keluarga bisa ada juga karena kesepakatan perempuan di dalamnya. Tetapi, lagi-lagi budaya patriarki mengharuskan dirinya untuk selalu mengambil keputusan. Bagaimana Mak Domu pun tak bisa menentukan geraknya dalam melakukan rencana dari Pak Domu dan selalu bertanya “Terus, gimana ini pak?” Dan Pak Domu selalu dengan entengnya berucap “Tunggu, komando aku dulu.”
Padahal, Mak Domu juga punya suaranya. Mak Domu juga bisa menentukan keputusan dalam berperilakunya sendiri. Inilah yang dia lakukan saat dirinya memutuskan untuk membuat dirinya demam dan sakit agar anak-anaknya bisa menambah hari untuk menginap di rumahnya. Mak Domu sudah terlalu banyak diam dan mengikuti perintah Pak Domu dengan rencana gilanya untuk pura-pura bercerai.
Suara perempuan yang seringnya dibatasi dalam budaya Indonesia yang selalu menganut patriarki.
Dalam dialog-dialog film ini pun terlihat bahwa banyak sekali keluh kesah Mak Domu dalam menjalani rumah tangganya dengan pak Domu. Tapi, seakan hal itu tertahan, tak tahu harus diungkapkan ke siapa. Sehingga, meski rencananya pura-pura, tapi segala keluh kesah tentang pak Domu yang diungkapkan ke anak-anaknya oleh Mak Domu ini memang nyata adanya.
Harus terlihat pura-pura terlebih dahulu, barulah suara perempuan dianggap serius. Harus seakan-akan dibuat tidak nyata terlebih, baru perempuan bisa mengutarakan problematikanya. Sehingga, mereka merasa lebih aman dari balik kepura-puraan. Di dalam realitanya menganggap dirinya baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak begitu adanya.
Ditambah pula dengan adegan kunci yang dilakukan oleh Sarma. Mengungkapkan bahwa dirinya harus menanggalkan cita-citanya demi menjadi seorang perempuan seutuhnya katanya. Harus merelakan hal-hal bahagia dalam hidupnya demi hidup sesuai konstruksi budaya.
Tragis dan miris, di mana perempuan dalam sebuah budaya tak terasa dimanusiakan. Mereka harus menerima —yang katanya —kodrat sebagaimana budaya membentuknya. Orang-orang seakan lupa bahwa perempuan juga butuh suara dan kebebasan untuk mengatur sendiri kehidupannya.
Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara mengemas tragedi-tragedi ini dalam sebuah drama komedi. Jatuhnya satir memang. Penonton akan menertawakan tragedi-tragedi ini sekaligus bisa menangkap realita miris dengan berbagai diskursus. Dari segi budaya sampai tentang gender juga. Menyampaikan realita miris dengan pendekatan komedi ini mungkin senjata utamanya agar bisa diterima oleh masyarakat.
Sehingga, penonton tak merasa digurui dan bisa saja pulang dari menonton, harapannya mereka akan berkontemplasi; memikirkan ulang nilai-nilai budaya yang selama ini mereka yakini. Sensitivitas dalam pengarahannya inilah yang membuat karya kedua Bene Dion Rajagukguk ini terasa berbeda. Bukan sekedar memberikan sesuatu yang emosional, tetapi juga memberikan tujuan lain dalam karya jujurnya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar