Banyak orang bilang, tahun 80an adalah sebuah era emas di mana banyak
sekali sesuatu yang ikonik yang berasal dari era tersebut. Pun,
pengaruh-pengaruh tata busana, musik, dan hal lain di era 80 itu diadaptasi
lagi di era moderen ini. Dan, salah satu yang menjadi sebuah ikon dari tahun 80
adalah permainan analog. Permainan sangat terkenal di era tersebut dan
melahirkan beberapa nama-nama permainan terkenal seperti Pac-Man, Donkey Kong,
ataupun Space Invaders.
Dengan adanya dasar dari permainan analog yang biasa dikenal dengan
Arcade ini, Patrick Jean mencari sudut pandang lain tentang permainan-permainan
ini dalam sebuah film pendek. Chris Columbus yang merasakan adanya potensi dari
film pendek milik Patrick Jean, ingin menjadikannya menjadi sebuah film utuh
untuk layar lebar. Dengan judul yang sama –Pixels
–Chris Columbus sendiri yang akan menangani film ini.
Menjadikan Pixels sebagai
sebuah film aksi komedi, Chris Columbus mengajak Adam Sandler sebagai pemain
utama di dalam film terbarunya. Adam Sandler dan film komedi lambat laun
semakin menunjukkan kemundurannya. Beberapa filmnya tak memberikan performa
menyenangkan yang dapat membuat penontonnya terhibur. Dan hal itu kembali
terulang di dalam film milik Chris Columbus yang paling baru ini.
Di dalam Pixels,
menceritakan tentang Brenner (Adam Sandler) yang pernah menjadi orang yang
paling hebat di sebuah permainan analog saat masih belia. Brenner mengikuti
sebuah kompetisi permainan analog untuk menunjukkan bahwa dia yang paling
hebat. Di tempat kompetisi tersebut akan merekam permainan mereka ke dalam
sebuah kapsul dan ditunjukkan ke satelit mereka dan ditujukan kepada planet
baru di luar sana.
Sayangnya, Brenner tak bisa mengalahkan Eddie (Peter Dinklage) di
permainan Donkey Kong dan gagal menjadi yang terbaik. Setelah beranjak dewasa,
Brenner menjadi teknisi alat elektronik dan melupakan kemahirannya dalam
permainan analog tersebut. Tetapi, ada satu hal yang membuat keahlian Brenner kembali
digunakan. Kapsul yang merekam permainan analog di luar angkasa tersebut
disalahartikan oleh makhluk luar angkasa sebagai sebuah deklarasi perang. Alien
tersebut membentuk diri sebagai sebuah permainan 8-bit dan menyerang bumi.
Memiliki sebuah excitement
yang menarik, tak lantas membuat Pixels
milik Chris Columbus ini akan sama menariknya dengan excitement yang ditawarkan. Konflik yang ditawarkan di dalam Pixels memang tak memiliki sesuatu yang
besar dan itu sebenarnya bukan menjadi masalah. Hanya saja, menjadikannya
sebuah film komedi, Chris Columbus harusnya memiliki visi untuk menjadikan
komedinya menjadi sesuatu yang universal bagi penontonnya.
Tim Herlihy selaku penulis naskah dari Pixels, melulu menyelipkan sebuah slapstik komedi yang semakin lama
semakin basi. Menunjukkan tingkah laku yang sangat tak sopan dari
karakter-karakternya tak lantas membuat filmnya menjadi sebuah film yang akan
membuat penonton tertawa. Pun, Chris Columbus sangat gagal membuat penontonnya
tertawa, meskipun dia tahu mana momen yang diharapkan oleh Chris Columbus
menjadi momen untuk mengocok perut penontonnya.
Pun, komedi yang diangkat masih tak jauh-jauh dari sensualitas yang
cenderung mendiskriminasi dan membuat penontonnya menggelengkan kepala. Pun hal
tersebut menjadi sebuah minus besar, terlebih Pixels ditujukan sebagai sebuah film musim panas untuk keluarga.
Dialog-dialog kasar dan disampaikan dengan nada tinggi oleh karakternya yang
digunakan sebagai momen komedik di film ini malah terasa sangat menganggu
penontonnya.
Performa tak menyenangkan Pixels
tak berhenti dari bagaimana lelucon di dalam setiap momen film ini yang gagal
disampaikan dengan baik. Pun, Chris Columbus masih kebingungan untuk
mengarahkan konflik dari film Pixels
ini. Alih-alih untuk mengisi durasi agar memenuhi syarat sebagai sebuah film
lebar, beberapa adegan di film ini pun malah terasa terlalu panjang. Salahnya,
hal tersebut tak memberikan sesuatu yang efektif dengan bagaimana cerita di
dalam Pixels ini disampaikan.
Pixels akan terasa tertatih
untuk menceritakan bagaimana konflik di dalamnya berlangsung. Bukan
terbata-bata, tetapi penyampaian cerita yang sangat terasa cepat dengan
durasinya yang mencapai 100 menit. Segala bentuk konflik akan terasa loncat tak
beraturan dan tak bisa membentuknya menjadi sebuah linimasa cerita yang baik. Pixels pun seperti kehilangan beberapa
keping adegan yang tentu membuat penontonnya terasa bingung.
Chris Columbus sepertinya terlalu sibuk untuk mengatur excitement terhadap permainan analog di
tahun 80an ini ke dalam filmnya. Sehingga, cerita yang tak beraturan di setiap
menitnya ini adalah resiko yang diambil oleh Pixels sebagai pengorbanan dalam memberikan excitement terhadap ikon permainan analog yang menimbulkan efek
nostalgia bagi penontonnya. Dan hal itu menjadi sesuatu yang setidaknya menjadi
nilai plus dari Pixels yang sudah
gagal dari berbagai poin.
Ingin menjadikannya sebagai sebuah sajian film musim panas keluarga
yang menghibur, Pixels masih belum
bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan pengarahan, naskah, dan momen komedi yang
terasa masih di bawah batas yang diinginkan, Pixels tak bisa menjadikan poin excitement
dari permainan analog di tahun 80 ini menjadi kuat lewat presentasinya. Dan Pixels tak bisa menjadi sebuah medium
nostalgia yang menyenangkan meskipun Chris Columbus masih memberikan excitement terhadap permainan analog
ikonik di era emas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar