Minggu, 15 Mei 2016

ADA APA DENGAN CINTA ? 2 (2016) REVIEW : Kisah Kasih dan Sebuah Representasi


Sebuah legenda tercetak di tahun 2002, tatkala penonton film Indonesia sedang lesu-lesunya. Film arahan Rudi Soedjarwo yang menceritakan kisah cinta fase putih abu-abu ini mencetak 2,5 juta penonton pada kala itu. Peristiwa fenomenal ini menjadikan Ada Apa Dengan Cinta? --yang berkisah seputar cinta sepasang sejoli --ini diagung-agungkan oleh banyak pihak. Tak hanya menjadikannya sebagai sebuah prasasti pencetak sejarah, tetapi juga sebagai pijakan lahirnya budaya pop baru yang memberikan influensi yang besar terhadap kontruksi kisah cinta putih abu-abu kala itu.

Rangga dan Cinta, kisahnya mungkin tak semiris Romeo dan Juliet yang dibangun oleh sastrawan luar negeri. Kisah cinta mereka mungkin biasa, tetapi kemanisannya pun tetap terasa hingga 14 tahun kehadirannya. Para penikmat kisah Cinta dan Rangga menantikan seperti apa kisah mereka ketika mereka harus terpisahkan oleh jarak. Dengan adanya permintaan itu, Miles Films, sang empunya cerita Cinta dan Rangga, berinisiatif untuk menghadirkan lagi kisah yang mereka prakarsai. Dan  kali ini, Riri Riza mempunyai wewenang untuk menulis ‘puisi cinta’ milik Rangga dan Cinta.

Atas nama nostalgia, pada awalnya menjadi satu alasan utama tentang Ada Apa Dengan Cinta? 2. Rasa sinis maupun cemas terolah menjadi satu ketakutan besar akan hasil akhir kisah dua sejoli yang melegenda. Hanya saja, ketakutan besar itu ternyata hilang di saat Ada Apa Dengan Cinta? 2 berhasil memikat emosi jiwa penikmatnya. Ada Apa Dengan Cinta? 2 menjadi sebuah bait-bait puisi paling baru kisah cinta Rangga dan Cinta di tengah budaya-budaya mereka yang ternyata sudah saling berbeda. 


Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra) yang terpisah di sebuah bandar udara pada masa putih abu-abu itu menjadi satu memori yang membekas. Hingga 14 tahun berikutnya, semuanya seperti tak ada apa-apa di antara mereka berdua. Cinta bersama sahabatnya, Milly (Sissy Pricillia), Maura (Titi Kamal), dan Karmen (Adinia Wirasti), memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota penuh budaya bernama Yogyakarta. Liburan mereka mungkin menjadi sebuah kamuflase dari ego Cinta yang ingin menghadiri pagelaran seni milik seniman favoritnya.

Di tengah-tengah rencana liburan yang dilakukan Cinta dan sahabatnya, ada kedatangan yang tak pernah diduga. Rangga, sang masa lalu Cinta, yang pernah membuatnya porak poranda hadir di tengah-tengah gegap gempita canda dan tawa mereka. Meskipun, kedatangan Rangga tak sekalipun bertujuan untuk menginterupsi itu. Bahkan, kedatangan Rangga tak serta merta bertemu secara langsung dengan Cinta. Tetapi, Sahabatnya berusaha untuk mempertemukan mereka hanya untuk bertukar sapa dan mengikhlaskan sesama. 


Rudi Soedjarwo mungkin tak lagi kembali mencetak histori kisah milik Cinta dan Rangga. Legenda ini bangkit atas dorongan dari Riri Riza yang akan memberikan sentuhan berbeda. Ya, sudah 14 tahun lamanya, Cinta maupun Rangga bukan lagi seorang remaja sekolah menengah atas. Sehingga, diperlukan suatu kedewasaan di dalam kisahnya. Maka, yang dibutuhkan dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 bukan hanya sekedar romansa penuh klise yang terlihat mudah. Dan Riri Riza tahu bagaimana kisah Cinta dan Rangga ini terlihat memiliki kedewasaan itu.

Jika hanya atas nama nostalgia, Ada Apa Dengan Cinta? 2  bermain di atas ekspektasi penontonnya. Landasan cerita dari Ada Apa Dengan Cinta? 2 terlihat hanya sekedar romansa yang mengulik kembali memori Cinta dan Rangga yang terlihat tak bermakna. Tetapi, bukan itu yang diinginkan oleh Riri Riza saat menjalin kisah mereka lagi lewat film arahannya. 14 tahun, rentang yang cukup lama untuk karakter rekaan yang terlihat nyata ini berkembang bersama dengan kejadian yang mengiringi mereka. Sehingga, problematika di dalam karakter Rangga maupun Cinta tak hanya sekedar cinta monyet mereka saja.

Ada komplikasi, penuh pemikiran tentang sebuah penentuan sikap dan pengambilan keputusan yang akan mereka tempuh. Rangga dan Cinta kini tak lagi sama, mereka memiliki kematangan dalam karakter mereka dan itulah poin menarik dari film ini. Riri Riza memberikan sebuah nyawa kepada karakter rekaannya sehingga dapat memiliki relevansi dengan penontonnya. Jangan lagi ragukan kepiawaian para jajaran aktor dan aktrisnya yang sudah memiliki sertifikasi di dalam bidangnya karena hal itu juga yang membuat setiap karakternya terlihat nyata. 


Rangga dan Cinta bukanlah seseorang yang hanya memiliki atraksi dengan budaya-budaya yang ada. Maka, bisa dibilang mereka adalah budaya  yang sedang berusaha beradaptasi satu sama lain. Mereka bisa saja diibaratkan sebagai budaya timur dan budaya barat yang masing-masing memiliki pakemnya sendiri saat mencapai tujuan mereka. Mereka bersua di kota Jogja, di mana kota ini sedang giat melakukan pengembangan budaya yang ada agar tak punah. Hanya saja, Rangga dan Cinta punya interpretasi atas budaya mereka yang terlihat lewat proses interaksi keduanya.

Kehidupan Rangga sebagai seseorang yang tinggal lama di negara liberal, memiliki persepsi berbeda tentang komitmen yang berusaha dijalin keduanya. Komitmen hanya dilihat sebagai hubungan yang linear, antara ‘anda’ dan ‘saya’, antara ‘kamu’ dan ‘aku’. Berbeda dengan Cinta yang memiliki kehidupan di negara timur yang sangat menghargai bagaimana latar belakang seseorang, mengulik historis seseorang untuk sekedar berinteraksi apalagi untuk menjalin suatu relasi. Maka dari itu, Rangga dan Cinta digambarkan terlihat canggung pada awalnya saat memulai sebuah percakapan di dalam pertemuan pertama mereka paska 14 tahun mereka tak bercakap. 


Tetapi, Rangga dan Cinta berusaha kembali mengulik referensi dan juga pengalaman mereka sehingga menemukan kembali tanda dan lambang mereka sehingga percakapan mereka pun kembali mengalir. Mungkin sekedar basa-basi masalah kisah pribadi hingga sedikit politik yang menghiasi, tetapi penonton pun ikut tersenyum mengikuti setiap menit basa-basi mereka itu. Mungkin sekedar bersapa dengan sapaan 'aku' dan 'kamu', yang sebenarnya adalah kata baku yang perlu dipelajari ketika mempelajari budaya dalam negeri. Mereka menggunakan bahasa itu untuk menemukan intimasi atas kepingan memori yang tak lagi bersatu. Manis, bahkan kelewat manis di dalam kisah mereka yang mungkin bisa jadi basi karena 14 tahun mereka tak kunjung bertemu.
Riri Riza mungkin terlihat ingin menampilkan sebuah harmoni atas budaya yang terkonvergensi. Rangga dan Cinta adalah alat representasi atas kerangka berpikir Riri Riza untuk menyampaikan aspirasi. Maka, sedikit saja aktif dalam memaknai dan temukan bagaimana Riri Riza juga menampilkan budaya-budaya yang juga terkonvergensi. Lihat saja lantunan lagu bernuansa elektrik bertemu bahasa daerah yang tampil sebagai latar belakang musik film ini. Juga, bagaimana setting kedai kopi di dalam film ini yang menawarkan hasil ibu pertiwi dan dipersuasi dengan tren masa kini. Jelas, Riri Riza berhasil menampilkan bagaimana konvergensi budaya bukanlah ancaman yang perlu diwaspadai.


Sehingga, Ada Apa Dengan Cinta ? 2 bukan hanya menjadi dewasa lewat jalinan kisah kasih Rangga dan Cinta yang menemukan sebuah komplikasi. Tetapi, ada juga kedewasaan dalam menuturkan kisahnya itu lewat medium-medium lain yang ada di dalam filmnya. Riri Riza memunculkan sebuah representasi atas sebuah budaya yang terkonvergensi. Dua ideologi budaya berbeda yang berusaha menemukan harmoni. Entah, hal itu muncul lewat karakter-karakter di dalam film ini atau pun detil-detil kecil yang membutuhkan keaktifan untuk memaknai. Dan hasilnya, Ada Apa Dengan Cinta? 2 menjadi sajian yang sangat manis, membekas di hati, pun penuh representasi akan suatu aspirasi.

1 komentar: