Tentu banyak orang mungkin tak lagi mengerti berbagai macam fenomena
tentang kekerasaan dalam hubungan, gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya. Film
bisa jadi medium lain untuk memberikan pencerahan tentang fenomena-fenomena
tertentu agar penontonnya tahu bahwa hal-hal seperti ini itu penting untuk
diketahui. Posesif adalah salah satu film yang digunakan sebagai bentuk awareness. Dengan pemikiran terbuka,
Posesif akan membuat kalian sadar bahwa kekerasan dalam berhubungan itu ada dan
Anda perlu untuk merangkul para korbannya.
Edwin bekerjasama dengan Gina S. Noer dalam produksi naskah film
Posesif ini. Dengan begitu, film ini memiliki misi untuk mengemas sebuah pesan
tentang awareness mengenai kekerasan
ini menjadi kemasan yang bisa dicerna. Mendekatkan problematika berhubungan itu
dengan menilik lagi akarnya. Kisah-kisah seperti ini biasanya berawal mula dari
kisah-kisah cinta monyet saat remaja. Kisah cinta remaja ini diwakili oleh dua
pion utama Yudhis dan Lala, yang diperankan oleh Putri Marino dan Adipati
Dolken.
Sehingga, inilah kisah Lala (Putri Marino) seorang atlet lompat indah
yang sedang berkarir cemerlang. Dipuja oleh seluruh warga sekolah menengah atas
tempatnya menuntut ilmu. Tetapi, Lala tetaplah seorang remaja yang ingin
merasakan jatuh cinta. Bertemulah Lala dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang
ternyata diam-diam mengagumi Lala. Yudhis mencintai Lala dengan sepenuh hati
dan jiwanya. Seluruh hidupnya pun didedikasikan untuk Lala.
Yudhis adalah pacar pertama Lala dan dia sangat menikmati setiap waktu
bersama Yudhis setiap hari. Begitu pula dengan Yudhis yang benar-benar
mencintai Lala hingga tak ada sedikit saja ruang untuk Lala bersama dengan yang
lain. Hubungan mereka lambat laun menjadi tak sehat karena Yudhis sangat
protektif terhadap Lala berkaitan dengan apapun. Hubungan Lala dan Yudhis penuh
dengan naik dan turun, tetapi Lala merasa terjebak dengan Yudhis.
Jika kisah cinta SMA biasanya memiliki penggambaran yang manis di
dalam film-film manapun, Edwin mengambil sudut pandang lain yang berbeda.
Inilah sebuah realita lain tentang kisah romantis muda-mudi yang mungkin hanya
ada dalam porsi yang sedikit, tetapi perlu untuk diketahui oleh semua orang.
Edwin berusaha untuk mengemasnya dengan penuturan yang ringan, dapat diakses
oleh siapapun, tetapi tak melupakan bagaimana konflik yang ditawarkan di dalam
filmnya dalah isu yang perlu untuk diangkat.
Edwin bisa berkompromi dengan rekam jejak filmnya terdahulu bahwa
dirinya mampu dan berhasil keluar dari zona nyamannya yang biasa mengemas film
dengan penuturan yang non-populer. Tetapi, bukan berarti Posesif menghilangkan
keseluruhan jiwa dari Edwin sebagai sutradara. Masih ada beberapa permainan
emosi yang lebih subtil di dalam adegannya yang mampu memberikan nyawa lebih
dan berakumulasi sehingga menjadi sajian yang sangat emosional.
Meski isunya yang terkesan ambisius dan berbeda, tetapi Posesif hadir
dengan caranya yang sederhana. Bermimikri menjadi sesuatu yang ringan, sesekali
punya keklisean remaja masa kini untuk mempermanis suasana filmnya yang
memiliki dasar sebagai sebuah film drama romantis. Tetapi, juga berani untuk
memberikan sebuah sub genre yang terpadu dengan genre utamanya. Dua genre yang
dipadukan ini muncul sesuai dengan porsinya.
Edwin punya pengarahan yang kuat, sehingga penonton bisa ikut merasa
simpati sekaligus gemas dengan kedua karakter utamanya. Naskah dari Gina S.
Noer juga berhasil memberikan daya tarik yang lebih dinamis. Menyembunyikan
konflik demi konflik hingga menutup filmnya dengan cara yang jauh lebih subtil
tentu membutuhkan sebuah ketelitian dalam penulisannya. Meskipun, tak dapat
dipungkiri bahwa Posesif memiliki beberapa inkonsistensi yang membuat tensinya
berkurang.
Perlu untuk mendapat sorotan penting adalah dua pemain utamanya yang
berhasil memperkuat atmosfir manis dan pahitnya kisah cinta Yudhis dan Lala.
Putri Marino, seorang aktris pendatang baru ini berhasil mencuri perhatian
karena performanya yang luar biasa. Juga, Adipati Dolken yang berhasil naik
kelas dengan perannya sebagai Yudhis. Keduanya memiliki ikatan emosional yang
kuat sehingga penonton pun bisa ikut relevan dengan setiap konflik keduanya
meskipun konflik mereka jauh dari referensi penontonnya.
Maka, Posesif sebagai sebuah film punya misi khusus tentang sebuah
pengenalan bagaimana orang-orang gangguan psikologis dan kekerasan dalam
berhubungan itu nyata adanya. Bahkan, hal-hal itu kadang tertutupi dengan
beberapa kejadian-kejadian yang sangat lumrah terjadi di sekitar kita seperti
Yudhis dan Lala yang sedang asyik menjalin cinta mereka. Edwin berusaha
menjadikan Posesif untuk sebuah medium agar semua orang tahu atas isu ini.
Bagaimana caranya untuk menolong korban dalam kekerasan dan menyuruhnya untuk
lari jika tak ada cara untuk mengenalkannya dengan cara universal. Ya, Posesif
adalah alternatif cara di era sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar