Maka, untuk menyanggupi kemauan penonton, Black Panther hadir memiliki filmnya sendiri untuk disaksikan oleh
banyak orang di dunia. Menggaet sutradara handal yang pernah mengarahkan
film-film kecil seperti Fruitvale Station dan Creed, Ryan Coogler. Tentu, Black Panther tak hanya sekedar film
yang hadir sebagai kemauan Marvel mengenalkan produk superhero baru dalam ranah sinematik. Tetapi juga sebagai jawaban
atas representasi yang ada di dalam film-film serupa di Hollywood.
Minimnya representasi yang tepat atas kaum people of color, menjadikan Black
Panther sebagai sebuah mega hit blockbuster yang rilis di bulan Februari
dengan pencapaian yang sangat fantastis. Mendulang sukses dalam segi kuantitas
ternyata juga berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan oleh Ryan
Coogler di dalam film Black Panther.
Film ini mendapatkan pujian yang sangat luar biasa baik dari kritikus maupun
dari pencinta film.
Black Panther main tak hanya
dalam memuaskan ranah politik minoritas yang menjadi isu terkuat di luar sana.
Sejatinya, sebagai sebuah film manusia super, Black Panther benar-benar memberikan sebuah hal yang baru di dalam
filmnya. Tak sekedar menunjukkan Black
Panther sebagai sosok superhero
yang baru, tetapi juga memberikan pendekatan baru dalam kemasannya. Sehingga, Black Panther tentu adalah sebuah
euforia bagi pecinta adaptasi komik manusia super sekaligus sebuah pesta
representasi yang tepat.
Tak seperti Thor : Ragnarok,
Spider-Man : Homecoming, maupun Guardians
of the Galaxy yang hanya mengemas formula usangnya dengan cara
mengutak-atik genre-nya, Black Panther bermain jauh daripada itu.
Film superhero arahan Ryan Coogler
ini memasukkan unsur budaya yang kental sehingga bisa memberikan nuansa yang
sangat berbeda di film-film superhero
yang ada, bahkan untuk jajaran film Marvel sendiri. Meskipun, sebenarnya Black Panther tetap bermain di ranah-ranah
cerita yang sudah pernah dipakai dalam film-film bertema medieval.
Wakanda, sebuah negara yang didiami ini telah memiliki rajanya hingga
suatu ketika sang raja meninggal. T’Challa (Chadwick Boseman) sebagai anak
lelaki dari sang raja tentu secara tak langsung mewarisi tahta tertinggi di
Wakanda. Tetapi, keberadaan T’Challa pada awalnya sangat diragukan untuk
menjadi raja. Beberapa pihak masih belum terima bahwa T’Challa mampu untuk
memimpin Wakanda yang terdiri dari berbagai suku dan budaya yang berbeda.
Kepantasannya sebagai seorang raja diuji dengan adanya Vibranium yang
sedang diincar oleh banyak pihak yang ingin menyalahgunakan kegunaannya.
T’Challa pun pergi memburu orang tersebut dibantu oleh Okoye (Danai Gurira) dan
Nakia (Lupita Nyong’o). Tetapi, orang-orang yang sedang memburu Vibranium
tersebut memiliki satu benang merah ke satu orang bernama Erik Killmonger
(Michael B. Jordan) yang ternyata adalah seseorang dari masa lalu negara
Wakanda ini.
Perebutan tahta dan kekuasaan yang terjadi kepada T’Challa mungkin
sudah pernah dialami oleh beberapa karakter di dalam film-film dengan genre yang berbeda. Bahkan yang paling
dekat adalah plot utama dari Thor yang membahas tentang mitos-mitos kerajaan
yang mungkin sama. Perbedaannya adalah bagaimana Ryan Coogler memberikan
identitas bagi filmnya sehingga memiliki sentuhan yang berbeda dengan film-film
superhero yang ada.
Adanya nilai-nilai etnis yang sangat beragam dan begitu kental masuk
ke dalam film Black Panther. Membaur
menjadi satu dengan plot utamanya sehingga menghasilkan perpaduan menarik yang
membuat Black Panther memiliki cita
rasa yang lebih signifikan berbeda dengan yang lain. Representasi yang tepat
akan kekuatan people of color yang
juga bisa memiliki kehidupan yang layak dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya ini terangkum dengan kemasan yang sangat menyenangkan.
Tak ada pretensi dalam Black
Panther untuk menjadi sebuah film yang penuh akan muatan pesan dan
perwakilan yang berat. Ryan Coogler masih tahu porsinya dan ingat bahwa Black Panther bukanlah drama satir
dengan muatan pesan yang kuat seperti film-film yang pernah dia tangani
sebelumnya. Dengan berbagai kekentalan budaya dan representasi yang tepat
tersebut, Black Panther masih
menjalankan misinya sebagai film manusia super yang layak untuk dikonsumsi
semua pihak. Tetapi, masih memiliki signature khas dari Ryan Coogler yang berusaha memberikan urgensi representasi dalam media tentang people of color
Mungkin perjalanan cerita di paruh awal tak semulus yang dibayangkan
banyak orang. Begitu pula dengan sekuens aksinya yang mungkin masih patah
sehingga ada beberapa yang tensinya tak terjaga. Ryan Coogler menempatkan
tensinya ke dalam kekuatan emosional bercerita tentang rumitnya perebutan tahta
yang ada di Wakanda. Ini mungkin secara tak sadar membuat konfliknya terulur
tetapi sesuai dengan kerumitan yang memang ditawarkan ke dalam konfliknya.
134 menit di dalam film Black
Panther pun secara efektif terjalin dengan baik mulai dari performa deretan
pemainnya hingga permainan gambar serta musik yang sangat dikelola dengan baik.
Injeksi komedinya memang tak sebanyak Thor
: Ragnarok, tetapi memiliki keefektifan yang maksimal untuk menghibur
penontonnya. Tak juga lupa nilai dan desain produksi di dalam Black Panther yang diperhatikan dengan
sangat detil. Sehingga, setiap karakternya memang sejatinya memiliki identitasnya
masing-masing. Penonton akan dengan mudah membedakan setiap karakternya.
Black Panther memang hadir
untuk menjadi sebuah pesan bagi khalayak tentang pentingnya sebuah representasi
dalam media terlebih terhadap kaum people
of color. Lewat film Black Panther,
pesan ini seharusnya bisa secara efektif menimbulkan perilaku signifikan dari
penonton dengan realita yang ada. Misinya memang sangat berat tetapi nyatanya
sebuah pesan tentang representasi ini bisa dikemas semenarik mungkin untuk bisa
diterima dan bahkan menghibur penontonnya. Sebuah perpaduan yang menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar