Selain itu, naskah dari Yowis
Ben pun ditulis sendiri oleh Bayu Skak. Trailernya menarik tetapi tak
disangka bahwa Yowis Ben bisa menjadi
sebuah film yang mendatangkan jumlah penonton yang cukup banyak. Dengan
kedekatan budaya, tentu saja Yowis Ben
sangat menarik penonton di daerah jawa timur mulai dari Surabaya, apalagi
Malang yang setting filmnya pun berada di sana. Tentu ini adalah sebuah
fenomena menarik dalam perfilman Indonesia.
Tetapi, akan masih banyak penonton yang meragukan bagaimana performa Yowis Ben secara utuh. Nama Bayu Skak
tentu menjadi taruhan serta alasan lain bagi mereka yang tak dekat dengan
budayanya untuk hadir menonton film Yowis
Ben ini. Ketenaran Bayu Skak di media sosial tentu menjadi keunggulan
sendiri bagi Yowis Ben untuk
melakukan promosi dan mendatangkan jumlah penonton. Tetapi, kedekatan secara
budaya ini adalah kata kunci bagaimana Yowis
Ben bisa sangat sukses.
Kesuksesan yang didapatkan oleh Yowis
Ben ini untungnya masih selaras dengan bagaimana 100 menit dari film ini
dikemas oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak. Yowis
Ben memiliki kekuatan utama dalam bahasa jawa timurannya sebagai gong utama
semua celotehan komedinya. Tak bisa dipungkiri bahwa bahasa lokal inilah yang menjadi
keistimewaan dari Yowis Ben.
Terlebih, sebenarnya Yowis Ben tak
memiliki sesuatu yang baru di dalam genre-nya
untuk ditawarkan kepada penontonnya.
Yowis Ben sangat
menggantungkan dirinya dengan kedekatan budaya lokal yang sangat kental. Hal
ini mungkin tak bisa sepenuhnya bisa membuat penonton yang tak kenal budaya
tersebut akan mendapatkan efek yang sama dengan yang sudah kenal dengan budaya
tersebut. Tetapi, Fajar Nugros dan Bayu Skak setidaknya sudah memberikan
caranya sendiri untuk mengemas film Yowis
Ben agar tetap bisa dinikmati setiap orang.
Yowis Ben menceritakan
tentang seorang remaja sekolah menengah atas bernama Bayu (Bayu Skak) yang
masih saja terjebak problematika zaman now yaitu popularitas. Bayu yang hidup
bersama Ibunya yang berprofesi sebagai penjual nasi pecel membuat Bayu dikenal
sebagai Pecel Boy. Ini karena Bayu sering membantu ibunya berjualan nasi pecel
kepada teman-temannya di sekolah. Hal inilah yang membuat Bayu berpikir untuk
memperbaiki reputasinya di sekolah.
Bersama dengan teman dekatnya, Doni
(Joshua Suherman), Bayu memutuskan untuk membuat band yang bisa mengangkat
popularitasnya di sekolah. Ini juga menjadi alasan agar Bayu bisa mendekati
cewek yang dia taksir di sekolah bernama Susan (Cut Meyriska). Akhirnya bertemulah
Bayu dan Doni dengan Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim). Mereka
menamai band mereka menjadi Yowis Ben
dan beberapa videonya berhasil menjadi viral.
Plot ceritanya tak ada yang spesial, Yowis Ben menggunakan pakem dan tema yang sama dengan beberapa film
remaja yang ada. Sehingga, memang bagi yang sudah pernah menonton film dengan genre serupa, Yowis Ben tak akan menawarkan sesuatu yang baru. Tetapi, hal
tersebut tak semata-mata membuat Yowis
Ben tak bisa menjadi sajian yang menarik. Pintarnya Fajar Nugros dan Bayu
Skak mengemas sesuatu yang usang itu sehingga memiliki daya tariknya yang baru.
Memasukkan bahasa lokal sebagai injeksi daya tarik sekaligus sorotan
utama dalam film ini tentu bukanlah perkara mudah. Celotehan-celotehan bahasa
jawa timuran ini adalah kekuatan utama dalam porsi komedinya dan ini harus
punya ketelitian agar tak timbul adegan yang jatuhnya menganggu. Bayu Skak
dalam naskahnya memiliki ketelitian itu di dalam Yowis Ben. Pun, bahasa lokal ini tak hanya sebagai dialognya saja,
tetapi juga bahasa dalam lagu yang dimainkan oleh para karakternya ini berhasil
menjadi cocok di kuping penontonnya.
Yowis Ben berhasil
memberikan gambaran tentang dinamika remaja zaman sekarang yang sangat
mempedulikan popularitas apalagi di dunia maya. Konflik inilah yang perlu
digarisbawahi bahwa semua remaja di belahan provinsi manapun ternyata memiliki
konflik yang sama. Pengikut di akun media sosial menjadi momok yang penting
bagi perjalanan hidup remaja zaman sekarang. Tetapi, mereka tak benar-benar
tahu apa yang didapatkan setelah sangat mempedulikan persona yang mereka
tampilkan di dunia maya. Inilah yang membuat Yowis Ben bisa dinikmati oleh semua budaya.
Tetapi, tak bisa dipungkiri pula bahwa pentingnya penggambaran
dinamika remaja zaman sekarang ini tak bisa tersampaikan dengan sempurna. Yowis Ben mengorbankan konflik ini
kepada subplot lain tentang kekeluargaan dan cinta-cintaan yang pada akhirnya
membuat Yowis Ben tak memiliki
penceritaan yang baik. Beberapa adegan memiliki tempo yang melambat dan plot
mereka menjadi saling tumpang tindih dan diselesaikan dengan secepat mungkin.
Performa Yowis Ben pada
akhirnya memang tak bisa sempurna karena beberapa minor yang ada di dalam
filmnya. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Yowis
Ben masih memiliki beberapa hal yang bisa dinikmati oleh penontonnya. Film
ini memang sangat bertumpu kepada bahasa lokalnya sebagai kekuatan utama untuk
meluncurkan punchline komedi yang
mengundang tawa. Meski akan ada beberapa yang meleset bagi mereka yang tak
dekat dengan budayanya, setidaknya Yowis
Ben sudah berusaha menjadi sajian yang universal lewat konfliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar