Genre horor seakan menjadi portfolio wajib bagi seorang sutradara.
Apalagi, genre ini ternyata cukup dinikmati oleh penonton secara universal.
Tetapi, apabila dipadupadankan dengan genre komedi, mungkin masih belum terlalu
banyak. Inilah yang menarik dari film lebaran tahun ini yang diproduseri oleh
Ernest Prakasa. Diambil dari premis menarik di kelas skenario Ernest Prakasa, Ghost Writer menjadi salah proyek milik
Starvision Plus yang terlihat menarik.
Bene Dion Rajagukguk dipercaya untuk menangani film ini. Dirinya
sendiri telah lebih dulu menjalani karir sebagai penulis naskah di beberapa
film besar dan salah satunya adalah Suzzanna:
Bernapas Dalam Kubur. Tentu, menulis naskah horor sudah bukan lagi
kekhawatiran baginya, apalagi jika dibalut dengan komedi. Ghost Writer ini menjadi film pertamanya sebagai sutradara
sekaligus menulis naskahnya sendiri dibantu oleh sang pemilik ide cerita yang
berasal dari kelas skenario itu.
Tentu, dengan nama Ernest Prakasa sebagai taruhan, akan dengan mudah
bagi film ini untuk mendapatkan jajaran pemain yang juga cukup menjanjikan.
Tatjana Saphira, Endy Arfian, Deva Mahenra, hingga Asmara Abigail mau untuk
berkolaborasi dalam film ini. Serta masih ada nama-nama besar lain yang juga
ikut meramaikan mulai dari Slamet Rahardjo, Dayu Wijanto, dan juga Ge Pamungkas.
Ini tentu membuat Ghost Writer punya
magnet untuk calon penontonnya.
Dengan ide yang dianggap menarik dan promo yang lumayan masif,
tentu saja Ghost Writer menarik hati
penontonnya. Terlebih, film ini pun dirilis saat musim Lebaran tiba. Ini adalah
waktunya film Indonesia menunjukkan taringnya untuk mendapatkan raihan jumlah
penonton yang lumayan besar. Secara premis keseluruhan, Ghost Writer memang punya konsep yang cukup unik dan sangat menarik
dengan perpaduan genre-nya.
Bene Dion Rajagukguk sebagai sutradara tentu saja berusaha untuk
memberikan yang terbaik di atas konsepnya yang menarik. Memang, Ghost Writer secara filmnya sendiri bisa
menyajikan sesuatu yang masih kategori baik. Filmnya bisa berjalan dengan
lumayan lancar di durasinya yang mencapai 97 menit. Tetapi, Ghost Writer seperti berjalan dengan
eksekusi yang masih bermain aman. Dengan premis yang sebesar itu, Ghost Writer harusnya masih bisa untuk
dikembangkan lebih dalam lagi.
Ghost Writer, secara arti
sebenarnya mungkin bisa diartikan sebagai seseorang yang membantu para penulis
ketika menuliskan karyanya. Tetapi, Ghost
Writer di dalam film ini diartikan secara harafiah tetapi dengan fungsi
yang sama. Iya, hantu yang membantu seorang penulis bernama Naya (Tatjana
Saphira) yang sedang menulis buku barunya. Awal pertemuannya terjadi ketika
Naya baru pindah ke rumah kontrakan baru yang lebih murah karena sudah tak
sanggup lagi membayar biasa yang makin mahal.
Naya hanya tinggal berdua dengan adik laki-lakinya, Darto (Endy Arfian).
Di rumah kontrakan barunya inilah, dia menemukan sebuah buku harian milik
seorang laki-laki bernama Galih (Ge Pamungkas). Ternyata, dia adalah bekas
penghuni rumah ini yang sudah lama meninggal karena bunuh diri. Saat Naya
memegang buku harian itu, Dia bisa melihat Galih. Dia pun meminta izin untuk
menuliskan ulang cerita Galih untuk novel terbarunya nanti. Galih setuju dan
membantu Naya menyelesaikan novelnya.
Setelah itu, penonton akan dibawa dalam pengalaman unik Naya saat
menuliskan novelnya bersama Galih di dalam film Ghost Writer ini. Menarik sebenarnya, mengetahui setiap interaksi
antara Naya dan Galih di dalam film ini. Melihat bagaimana seorang karakter
hantu yang biasa dikenal sebagai sosok yang seram bisa berinteraksi. Bahkan, karakter
hantu ini pun bisa menjadi sebuah comic relief yang bisa membuat penontonnya
tertawa.
Ya, pemilihan karakternya juga sudah cocok, Ge Pamungkas sebagai hantu
Galih bisa mengeluarkan comic relief
secara alami. Kalau menurut salah satu dialog dari Galih, di sini karakter
hantunya gak ada wibawanya sama sekali, secara tak langsung menggambarkan momen
horor di filmnya. Sebagai kolaborasi dari dua genre, momen horor di film ini
tak ditampilkan dengan kuat. Gak ada momen yang bikin merinding, bahkan
komedinya pun beberapa masih tak tepat sasaran.
Inilah yang membuat Ghost Writer
yang secara premis dan konsep bisa menjadi presentasi yang menjanjikan, malah
berada dalam presentasi yang generik. Karakter Naya dan Galih bisa memiliki
interaksi yang lebih dalam lagi. Mungkin terbatasnya durasi sehingga membuat
kurangnya ruang untuk eksplor dan bergerak lagi. Sehingga, beberapa konfliknya
pun masih belum bisa tersampaikan dengan lebih maksimal dan bahkan terasa
tumpang tindih.
Memang,
konflik utama dari film ini adalah interaksi antara Naya dan
Galih. Tetapi Naya sebagai karakter utama memiliki banyak konflik dengan
karakter pendukungnya. Mulai dengan adiknya hingga pasangannya tetapi
setiap
konfliknya hanya sebagai pelengkap saja. Bahkan, ada sedikit
inkosistensi dalam memberikan peraturan saat ingin bertemu dengan sang
hantu. Pengarahan dari Bene Dion Rajagukguk tak bisa memberikan
penegasan untuk hal tersebut.
Hal
ini cukup berdampak saat penyampaian konflik utamanya. Sehingga,
penonton baru saja sadar hal itu di babak terakhir filmnya. Hal-hal
kecil inilah yang perlu untuk dieksplorasi lagi karena secara tak
langsung membuat penonton tak bisa menaruh simpati
lebih kepada setiap karakternya. Padahal masih ada cukup ruang dan cela
untuk konfliknya berkembang lagi. Beruntung, Ghost Writer
masih memiliki cukup amunisi di babak ketiga filmnya.
Ada nilai keluarga yang cukup membuat hati hangat untuk penonton
filmnya. Iya, Ghost Writer rasanya
baru terasa mengalami tanjakan konflik di bagian 30 menit terakhir. Mungkin,
Bene Dion berusaha untuk menutupi bagian ini dan mengorbankan satu jam sebelumnya
yang menahan emosi di beberapa adegannya. Padahal, jika mau lebih digali lagi,
bisa saja impact di adegan 30 menit
terakhir ini bisa lebih dalam lagi. Dengan premis yang ditekankan sangat
menarik untuk dikulik, Ghost Writer
sebagai karya debut dari Bene Dion Rajagukguk masih dalam kategori bisa
dinikmati. Hanya saja, memang masih banyak ruang untuk eksplorasi lebih lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar