Pernah dalam sebuah kelas saat kuliah tahun 2015 lalu kalau tidak
salah ingat. Seorang Dosen memberikan pertanyaan tentang bagaimana perempuan
diperlakukan dalam sebuah media mereka bekerja. Berbeda atau tidak?
Dan dibuatlah menjadi sebuah tugas untuk menanyakan hal itu ke
pekerjanya langsung. Temuan yang didapat adalah pekerja yang saya wawancara
merasa bahwa tidak ada perbedaan. Bahkan, sang bos bilang bahwa dirinya sebagai
perempuan adalah keuntungan bagi perusahaan. Soalnya, perempuan identik dengan
kerjanya yang lebih teliti. Lantas, sang dosen malah berbalik tanya. “Lalu,
bukankah statement dari bosnya itu malah membuat dirinya malah dibedakan?
Harusnya, kamu tanya lagi lebih detil.”
Sejenak aku tertegun dan terdiam. Apa iya itu malah sebuah
diskriminasi gender dalam pekerja media?
Pernyataan dosen ini kembali teringat di memori aku saat menonton Bombshell yang disutradarai oleh Jay
Roach. Iya, film ini terinspirasi dari kisah nyata tentant 3 perempuan yang
sedang bekerja di perusahaan media terbesar di Amerika sana. Dibintangi oleh 3
aktris utama dengan performa yang luar biasa, Charlize Theron, Nicole Kidman,
dan Margot Robbie. Mereka benar-benar menghidupkan film dengan performanya yang
luar biasa.
Film ini menceritakan tentang bagaimana 3 perempuan yang sedang
bekerja di media yang menemukan banyak masalah dalam prosesnya berkarir. Megyn
Kelly (Charlize Theron), Gretchen Carlson (Nicole Kidman), dan Kayla Pospisil
(Margot Robbie) adalah salah tiga pekerja media perempuan yang mengalami
diskriminasi dalam perjalanannya. Mereka memang sudah cukup punya nama dalam
yang besar saat bekerja. Tetapi, dalam prosesnya banyak hal-hal keji yang
dilakukan oleh petingginya, Roger Ailes (John Litgow) yang ternyata malah
memanfaatkan mereka.
Tetapi, tentu mereka hanya bisa diam atas tindakan semena-mena yang
didapatkan. Faktor kuasa yang bisa menyebabkan apa yang sudah mereka bangun
selama bertahun-tahun berkarir bisa hancur begitu saja dalam sekejap. Hingga
suatu ketika, Gretchen sudah merencanakan untuk menuntut keadilan atas tindakan
tak wajar yang dilakukan oleh Roger kepadanya. Mulai dari sinilah, perjuangan
para pekerja perempuan dalam media dimulai.
Terkadang sebuah peristiwa yang sudah biasa terjadi dan terus menerus
terulang akan menjadi sebuah ‘budaya’ yang akan dengan mudah dianggap lumrah
oleh banyak orang. Praktik-praktik kerja media yang terkadang suka
mendiskreditkan perempuan ini seakan menjadi hal yang wajar dan sering
dilakukan. Hal inilah yang membuat perempuan itu sendiri seakan tak sadar bahwa
mereka sedang dilecehkan. Merasa laki-laki telah memberikan panggung pada
perempuan sehingga saling menyalahkan terhadap perempuan lainnya karena
dianggap terlalu terbawa perasaan.
Ya, hal ini tergambar jelas lewat mise-en-scene
yang dihadirkan dalan film Bombshell.
Memperlihatkan di satu adegan penting di mana, hal itu menunjukkan
ketidakselarasan antara apa yang diucapkan oleh para perempuan dengan apa yang
mereka hadapi dalam realitanya. \
Hal itu adalah saat sosok Perempuan sedang berusaha mendukung Roger Ailes dan merasa bahwa dirinya tidak pernah dituntut untuk mengenakan pakaian yang mini. Tetapi, saat sedang menyatakan hal tersebut di depan temannya, dirinya sedang mendapatkan kritik dari seseorang bahwa baju yang dirinya kenakan saat itu juga dirasa kurang tepat untuk tampil di televisi. Serta, masih banyak adegan yang menunjukkan pengorbanan wanita untuk bisa tampil di televisi. Contoh kecil seperti tumit yang lecet karena memakai sepatu hak tinggi setiap saat.
Inilah yang menarik untuk didiskusikan. Ketika para pekerja perempuan media itu menunjukkan bahwa masih ada kesetaraan di dalam pekerjaannya. Tetapi, secara langsung, adegan tersebut juga mempertunjukkan bahwa masih ada banyak tuntutan dan apa yang harus diperhatiakan oleh perempuan dan tubuhnya untuk bisa tampil di media tersebut. Ini semua karena Roger Ailes sebagai laki-laki yang memegang kendali. Lagi-lagi, praktik male gaze, sebuah pandangan dari laki-laki, sedang berusaha dilakukan.
Hal itu adalah saat sosok Perempuan sedang berusaha mendukung Roger Ailes dan merasa bahwa dirinya tidak pernah dituntut untuk mengenakan pakaian yang mini. Tetapi, saat sedang menyatakan hal tersebut di depan temannya, dirinya sedang mendapatkan kritik dari seseorang bahwa baju yang dirinya kenakan saat itu juga dirasa kurang tepat untuk tampil di televisi. Serta, masih banyak adegan yang menunjukkan pengorbanan wanita untuk bisa tampil di televisi. Contoh kecil seperti tumit yang lecet karena memakai sepatu hak tinggi setiap saat.
Inilah yang menarik untuk didiskusikan. Ketika para pekerja perempuan media itu menunjukkan bahwa masih ada kesetaraan di dalam pekerjaannya. Tetapi, secara langsung, adegan tersebut juga mempertunjukkan bahwa masih ada banyak tuntutan dan apa yang harus diperhatiakan oleh perempuan dan tubuhnya untuk bisa tampil di media tersebut. Ini semua karena Roger Ailes sebagai laki-laki yang memegang kendali. Lagi-lagi, praktik male gaze, sebuah pandangan dari laki-laki, sedang berusaha dilakukan.
Hal ini tentu mendukung pernyataan dosen saya kala itu yang berusaha
skeptis tentang praktik kesetaraan oleh pekerja perempuan dalam suatu media
dalam realitanya. Apa iya pernyataan bos tentang pekerjaan perempuan yang lebih
teliti itu adalah sebuah pujian dan afirmasi. Atau hal itu malah menunjukkan
bahwa ada praktik stereotypical dari
subjektivitas laki-laki terhadap perempuan?
Menarik untuk didiskusikan lebih dalam. Bombshell tentu bisa menjadi medium untuk diskusi atas representasi
permasalahan yang mungkin saja masih relevan dengan budaya media saat ini.
Tetapi mungkin, sebagai sebuah film itu sendiri, Bombshell terlalu menggebu-gebu dalam emenuturkan isunya yang
sangat menarik. Perempuan dan diskriminasi atas apa yang dilakukannya adalah
poin utama dalam film ini. Tetapi, semuanya ingin berusaha dirangkum. Sehingga,
ada beberapa bagian yang terasa masih perlu banyak waktu untuk diolah.
Ceritanya yang terkadang tidak runtut, hingga turn over konflik yang terlalu cepat terjadi.
Mungkin, itulah kelemahan Jay Roach dalam mengarahkan film ini. Naskah
yang rumit dari Charles Randolph ini mungkin tak sepenuhnya bisa tersampaikan.
Bahkan, akan ada cita rasa yang sama persis seharusnya seperti The Big Short.
Beruntung, film ini punya “3
srikandi” yang kuat dan mendukung 109 menitnya (Ya, versi Indonesia. Ada
mungkin 9 menit terpotong.)
Charlize Theron adalah hal terkuat yang ada di dalam film ini.
Performanya sebagai pekerja perempuan tangguh seperti Megyn Kelly dengan mudah
meyakinkan penontonnya. Begitu pula dengan Nicole Kidman sebagai Gretchen
Carlson dan Margot Robbie yang berhasil memperlihatkan betapa ambisiusnya
karakter Kayla dalam film ini. Semuanya padu padan dan cukup membuat kekurangan
dalam film ini sedikit terobati.
Bombshell memang tak
sempurna, tetapi isunya sedang menjadi relevansi di berbagai belahan dunia. Sebagai
medium berdiskusi? Tentu saja. Film ini sedang berusaha realita tentang praktik
diskriminasi yang sering terjadi kepada perempuan sebagai pekerja media. Karena
keadilan terhadap wanita ternyata masih fiktif belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar