Ada beberapa film yang sedang berusaha untuk memberikan pengakuan
terhadap kaum wanita yang masih juga dicap sebagai kaum marjinal –kaum yang
tersingkirkan. Dengan isu-isu seperti ini, film akan dikemas se-unik mungkin
agar bisa menarik perhatian–secara konten dan visual –dari pemerhati film di
beberapa festival. Meskipun, pendekatan yang dilakukan oleh pembuat film jenis
seperti ini masih menggunakan pendekatan arthouse
yang serupa.
Dan salah satu film yang juga membahas isu-isu seperti ini adalah film
pemenang Festival Film Indonesia 2015, Siti. Film independen garapan Eddie Cahyono
ini pada awalnya hanya didistribusikan lewat pemutaran-pemutaran mandiri yang
dilakukan oleh komunitas-komunitas penggiat film independen. Meski begitu, Siti
akhirnya diakui oleh beberapa petinggi festival dan akhirnya melebarkan
sayapnya ke layar lebar.
Siti jelas berbeda dengan kebanyakan film-film –yang dibilang –komersil
saat tayang di bioskop. Eddie Cahyono membuat Siti dengan kemasan bertutur yang
unik dengan aspect ratio seukuran
layar televisi tabung. Juga, membuat warna film miliknya menjadi film hitam
putih. Ya, inilah yang membuat Siti berbeda dan berani dalam menyampaikan 85
menitnya. Tetapi, Siti mengalami krisis dalam menyampaikan sebuah idealisme-nya
yang seharusnya membela kaum wanita.
Seorang wanita bernama Siti (Sekar Sari) rela benar untuk bekerja
siang malam untuk menghidupi anak dan keluarganya. Kehidupan Siti tak bisa
jauh-jauh dari bekerja keras agar dapat mendapatkan uang untuk melunasi hutang
piutang suaminya yang semakin lama semakin tak berdaya. Dia harus mendapatkan
uang 10 juta untuk melunasi hutang suaminya untuk membeli kapal. Na’asnya, sang
suami mengalami musibah dengan kapal yang masih hutang tersebut.
Di pagi hari, Siti menjual keripik di pantai untuk mengumpulkan rupiah
demi rupiah tersebut. Tetapi, Siti pun mengalami transisi luar biasa ketika
matahari sudah mulai tenggelam. Pada malam hari, Siti bekerja sebagai wanita
pendamping di sebuah karaoke di sekitar daerahnya tinggal. Dan di sana lah,
Siti mendapatkan uang lebih banyak ketimbang berjualan keripik. Dan dia bertemu
dengan seorang pria bernama Gatot (Haydar Saliz) yang memiliki ketertarikan dengan Siti.
Siti menampilkan sebuah fenomena sosial tentang kaum wanita dengan
kemasan yang berani berbeda dengan film-film komersil yang ada lainnya.
Pengemasan warna film yang diputuskan menjadi hitam putih dan dengan aspect ratio 4:3 menjadikan Siti akan
terasa unik untuk diikuti di sepanjang 86 menit filmnya. Plot cerita Siti pun
sederhana, tanpa ada beberapa konflik yang terlalu kompleks tetapi Siti ingin
menyampaikan secara jujur sebuah fenomena menarik tentang strata sosial dan
gender.
Eddie Cahyono ingin menjadikan filmnya sebagai sebuah cerminan jujur
akan realita yang ada di sekitar mereka. Bagaimana seorang wanita berusaha
keras untuk mendapatkan pengakuan yang sederajat dengan para lelaki. Bagaimana
kaum pinggiran berusaha keras untuk mencari penghasilan demi menghidupi dirinya
dan keluarganya. Iya, Eddie Cahyono memang sudah benar dan berhasil
merefleksikan itu ke dalam karakter dan cerita representatif lewat Siti.
Kehidupan Siti memang berbanding terbalik pada saat fajar menyingsing
dengan ketika matahari telah tenggelam. Begitu pula dengan isu yang berusaha
diangkat oleh Siti di dalam film ini. Eddie Cahyono memang sedang berusaha
keras mengadakan sebuah kontemplasi strata dan klasifikasi gender di kehidupan
sekitar. Tetapi yang terjadi adalah Siti malah jatuh menjadi sebuah sajian yang
generik dan berbanding terbalik dengan tujuan Eddie Cahyono.
Paradigma-paradigma tentang persamaan derajat dalam gender yang menjadi
isu utama itu ternyata malah terlihat samar. Film Siti jatuh menjadi sebuah
studi karakter bahwa patriarki itu masih ada dan menjajah wanita seperti
Siti. Padahal, Eddie Cahyono sudah menempelkan atribut-atribut pemberontakan wanita
–meski klise –kepada karakter Siti. Dan sayangnya, film Siti tak memaksimalkan
tujuan utama pembuatannya untuk mengemas film ini menjadi lebih kuat dalam
mengangkat isu tersebut.
Jika warna hitam putih dan aspect
ratio 4:3 yang digunakan oleh film ini yang juga berperan sebagai alat
penutur cerita, lantas tak ada signifikansi yang cukup besar. Poin-poin teknis
yang digunakan oleh film ini akan terkesan sebagai estetika semu yang tak
selaras dengan jalinan cerita yang ada di dalam film ini. Begitu pun dengan
ukuran layar 4:3 di film ini, jika iya Eddie Cahyono menggunakannya sebagai
alat bertutur, jelas dia akan memanfaatkan ruang itu.
Sayangnya, sinematografi dalam film Siti tak benar-benar memaksimalkan
kesempitan ruang bergerak karakter-karakter di dalamnya. Mungkin, Eddie akan
berusaha untuk merepresentasikan bagaimana Siti sangat sulit untuk bergerak
ketika harus menjalani kodratnya sebagai seorang wanita yang sudah
berkeluarga. Tetapi, gambaran akan keterbatasan itu tak sepenuhnya muncul
karena aspek teknis yang sudah tak dimaksimalkan lagi.
Ya, menjadi sebuah presentasi yang berbeda memang bukanlah menjadi
masalah bagi Siti. Eddie Cahyono masih berhasil memberikan alternatif tontonan
yang unik dan sekaligus menarik untuk diteliti lebih dalam lagi. Sayangnya, di
tengah temanya yang ingin mengangkat derajat kaum wanita sebagai kaum marjinal,
Siti malah menjadi sebuah pesta patriarki dengan euforia yang besar di segala
konfliknya. Juga, bagaimana dukungan segi teknis dengan tujuan memberikan
estetika itu malah jatuh memberikan sebuah kehampaan di dalam filmnya. Maka
sayang, Siti masih kurang matang.
Film dari A-Z
BalasHapusMoviewers