Film adalah sebuah medium untuk menyampaikan pesan. Hal ini dapat
digunakan oleh banyak pihak untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Salah
satunya adalah menggunakan film untuk menunjukkan suara-suara yang terpendam di
tengah kebisingan suara masyarakat yang sama setiap harinya. Menunjukkan
realita lain yang perlu diangkat dan ditunjukkan kepada banyak orang di tengah
realita yang itu-itu saja.
Mungkin tujuan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Yosep Anggi
Noen saat ini. Menggunakan film sebagai medium menyuarakan pendapat,
menyuarakan orang yang telah lama hilang untuk ‘dihidupkan kembali’. Lewat film
terbarunya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’,
Yosep Anggi Noen ingin mengingatkan sosok penting di tengah era orde baru. Wiji
Thukul, salah satu simbol perlawanan orde baru yang hilang saat membela hak
asasinya.
Mengenalkan kepada banyak orang tentang Wiji Thukul –mungkin –adalah
tujuan utama dari Yosep Anggi Noen. Lewat ‘Istirahatlah
Kata-Kata’, Yosep Anggi Noen ingin menumbuhkan, setidaknya awareness terhadap sosok tersebut. Wiji
Thukul tentu adalah sosok yang unik, menyuarakan pendapatnya adalah nafas baru
bagi perfilman Indonesia dalam genre film biografi. Keunikan sosok Wiji Thukul
pun diarahkan dengan pendekatan yang ‘unik’ pula oleh Yosep Anggi Noen.
Yosep Anggi Noen memang tak memiliki rekam jejak film dengan
pendekatan yang populer. Sehingga, keunikan dari sosok Wiji Thukul ini memang
menjadi kekuatan sendiri bagi Yosep Anggi Noen dalam merangkai ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Muncul banyak
ketenangan yang digambarkan lewat adegan-adegan statis yang digadang sebagai
sebuah puisi visual layaknya Wiji Thukul yang memiliki keterampilan menulis
puisi.
Di saat sosok Wiji Thukul adalah satu titik balik penting dari
pemerintahan Indonesia dan sosoknya yang dekat dengan masyarakat, pengarahan
milik Yosep Anggi Noen tak sengaja memberi jarak antara karakter tersebut
dengan penontonnya. Sosok yang perlu mendapat sorotan dan didekatkan kepada
penontonnya ini terasa memiliki eksklusivitas. Hal itu tak hanya muncul lewat
cara penyampaian dari Anggi Noen tetapi juga bagaimana dia menggambarkannya.
Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) adalah sosok pahlawan kata-kata yang
sedang menjadi buronan di negaranya sendiri. Dia adalah salah satu orang yang
melawan tatanan negara orde baru lewat puisi-puisi yang dibuatnya. Dia pun
berkelana jauh, pergi dari pulau Jawa tempat tinggalnya ke pulau-pulau lain
hanya untuk menyelamatkan dirinya agar tak tertangkap oleh polisi dan
antek-antek orde baru lainnya.
Di tengah perjuangan Wiji Thukul menjauhkan diri dari para antek-antek
orde baru yang berusaha menangkapnya, sisi lainnya Istri Wiji Thukul, Sipon
(Marissa Anita) pun hidupnya ikut tak tenang. Sipon gelisah atas keadaan Wiji
Thukul, juga gelisah karena hidupnya selalu diawasi oleh Polisi-polisi yang
ingin menangkap Wiji Thukul. Sipon dipaksa untuk memberitahu di mana Wiji
Thukul berada dan itu membuatnya tersiksa.
Istirahatlah Kata-Kata
sebagai sebuah film harusnya memberikan informasi tentang sosok Wiji Thukul
yang telah dibungkam berpuluh tahun lamanya. Tujuan Yosep Anggi Noen sebenernya
mulia untuk menghidupkan kembali
suara-suara yang telah hilang. Lewat Istirahatlah Kata-Kata, Yosep Anggi Noen ‘menghidupkan
lagi’ sosok Wiji Thukul yang memberikan dampak besar terhadap tatanan orde baru
yang otoriter kala itu. Orang-orang perlu tahu siapa Wiji Thukul yang selama
ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.
Dalam menyampaikan informasi tersebut, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ tak dapat menuntaskan misinya dengan baik.
Sosok Wiji Thukul yang dikenal di segmentasi tertentu itu pun tak dapat dikenal
secara universal. Hal itu, dikarenakan keunikan Yosep Anggi Noen dalam
menuturkan ceritanya yang terkadang tak sepenuhnya berisikan informasi itu.
Puisi yang dilantunkan Gunawan Maryanto sebagai pengiring adegan-adegannya itu belum
bisa ditransalasikan dengan pintar. Ada kesempitan ruang bergerak dalam
menyampaikan informasinya dikarenakan idealisme sang sutradara.
Wiji Thukul adalah simbol atas perlawanan tatanan orde baru yang
otoriter. Lewat ‘Istirahatlah Kata-Kata’,
sang sutradara berhasil mengingatkan kembali kepada banyak orang tentang hak
asasi manusia yang dilanggar di orde baru. Tetapi, lagi-lagi Yosep Anggi Noen
tak bisa mengembangkan idenya yang luar biasa dengan visualisasi yang pintar.
Menggambarkan perlawanan dalam sebuah narasi film seharusnya tak melulu harus
menggunakan kata-kata tak beretika seperti ‘tahi’ atau ‘asu’ yang dalam bahasa
Indonesia berarti anjing. Juga, menggunakan atribut minuman keras sebagai
simbol perlawanan itu.
Dengan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan itu memang memberikan
penekanan bahwa memang seperti inilah realita yang ada di masyarakat.
Menunjukkan bagaimana masyarakat kelas bawah berinteraksi satu sama lain tanpa
ada dramatisasi. Kesalahan itu malah membuat film ini tak memiliki elegansi dan
menunjukkan bahwa sang sutradara tak terlalu berpandangan luas dalam memberikan
interpretasi. Padahal, ada satu adegan dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’ yang memberikan satu penggambaran ironi
yang pintar saat sedang bervisualisasi.
Terjadi pula alienasi yang terjadi antara sosok Wiji Thukul dan
penonton yang seharusnya memiliki intimasi karena sosok ini seharusnya memiliki
atribut yang setara dengan masyarakat biasa pada umumnya. Tetapi, penggunaan
narasi berbahasa inggris di awal dan di akhir film membuat ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memiliki jarak
dengan penontonnya. Dan hal itu, berbanding terbalik dengan bagaimana dialog
atau naskah di dalam film ini yang dibuat begitu kasar dengan dalih menunjukkan
realita yang sebenarnya.
Pun, terjadi penggambaran yang malah salah tentang sosok Wiji Thukul
di dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’
ini. Bagaimana Yosep Anggi Noen melakukan pendekatan yang unik ini dan tak
begitu hati-hati memperhatikan informasi yang berusaha disampaikan, maka akan
terjadi kesalahan persepsi. Penonton akan menanyakan apa yang telah dilakukan
oleh Wiji Thukul? Apa yang membedakan Wiji Thukul dengan pemberontak lainnya?
Lantas, apa yang membuat Wiji Thukul PERLU
untuk disuarakan kembali kepada masyarakat luas? Hal itu tak begitu dapat terjawab hingga
akhir film ini.
Istirahatlah Kata-Kata memang tak menunjukkan perjalanan sosok Wiji
Thukul dengan linimasa waktu yang runtut. Poin yang berusaha digambarkan oleh
Yosep Anggi Noen memang ketika Wiji Thukul sedang menyelamatkan nyawanya.
Tetapi, lantas tak ada visual apapun yang menyokong betapa pentingnya Wiji
Thukul untuk bersembunyi dari kejaran orde baru. Malah, setiap visualisasi dan
atribut pemberontakan klise ini memberikan pandangan bahwa sosok ini tak
memiliki urgensi apapun untuk dikenalkan kepada masyarakat luas dan ini adalah
kesalahan.
Sebagai sebuah tontonan alternatif, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ memang dapat menjadi salah satu referensi.
Di dalam film ini, ada keunikan yang biasa dilakukan oleh Yosep Anggi Noen di
film-film sebelumnya, apalagi sosok yang berusaha diangkat oleh Yosep Anggi
Noen di dalam film ini juga mewakili keunikannya dalam bertutur. Sayangnya,
keunikan dalam bertutur tak begitu matang sehingga mempengaruhi performa ‘Istirahatlah Kata-Kata’ sebagai film
utuh. Kurangnya penuturan yang hati-hati oleh Yosep Anggi Noen menyebabkan
beberapa bagian malah menimbulkan kesalahan persepsi. Begitu pula, menunjukkan
bahwa Yosep Anggi Noen memiliki keterbatasan dalam berinterpretasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar