Mungkin, orang-orang baru saja mengenal karya-karya dari Damien
Chazelle lewat Whiplash, sebuah film
drama suspense dengan musik sebagai
dasar ceritanya. Itu pun bukan kali pertama Damien Chazelle memberikan sebuah
film dengan musik sebagai poin pentingnya. Ada Guy and Madeline on A Park Bench dan meskipun tak mengarahkan
langsung, ada Grand Piano, di mana Damien
Chazelle juga ikut berpartisipasi dalam menuliskan naskahnya.
Tahun 2016 lalu, Damien Chazelle
menghadirkan kembali sebuah film dengan tema musik. Berbeda dengan Whiplash atau Grand Piano, kali ini Damien Chazelle menghadirkan sebuah drama
romantis musikal lewat La La Land.
Dengan adanya Emma Stone dan Ryan Gosling di deretan pemainnya, film ini akan
menumbuhkan antisipasi yang besar dari penontonnya. Apalagi, Whiplash berhasil
menyabet beberapa penghargaan di ajang Academy
Awards.
Jazz adalah kekuatan dari
Damien Chazelle untuk mendasari setiap film-filmnya, begitu pula yang terjadi
di La La Land. Damien Chazelle
berusaha mengajak penontonnya berbicara secara intim tentang dua bidang yang
sedang dia nikmati, musik dan film. La La
Land dijadikan sebagai medium romantisasi atas surat cinta yang ingin
disampaikan oleh Damien Chazelle terhadap industri hiburan yang melambungkan
namanya.
Sebuah film musikal memang memiliki segmentasi yang berbeda, begitu
pula dengan bagaimana cara mengemasnya. Harus memiliki kehati-hatian dan
memberikan pengalaman sinematik yang berbeda pula kepada penontonnya. Di dalam La La Land, Damien Chazelle tahu benar
memberikan pengalaman sinematik musikal yang
berdampak kepada penontonnya. Memang secara visual, sekuens musikal di
dalam La La Land tak terlalu besar.
Hanya saja, kesederhanaan dalam kemasan visual itu memberikan kekayaan di aspek
emosi yang dimainkan oleh sang sutradara.
Ada intimasi yang muncul di dalam penuturan film La La Land dengan penontonnya. Damien Chazelle memperlakukan
penonton sebagai teman bincang-bincang di sebuah bar di malam hari,
membicarakan tentang mimpi-mimpinya di industri hiburan. Sesekali membahas
kisah romantis yang pernah dialami agar tak melulu serius dan kisah romantis
itu juga menjadi sebuah histori perjalanannya dalam meraih mimpinya.
Dan inilah cerita tentang perjalanannya dalam meraih mimpi yang
direpresentasikan kepada Mia Dolan (Emma Stone), seorang kasir di sebuah kafe
di Hollywood. Dia bermimpi ingin menjadi seorang aktris terkenal. Segala audisi
dengan berbagai peran berusaha dilakoni agar dapat meraih cita-citanya sejak
kecil. Meski tetap saja, audisi yang Mia lakukan tak pernah berhasil. Serta,
ada Sebastian (Ryan Gosling), seorang musisi Jazz idealis yang sedang bermimpi
memiliki bar sendiri dan menjadi musisi Jazz yang bisa dikenal banyak orang.
Mereka tak sengaja bertemu di sebuah bar dan pertemuan awal mereka
memang tak terlalu baik. Tetapi mereka adalah pemimpi yang sama-sama ingin
mewujudkan mimpinya. Dengan alasan yang sama itu, mereka semakin lama semakin
akrab. Mereka membicarakan mimpi-mimpinya yang berada di bidang yang berbeda. Dan pada akhirnya, mereka
berdua pun bersama-bersama berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Topik tentang mimpi ini menjadi salah satu cara agar La La Land memiliki kedekatan dengan
penontonnnya. Meski visual drama musikalnya terasa berbeda dengan realita yang
ada, tetapi Damien Chazelle memiliki niat agar penontonnya bisa ikut merasakan
kedekatan problematika dengan kedua karakternya. Damien Chazelle seakan
mengingatkan kembali penontonnya tentang mimpi mereka, karena setiap orang
tentu memiliki mimpinya masing-masing.
Mengemas sebuah surat cinta tentu perlu adanya romantisasi,
menggunakan kedua karakter yang sedang mabuk kepayang adalah cara agar Damien
Chazelle berhasil menyampaikan pesan dengan tepat lewat La La Land. Tentu, La La Land
tak hanya sebuah cerita cinta kacangan, ini adalah simbol cinta dengan penuh
kedewasaan. Memberikan gambaran tentang hubungan laki-laki dan perempuan tak
hanya behenti pada kiasan ‘dunia milik berdua’ dan lantas bisa bahagia. Tetapi
juga ada aspek lain yang perlu diperhatikan agar kata ‘bahagia’ itu bisa
terjadi secara harfiah.
Permasalahan tentang mimpi memang perkara lama dan disitulah Damien
Chazelle begitu pintar dalam menggambarkan tentang problematika lintas zaman
ini. Setting waktu La La Land ini
hanya berkutat pada pergantian musim, bukan pada angka tahun yang konkrit.
Referensi dalam lagu, gambar, dan tata produksi lainnya yang ada dalam La La Land akan mengingatkan penontonnya
dengan film-film di era sebelum 2000-an. Tetapi, bagaimana setiap karakternya
menggunakan alat elektronik yang begitu moderen membiaskan setting waktu dan
menguatkan bahwa persoalan tentang meraih mimpi akan selalu relevan di setiap
zaman.
Surat cinta di dalam La La Land
tak hanya ditujukan kepada setiap orang yang memiliki mimpi. Tetapi juga kepada
film-film musikal lama yang pernah ada. Beberapa adegan di dalam film ini
adalah sebuah tribut terhadap film-film musikal seperti ‘Singin In The Rain’, ‘West
Side Story’, ‘Grease’, yang pernah mahsyur di zamannya. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa Damien Chazelle memang memiliki minat di bidang musik dan
film secara bersamaan.
Belum lagi performa luar biasa yang diperankan oleh Emma Stone. Bisa
dibilang ini adalah performa terbaiknya di sepanjang karir. Memerankan orang
yang sedang berkembang dan berevolusi di setiap pergantian musimnya ini terasa
begitu nyata. Pun, pergantian suasana hati Mia Dolan yang sedang memerankan
sebuah peran dalam audisi dan kembali ke sosok Mia Dolan sesungguhnya ini perlu
diperankan dengan detil. Bagusnya, Emma Stone berhasil memerankan karakter Mia
Dolan dengan sangat luar biasa.
Mengemas musik dan sinema perlu kehati-hatian agar dua hal yang sedang
berkombinasi itu bisa menjadi mahakarya. Damien Chazelle memperhatikan hal itu
dalam mengarahkan naskah yang juga ditulis sendiri olehnya dengan sangat baik
dan luar biasa. Jadilah, La La Land
yang menjadi sebuah mahakarya lintas zaman yang problematika juga begitu
universal. La La Land menjadi sebuah
surat cinta kepada semua pemimpi yang berani mewujudkannya. La La Land adalah sebuah surat cinta kepada
industri hiburan yang juga berhasil membuat mimpi-mimpi baru untuk diidamkan
kepada konsumennya. La La Land adalah
surat cinta lintas zaman yang akan selalu dikenang dengan segala manis dan
pahitnya.
Review Lion, Moonlight, Manchester by the sea atau Hidden figures dong.
BalasHapusLion on progress ya, Moonlight sama Hidden Figures udah nonton sih tapi masih belum bikin reviewnya.
HapusKalo Manchester masih belum nonton.
Nanti kalau sudah, pasti di-post kok. Terima kasih telah membaca. :)