Penikmat film Indonesia seakan tak akan pernah berhenti untuk diberi
sebuah film biografi. Memberikan ruang bagi semua orang untuk sesekali
mengintip kehidupan sosok penting di sebuah layar perak. Sosok itu bisa
beragam, mulai dari yang sering orang kenal hingga siapa saja yang berjasa
dalam melakukan perubahan. Hanung Bramantyo, bisa dibilang seorang sutradara
yang sudah beberapa kali membuat film biografi. Mulai dari tokoh agama hingga
mantan presiden Republik Indonesia telah memiliki memoir yang dibuat oleh
tangannya.
Adanya inkonsistensi dalam berkarya membuat Hanung Bramantyo sering
kali kehilangan kepercayaan penontonnya. Hingga April tahun ini, Hanung
Bramantyo hadir menyapa penonton film Indonesia lewat film biografi tentang
salah satu perempuan berjasa dan mahsyur dalam memperjuangkan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Kartini, film ini mendapatkan sorotan yang cukup besar
karena menempatkan nama Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran Kartini.
Selain Dian Sastrowardoyo, Kartini juga memiliki nama-nama lain di
dunia perfilman Indonesia yang memiliki kredibilitas yang luar biasa kuat. Dengan
itulah, Kartini menjadi salah satu film biografi yang patut dinanti oleh banyak
pihak. Hanung Bramantyo memang sudah sering mengarahkan film dengan genre serupa,
tetapi Kartini memiliki pembeda antara karya yang lainnya. Meski masih ada
beberapa ciri khas Hanung Bramantyo yang tak bisa dibendung lagi, Kartini
adalah sebuah film Biografi yang sangat digarap dengan teliti.
Tak bisa dipungkiri, setiap orang akan muncul suatu kekhawatiran tentang
sebuah film biografi. Khawatir akan bagaimana mengolah informasi tentang
seseorang ini agar tak menimbulkan persepsi dan bagaimana seorang sutradara
bisa memiliki alternatif cara untuk menyampaikan informasi itu. Hanung
Bramantyo menjadi sosok yang berbeda dalam mengarahkan Kartini. Film terbarunya
ini tak berubah menjadi sebuah film biografi yang penting tetapi terasa tak
memiliki ambisi apapun untuk disorot berlebih.
Kartini tak hanya sekedar memberikan informasi tentang seseorang,
melainkan juga sebagai medium untuk memberitahukan tentang apa yang sedang
diperjuangkan oleh sosok R.A. Kartini itu sendiri. Emansipasi, terlebih dalam
hal menuntut ilmu yang sebenarnya tak terbatasi oleh gender tertentu menjadi
momok penting untuk dibicarakan. Film Kartini adalah sebuah film tentang
fenomena sosial yang ada tanpa dramatisasi berlebih tetapi bisa menyentuh hati
sekaligus menginspirasi setiap penontonnya.
Adegan dibuka dengan bagaimana Kartini kecil sedang berusaha agar
ibunya, Ngasirah (Nova Eliza) bisa kembali tidur bukan di kamar pembantu.
Pertanyaan itu akan membawa penonton menyelami cerita selanjutnya yang terfokus
kepada Kartini (Dian Sastrowardoyo) yang sudah tumbuh dewasa. Dia sedang
dipingit agar bisa menjadi seorang Raden Ajeng. Di tengah dia sedang jengah
atas setiap aturan budaya yang mengekangnya, Kartono (Reza Rahadian) sebagai
kakak Kartini memberikan semangat agar diri dan pemikirannya tak ikut dipingit
oleh aturan yang ada.
Maka, Kartini mendapatkan warisan ilmu dari buku-buku milik Kartono
yang membuatnya bisa merasakan indahnya dunia. Dengan adanya hal tersebut,
Kartini berusaha untuk bisa berkarya melalui tulisan-tulisan yang akan
mengharumkan namanya. Kartini pun sudah mendapatkan sorotan dari berbagai pihak
terutama orang-orang Belanda. Kartini pun mengajak adik-adiknya, Kardinah
(Ayushita Nugraha) dan Roekminah (Acha Septriasa) untuk menyuarakan keluh
kesahnya agar tumbuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Inilah film Kartini yang dibuat dengan nilai produksi yang tak
sembarangan, tetapi juga masih memiliki cara bertutur yang pas. Semua orang
boleh menertawakan bagaimana rekam jejak karir Hanung Bramantyo di sepanjang
karirnya, tetapi Kartini jelas sebuah karya yang tak boleh begitu saja
dilewatkan. Dengan durasi sepanjang 115 menit, Kartini memiliki caranya untuk
menuturkan segala konflik sekaligus pembagian latar belakang cerita sesuai
dengan takaran yang pas.
Semua jajaran pemain di dalam film Kartini bermain sesuai dengan
porsinya, tak ada yang berusaha untuk saling mendominasi satu sama lain. Inilah
yang menjadi kekuatan utama dari film Kartini yang berhasil membuat filmnya
begitu solid. Naskah milik Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo ini juga
memberikan alternatif penceritaan lain di dalam sebuah film biografi. Teringat
ketika pertama kali Kartini membaca buku milik kakaknya dan muncul sebuah
visualisasi dari apa yang terjadi di bukunya. Inilah gambaran ketika buku bisa
disebut dengan jendela dunia, dan membaca adalah tiket untuk bisa mengelilingi
dunia tersebut. Menegaskan pula bahwa ilmu itu penting dimiliki oleh setiap
orang.
Di sinilah cara bagaimana Bagus Bramanti dan Hanung Bramantyo mengemas
informasi mereka dengan cara yang dapat menghibur penontonnya. Sehingga,
informasi yang disampaikan tak sekedar untuk memberikan afirmasi tentang
kebenaran, tetapi juga untuk memberikan pemahaman yang bisa terpatri di
pemikiran penontonnya. Beruntungnya, naskah rapi itu bisa diterjemahkan dengan
baik pula oleh Hanung Bramantyo secara visual, sehingga tercapailah sudah
tujuan tersebut.
Hanung Bramantyo sebagai sutradara tentu memiliki khasnya sendiri dan
tentu Kartini masih memiliki kekhasannya dalam bercerita. Kartini adalah cara
Hanung Bramantyo untuk bisa memuaskan setiap orang yang memiliki berbagai
paradigma tentang nilai –mulai sosial hingga agama. Dalam hasil akhirnya, ada
beberapa bagian cerita yang sedikit terlalu dilantunkan secara eksplisit, yang
mungkin bertujuan agar setiap orang bisa mengakses informasi yang berusaha
disampaikan oleh Hanung. Tetapi, hal tersebut masih dalam porsi yang wajar dan
bisa diterima.
Film Kartini ini juga sebagai refleksi atas keadaan sosial Indonesia
yang masih memiliki problematikanya dalam menempatkan seorang perempuan. Raden
Ajeng Kartini adalah kiblat bagi para perempuan untuk mendapatkan emansipasi
dan digunakan dengan benar. Maka itu pula yang ditekankan dalam film Kartini
ini, bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang yang mandiri. Bukan berarti
terlepas dari sosok laki-laki, tetapi menjadi sosok yang setara karena manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Sebagai sebuah film Biografi dengan pendekatan yang populer, Kartini
adalah jawaban dari segala keluh kesah penikmat film. Kartini hadir dengan
takaran yang pas tanpa berusaha untuk terlalu mendayu-dayu dan tak menimbulkan
kesalahan persepsi tentang sosok tersebut. Inilah Kartini sebagai sebuah film
biografi yang bisa memberikan informasi, inspirasi, dan sekaligus dapat
dinikmati dengan khidmat oleh penonton dengan segala latar belakangnya yang
berbeda. Hanung Bramantyo dan Bagus Bramanti memberikan naskah yang solid dan
memberikan alternatif cara untuk menyampaikan informasi yang bisa diterima oleh
khalayak luas. Mungkin, hal itu membuat beberapa ceritanya terkesan menggurui
di beberapa bagian. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kartini adalah film
penting yang digarap dengan detil, hati-hati, dan akan menggugah hati
penontonnya.
Thanks for sharing your information with everyone and keep posting
BalasHapusNina