Diangkat dari sebuah karya bestseller karangan Iwan Setyawan berjudul "9 Summers 10 Autumns". Sutradara dari film Sang Penari Ifa Isfansyah menggawangi film ini. Novel yang juga bisa dikatakan biografi dari penulisnya ini sendiri pun menuai banyak pujian. Bagaimana dengan eksekusi dari filmnya sendiri? bisakah juga mendapatkan berbagai pujian yang tak kalah banyak dari versi novelnya? atau akan gagal di dalam pengeksekusiannya?
Bersetting di kota Batu, Malang Jawa Timur. Sebuah keluarga serba tak berkecukupan. Bapak (Alex Komang) yang akhirnya mendapatkan seorang anak laki-laki yang dijago-jagokan bakal menjadi penerusnya kelak. Bapak adalah seorang Supir Angkot. Setelah anak laki-lakinya tumbuh besar, Iwan pun tumbuh menjadi seorang laki-laki yang bisa dibilang cukup penakut dan sang Bapak mencoba dengan keras agar dia tumbuh menjadi seorang yang kuat dan sepenuhnya laki-laki. Tetapi pendekatannya itu dengan menggunakan kekerasan. Setelah beranjak remaja dan lulus Sekolah Menengah Atas, Iwan (Ihsan Tarore) pun diterima di IPB jurusan Statistika. Bapak melarang Iwan, tetapi Ibuk (Dewi Irawan) mendukungnya hingga akhirnya Ihsan pun melanjutkan kuliahnya disana. Setelah lulus di IPB, dia masuk disebuah perusahaan dan akhirnya menjadi seorang direktur salah satu perusahaan di New York.
Sweet Son-Parents relationship. Heart-warming and surprisingly very touchy in every moment.
Bisa dikatakan ini adalah sebuah biografi dari penulisya sendiri. Adalah sebuah kisah nyata tentang perjuangan seorang anak supir angkot yang takut miskin dan ingin hidup serba berkecukupan. Kisah nyata tentang perjuangan seseorang yang tak akan sia-sia jika dia melakukannya semua dengan ikhlas dan tawakal dengan banyaknya lika-liku hidup yang mungkin memang relevan sekali di kehidupan sekarang. Berpikiran skeptis awalnya saat film ini dibuat. Menggadang-gadang akan menyajikan sebuah cerita yang akan menyentuh hati penontonnya. Digadang-gadang dibuat dengan hati dan tentunya menyajikan sebuah film yang juga memberikan korelasi dengan hati penontonnya.
Saya tak memperhitungkan sama sekali siapa tangan yang menangani film ini. Saya pun mengira sebuah raw adaptation yang diolah secara mentah tanpa diolah dengan matang hingga akhirnya akan menyajikan sebuah hidangan yang hanya matang luarnya saja dan mentah didalamnya. Pikiran saya salah. Tak memperhitungkan siapa dalangnya. Tak memperhitungkan beberapa aspek di film ini yang ternyata akan membuat saya tersenyum lebar dengan hati yang hangat sesaat setelah keluar dari studio saat menyaksikan film ini. Ifa Isfansyah yang sudah kelewat berhasil mengarahkan sebuah film terbaik Festival Film Indonesia berjudul Sang Penari hingga dia mendapatkan piala Sutradara Terbaik di ajang itu juga.
Pun begitu di film sebelum Sang Penari, Garuda Di Dadaku juga berhasil diarahkan menjadi sebuah film keluarga tentang sepak bola yang juga heart-warming. Well, sekali lagi dia memperlakukan hal yang sama di film terbarunya kali ini. 9 Summers 10 Autumns menjadi sebuah adaptasi novel yang diolah matang hingga akhirnya eksekusi yang baik dihasilkan olehnya. Sebuah premis cerita yang sudah menawan, diolah baik hingga akhirnya akan menimbulkan sebuah cerita perjuangan seorang Pemimpi yang berhasil meraih mimpinya sendiri dengan bagus dan menyentuh di berbagai momen film ini dengan sangat kuat dan begitu diperhatikan. Tak sengaja saya meneteskan air mata saat menyaksikan film ini. Bagaimana Ibu saya pernah berkata persis sama dengan apa yang dikatakan oleh Karakter Ibu kepada Iwan. Membuat penonton khususnya Saya tergugah untuk membanggakan dan membahagiakan orang tua saya kelak. Saya bukan pembaca novelnya. Entah apa memang konsep penceritaan yang dilakukan di film nya sama dengan novelnya atau di film nya sendiri Ifa Isfansyah melakukan pendekatan cerita yang berbeda hingga dia berhasil menyusun film biografi ini menjadi sangat menarik untuk diikuti dan jauh dari kata membosankan memang.
Sebuah pendekatan cerita yang efektif hingga akhirnya penonton tak bosan dan tak menunggu-nunggu kapan Iwan akhirnya berhasil dengan perjuangannya. Tetapi tak semua formula itu pun berhasil menawan. Terkadang eksekusi nya sedikit gagal. Seperti bermain aman hingga akhirnya klimaks konflik yang ditampilkan sedikit kurang bertenaga meski akhirnya memang tetap bisa menyentuh penontonnya. Sebuah kisah yang merobek-robek hati penontonnya. Kisah kuat hubungan antara anak dengan orang tua nya yang memikat. Meski beberapa aspek cerita yang masih kurang dan belum tertangani dengan baik.
Cerita yang sudah dibangun dengan begitu memikat. Memiliki human drama yang kuat, serta balutan-balutan joke yang segar hingga akhirnya membangkitkan gairah penontonnya untuk mengikuti film ini dari awal hingga akhir pun terlaksana dengan sangat baik. Hingga akhirnya sebuah penyelesaian yang mungkin datar yang menjadi penutup yang kurang baik jika dibandingkan dari tiga perempat awal film ini yang sudah tersusun baik. Sebuah sweet moment yang bisa dibangun lebih epic lagi sebenarnya bisa. Tetapi, nampaknya pengarahan yang sedikit bermain aman hingga akhirnya sweet moment itu kurang tergali dan sedikit kurang menyentuh penontonnya.
Saya tak memperhitungkan sama sekali siapa tangan yang menangani film ini. Saya pun mengira sebuah raw adaptation yang diolah secara mentah tanpa diolah dengan matang hingga akhirnya akan menyajikan sebuah hidangan yang hanya matang luarnya saja dan mentah didalamnya. Pikiran saya salah. Tak memperhitungkan siapa dalangnya. Tak memperhitungkan beberapa aspek di film ini yang ternyata akan membuat saya tersenyum lebar dengan hati yang hangat sesaat setelah keluar dari studio saat menyaksikan film ini. Ifa Isfansyah yang sudah kelewat berhasil mengarahkan sebuah film terbaik Festival Film Indonesia berjudul Sang Penari hingga dia mendapatkan piala Sutradara Terbaik di ajang itu juga.
Pun begitu di film sebelum Sang Penari, Garuda Di Dadaku juga berhasil diarahkan menjadi sebuah film keluarga tentang sepak bola yang juga heart-warming. Well, sekali lagi dia memperlakukan hal yang sama di film terbarunya kali ini. 9 Summers 10 Autumns menjadi sebuah adaptasi novel yang diolah matang hingga akhirnya eksekusi yang baik dihasilkan olehnya. Sebuah premis cerita yang sudah menawan, diolah baik hingga akhirnya akan menimbulkan sebuah cerita perjuangan seorang Pemimpi yang berhasil meraih mimpinya sendiri dengan bagus dan menyentuh di berbagai momen film ini dengan sangat kuat dan begitu diperhatikan. Tak sengaja saya meneteskan air mata saat menyaksikan film ini. Bagaimana Ibu saya pernah berkata persis sama dengan apa yang dikatakan oleh Karakter Ibu kepada Iwan. Membuat penonton khususnya Saya tergugah untuk membanggakan dan membahagiakan orang tua saya kelak. Saya bukan pembaca novelnya. Entah apa memang konsep penceritaan yang dilakukan di film nya sama dengan novelnya atau di film nya sendiri Ifa Isfansyah melakukan pendekatan cerita yang berbeda hingga dia berhasil menyusun film biografi ini menjadi sangat menarik untuk diikuti dan jauh dari kata membosankan memang.
Dare to dream, Chase it, and you will get it. That's what we can get from this movie.Penceritaan yang tak runtut pun digunakan untuk mendekatkan penonton dengan cerita di film ini. Tak menggunakan formula cliche untuk segi penjabaran ceritanya. Umumnya penceritaan biografi lebih seperti menceritakan awal mula dari tokoh center nya dari zero hingga akhirnya they got what they want. Di film ini pun, menggunakan alur campuran. Mundur untuk flashback dengan kejadian dan memori Iwan. Seperti mengajak penontonnya mengingat-ingat kembali tentang memori Iwan saat kecil hingga dewasa.
Sebuah pendekatan cerita yang efektif hingga akhirnya penonton tak bosan dan tak menunggu-nunggu kapan Iwan akhirnya berhasil dengan perjuangannya. Tetapi tak semua formula itu pun berhasil menawan. Terkadang eksekusi nya sedikit gagal. Seperti bermain aman hingga akhirnya klimaks konflik yang ditampilkan sedikit kurang bertenaga meski akhirnya memang tetap bisa menyentuh penontonnya. Sebuah kisah yang merobek-robek hati penontonnya. Kisah kuat hubungan antara anak dengan orang tua nya yang memikat. Meski beberapa aspek cerita yang masih kurang dan belum tertangani dengan baik.
Cerita yang sudah dibangun dengan begitu memikat. Memiliki human drama yang kuat, serta balutan-balutan joke yang segar hingga akhirnya membangkitkan gairah penontonnya untuk mengikuti film ini dari awal hingga akhir pun terlaksana dengan sangat baik. Hingga akhirnya sebuah penyelesaian yang mungkin datar yang menjadi penutup yang kurang baik jika dibandingkan dari tiga perempat awal film ini yang sudah tersusun baik. Sebuah sweet moment yang bisa dibangun lebih epic lagi sebenarnya bisa. Tetapi, nampaknya pengarahan yang sedikit bermain aman hingga akhirnya sweet moment itu kurang tergali dan sedikit kurang menyentuh penontonnya.
Tetapi masih banyak faktor yang tak bisa dilupakan di film ini yang pasti akan melupakan berbagai kekurangan dari segi naskah yang memang tak bisa dibilang jelek. Bagus hanya saja lemah di berbagai sudut pandang di film ini. Faktor lainnya yang menjadi sebuah kelebihan di film ini adalah sinematografi yang dishoot dengan indah. Mengambil gambar sudut-sudut kota tua di Batu, Malang Jawa Timur itu dengan baik. Hingga menguatkan cerita yang memang bersetting di tahun 70-an itu. Lalu, berbagai sudut kota New York di kemas apik hingga akhirnya memanjakan mata penontonnya. Bagaimana Times Square yang digambarkan bagus dan terlihat indah. Amerika di tahun 2000 pun dishoot bagus.
Selanjutnya adalah desain produksi yang semakin menguatkan setting film ini. Dimana semua kota batu diubah menjadi jaman dulu kala. Dari tempat-tempatnya, Uang yang digunakan, style vintage yang kental. Beberapa tempat pun di set dengan bagus. Dimana Parking Theatre yang juga menampilkan film lama yaitu Catatan Harian Si Boy yang memang sedang digandrungi kala itu. Dengan berbagai scoring yang tahu benar penempatannya hingga akhirnya semakin menyentuh sisi sentimentil penontonnya.
Tak ada yang begitu dominan dari segi cast, Ihsan Tarore sebagai pemeran utamanya sendiri pun tak memberikan sesuatu yang tak memberikan penampilan yang bagus. Penampilannya masih sedikit kaku di beberapa scene. Dengan gesture tubuh yang disesuaikan dengan penulisnya atau orang aslinya. Yang memang sedikit mirip karena pernah melihat sang penulis di beberapa acara interview di stasiun televisi lokal. Penampilan yang perlu di bold adalah Dewi Irawan sebagai Ibuk yang sangat ke-ibu-an sekali. Serta beberapa penampilan cameo seperti Ria Irawan serta Epi Kusnandar.
Selanjutnya adalah desain produksi yang semakin menguatkan setting film ini. Dimana semua kota batu diubah menjadi jaman dulu kala. Dari tempat-tempatnya, Uang yang digunakan, style vintage yang kental. Beberapa tempat pun di set dengan bagus. Dimana Parking Theatre yang juga menampilkan film lama yaitu Catatan Harian Si Boy yang memang sedang digandrungi kala itu. Dengan berbagai scoring yang tahu benar penempatannya hingga akhirnya semakin menyentuh sisi sentimentil penontonnya.
Tak ada yang begitu dominan dari segi cast, Ihsan Tarore sebagai pemeran utamanya sendiri pun tak memberikan sesuatu yang tak memberikan penampilan yang bagus. Penampilannya masih sedikit kaku di beberapa scene. Dengan gesture tubuh yang disesuaikan dengan penulisnya atau orang aslinya. Yang memang sedikit mirip karena pernah melihat sang penulis di beberapa acara interview di stasiun televisi lokal. Penampilan yang perlu di bold adalah Dewi Irawan sebagai Ibuk yang sangat ke-ibu-an sekali. Serta beberapa penampilan cameo seperti Ria Irawan serta Epi Kusnandar.
Overall, 9 Summers 10 Autumns is Simply heart-warming movie and touchy in every moment. Ifa Isfansyah use another way to tell the story to the audience even there were little bit weakness in every aspect when the story told to the audience. Beautiful Design Product and cinematography will impress the audience. Bring your family to watch this movie and feel the power.
bagus nih gan
BalasHapus