Minggu, 13 Agustus 2023

Barbie (2023) Review - Ikon Baru Tentang Gender yang Setara Meski Narasinya Kurang Seimbang

Greta Gerwig, sebagai seorang yang berkontribusi di dunia perfilman Hollywood ini sudah mahsyur jenamanya sebagai sineas yang selalu mengemban misi penting tentang menyuarakan isi perempuan dalam karyanya. Dari Lady Bird hingga Little Women adalah bukti bahwa Greta Gerwig memang sangat senang bermain tentang isu-isu serupa. Lantas, menarik apabila Greta Gerwig mengarahkan film dari IP besar serta legendaris dan bagaimana dia berkolaborasi untuk menyuarakan suara tentang perempuan lewat hal tersebut. 

Dan Warner Bros mempercayakan hal tersebut kepada Greta Gerwig untuk mengarahkan film adaptasi Barbie ke dalam layar lebar.

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa banyak studi yang mengatakan bahwa Barbie adalah sebuah standar kecantikan yang 'tak sengaja' diciptakan oleh masyarakat. Banyak studi yang mengatakan bahwa mengaitkan kecantikan perempuan dengan satu boneka buatan seorang Ibu satu anak di tahun 1959 ini.

Hakikatnya, tujuan dari terbuatnya boneka ini adalah untuk menyenangkan anak dari Ruth Handler. Memproyeksikan mimpi sang anak yang menganggap bahwa dengan boneka Barbie sang anak bisa mengaspirasikan dirinya untuk bisa jadi apa saja. Begitu pula, kalimat yang diucap oleh Ruth Handler yang hadir sebagai cameo di film adaptasinya. 

Tujuan ini rusak karena beberapa anggapan tentang imej tubuh ideal perempuan datang menghampiri.

"published in the journal Body Image, found that girls ages 6 to 8 who played with Barbies had more complaints about their own bodies than girls who played with dolls that had more realistic body proportions."  (Source: https://www.teenvogue.com/story/barbie-body-image-study)

Dengan hadirnya boneka Barbie yang bentuknya menyerupai tubuh manusia, membuat anak-anak perempuan berekspektasi untuk memiliki badan serupa dengan Barbie agar dibilang sebagai perempuan cantik. Berkat hal-hal ini ternyata penjualan Barbie menurun pada tahun 2012 hingga 2014 karena tidak memiliki varian yang beragam dari ukuran tubuh. Akhirnya, keputusan Mattel untuk membuat Barbie dengan berbagai bentuk tubuh untuk mewakili para perempuan ini. 

Tetapi, Jenama Barbie ini masih saja tak lekang dari bagaimana Barbie ini masih dianggap stigma negatif bagi perempuan. Padahal, Barbie bisa digunakan sebagai projeksi bagi perempuan yang dalam dunia nyata kesusahan untuk menggapai mimpinya. Meski hanya sebagai projeksi pada benda mati, tetapi sebuah benda mati bisa juga sebagai medium untuk menyalurkan pesan tentang aspirasi perempuan. Barbie bisa digunakan sebagai ikon, bila dalam artiannya menurut Pierce,  ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya dan sesuai kesepakatan.

Dalam mengembalikan stigma inilah, Greta Gerwig membuat Barbie dengan dasar cerita yang sebenarnya ringan. Tapi, intrik di dalamnya ini yang dikembangkan untuk bisa relevan dengan zaman sekarang dan tidak ada salahnya. Dan Barbie dimulai dengan Barbie yang diperankan oleh Margot Robbie ini mengalami sebuah 'kesalahan' di dalamnya. Mulai dari memikirkan tentang kematian hingga kesempurnaan seorang Barbie di dalam bentuknya ini mengalami perubahan. 'Kesalahan' yang terlihat ini membuat Barbie pergi ke Real World untuk berusaha memperbaiki hal tersebut.

Tentu, film ini punya tujuan yang baik tentang mengungkapkan keresahan perempuan dan bagaimana dua gender ini sebenarnya dalam sebuah sosietas masih belum setara serta banyak ketimpangan. Tetapi, ada beberapa keresahan juga di dalam pengarahan Greta Gerwig di film Barbie ini. Tentu, ini kali pertama Greta Gerwig mengarahkan sebuah IP besar apalagi mengadaptasi sebuah mainan anak-anak yang dasar ceritanya pun harus dimulai dari nol. Inilah problem yang ada di naskah Greta Gerwig dan Noah Baumbach. Pintar memang, menyelipkan secara subtil tentang proses sebuah ideologi bisa mengubah pandangan seseorang di dalam filmnya. Hanya saja, mereka terkadang lupa bahwa ini juga ingin dimaksudkan untuk ditonton secara universal tanpa harus terasa berat.

Seakan terlalu asyik menenggelamkan diri dengan metafora-metafora tersebut, Barbie ternyata kewalahan untuk menyampaikan plot utama dan konfliknya. Banyak cabang cerita di filmnya yang datang secara mendadak. Akhirnya, patah dan mulai kebingungan untuk mengakhiri filmnya yang merentang hingga 115 menit. Pun, beberapa cara untuk mengakomodir tentang pesan tentang kesetaraan gender di film ini pun tak sesubtil karya-karya milik Greta Gerwig lainnya. Rasa 'main-main' di dalam naskahnya memang masih ada, tetapi tentu saja masih terbatas dan tak sebebas film-film Greta Gerwig lainnya.

Di luar problematikanya dalam pengarahan film yang ternyata tak sebaik film-film Greta Gerwig sebelumnya. Film ini menarik untuk dikulik karena bagaimana penggambaran isu perempuan dan kesetaraan gender di film ini cukup bisa 'bermain-main'.

Perempuan dan kebebasannya yang seakan-akan di dunia nyata ini terlihat hanya ilusi digambarkan lewat bagaimana kehidupan para Barbie di Barbieland. Di mana mereka bisa jadi apa saja dan melakukan apa saja. Tetapi, di awal narasi, sosok laki-laki yang digambarkan lewat Ken terlihat tak memiliki tujuan hidupnya selain untuk mendapatkan hati Barbie. Tetapi, seiring narasi berjalan di mana Barbie harus pergi ke Real World, ternyata perempuan hanyalah sebuah objektifikasi laki-laki di berbagai lini kehidupan.

Real World tentu berbeda 'efeknya' kepada Ken yang memang lebih didominasi tentang kekuasaan laki-laki. Hal inilah yang ingin dibawa kembalik oleh Ken di Barbieland agar sosok Ken sebagai laki-laki bisa dipandang di sana. Sebuah ketimpangan dua dari dunia ini yang membuat adanya kesalahan dalam memahami studi tentang perempuan dan gerakan untuk membuat dua gender ini setara dalam kehidupan serta kaitannya dengan feminisme.

Feminisme merupakan suatu gerakan yang mengupayakan hak-hak perempuan untuk menghapuskan  bias  gender. Meski, menolak sistem  patriarki, feminisme tidak bermaksud menentang kaum laki-laki. (Karina et al., 2022)


Mengupayakan adanya narasi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan inilah yang berusaha dilakukan oleh Greta Gerwig di dalam film Barbie. Ada usaha untuk meluruskan bahwa feminisme ini adalah usaha untuk membuat perempuan bisa mengontrol dirinya sendiri. Bukan ingin terlihat kuat dari laki-laki, tetapi lebih ke bisa menentukan kemauannya sendiri serta dan semua orang bisa menghargai keputusannya. Serta, untuk laki-laki yang bisa mengekspresikan perasaannya. Sedangkan, hal tersebut tidak bisa laki-laki dapatkan ketika dia harus berhadapan dengan sistem patriarki yang kental. Laki-laki yang mendominasi menjadikan mereka yang mengutarakan perasaannya adalah sebuah kelemahan.



Tetapi, lagi-lagi seakan Greta Gerwig tahu bahwa keseimbangan tentang dua gender ini hanya akan terjadi jika dunia sedang keadaan yang sempurna. Sebuah narasi yang memenangkan kedua belah pihak ini terjadi di setting Barbieland. Di mana memang dunia tersebut hanyalah sebuah dunia yang fiktif. Sepertinya Greta Gerwig ingin memberikan sindiran bahwa perjalanan memperjuangkan gender yang setara ini masih butuh proses yang panjang. 


Barbie yang diperankan oleh Margot Robbie ini digunakan oleh Greta Gerwig sebagai perempuan dengan kanvas kosong yang mau belajar memahami dunia yang ada di sekitarnya. Sehingga, menggunakan dirinya sebagai ikon perempuan yang mau menjadi apa saja, berpakaian apa saja, serta bisa menentukan hidupnya sendiri seperti perempuan dengan nilai tak mau terbelenggu dengan sistem patriarki ini adalah keputusan yang tepat. Tak hanya untuk mengembalikan tujuan Barbie yang sebelumnya dan disalahartikan oleh banyak orang. Tetapi, juga sebagai ikon baru untuk memulai kembali stigma tentang perempuan saat menggunakan nilai feminisme dalam hidupnya. 


Narasinya pintar, tetapi beberapa kali kesan berat ini dimunculkan terlalu harfiah sehingga memberatkan pengarahannya dari Greta Gerwig dan rasanya tumpang tindih. Meski memiliki banyak studi kasus tentang perempuan, sayangnya Greta Gerwig perlu untuk fokus dengan satu tujuan terlebih dahulu sebelum menentukan tujuan-tujuan lain dalam film arahannya. Dan semoga saja, ini bukan cara penulis --yang kebetulan adalah laki-laki ini-- disalahartikan sebagai cara laki-laki berusaha mengatur perempuan dalam bercerita dalam medium apapun. Hanya sebuah pendapat yang ingin didengarkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar