Satu persatu novel milik penulis terkenal, Dewi Lestari atau biasa
dikenal dengan nama Dee memiliki kesempatan untuk diadaptasi ke sebuah film
layar lebar. Perahu Kertas, Rectoverso, Madre, Filosofi Kopi yang sedang dalam
proses syuting, dan Supernova yang berada di bawah naungan rumah produksi
Soraya Films. Supernova sendiri memiliki 5 buku yang sudah dirilis dan Ksatria,
Putri, dan Bintang Jatuh adalah seri yang mengawali seri Supernova.
Rizal Mantovani kembali mengarahkan sebuah film atas komando dari Sunil
Soraya. Setelah 5 Cm, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh menjadi
tanggung jawab dari sutradara satu ini. Bukan sebuah tanggung jawab yang mudah
karena seri Supernova memiliki jutaan penggemar di Indonesia. Banyak orang yang
merasa Supernova adalah sebuah maha karya dari penulis Dewi Lestari dan sangat
susah untuk diadaptasi menjadi sebuah film.
Supernova adalah sebuah seri yang sangat rumit dan butuh penanganan
khusus agar bisa menjadi satu sajian film yang bagus. Karena dewi Lestari atau
Dee benar-benar bermain dengan diksi kata di bukunya. Untuk seri pertamanya,
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bukan sekedar roman klise tentang cinta
segitiga melainkan juga tentang sebuah fiksi ilmiah yang rumit. Bagaimana sains
bertemu dengan romansa cinta segitiga anak manusia yang bisa memiliki dimensi
yang luas.
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bermula ketika Reuben (Hamish
Daud) dan Dimas (Arifin Putra) bertemu dan saling berkenalan. Mereka berdua
adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota Washington D.C., Amerika Serikat. Saat
berada di sebuah pesta, Mereka yang sedang mabuk saling berjanji 10 tahun dari
sekarang mereka harus menulis sebuah cerita yang bisa menggemparkan semua
orang.
10 tahun kemudian, di sebuah apartemen, mereka menulis sebuah cerita
tentang cinta dengan setting Pseudo Jakarta. Di mana Ferre (Herjunot Ali),
seorang eksekutif muda yang sangat sukses yang jatuh cinta dengan seorang
wartawati bernama Rana (Raline Shah). Sayangnya, Rana sudah memiliki suami
bernama Arwin (Fedi Nuril) yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun. Tetapi, Rana
dan Ferre tetap menjalin hubungan diam-diam. Juga ada Diva (Paula Verhoeven),
seorang model dengan kehidupan yang tak disangka-sangka.
Plot cerita yang sebenarnya hanyalah sebuah cerita cinta klise.
Tetapi, Supernova memiliki sesuatu yang berbeda untuk menerjemahkan kisah cinta
ini. inilah sebuah rekonstruksi kisah cinta dengan dialog-dialog yang berisikan
teori limiah yang sebenarnya akan membuat penontonnya kebingungan. Dan
lagi-lagi, masih ada kesalahan persepsi tentang medium yang digunakan dalam
bertutur di dalam sebuah film adaptasi dari novel, Supernova : Ksatria, Putri,
dan Bintang Jatuh pun salah satunya.
Film dan buku adalah sebuah medium yang berbeda untuk bertutur. Maka,
untuk sebuah film adaptasi dari sebuah novel harus ada keseimbangan yang pas
sehingga bisa melengkapi pengalaman membaca dan menonton sebuah film. Supernova
: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh masih seperti sebuah film adaptasi mentah
dari buku laris milik Dee. Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya selaku penulis
naskah film, hanya menulis ulang kata-kata yang berasal dari novelnya.
Perlu adanya tinjauan ulang agar dialog-dialog di dalam film ini
terkesan lebih dinamis. Jika ingin dibuat lebih loyal dengan sumber aslinya,
harus ada sebuah pengarahan yang kuat agar penceritaan dengan dialog yang berat
ini bisa tampil prima dan diterima oleh segala penonton, bukan hanya sekedar
penonton yang mengikuti novelnya saja. Karena segala dialognya lah yang
mengatur segala emosi di filmnya dan penonton akan kesusahan beradaptasi dengan
itu jika menggunakan bahasa-bahasa baku khas novel milik Dewi Lestari.
Ya, hal itu tergambar jelas lewat dialog-dialog yang diucapkan oleh
para pemainnya. Raline Shah, Herjunot Ali, apalagi Paula Verhoeven masih hanya
sekedar menghafal dialog yang sudah ditulis di atas kertas. Sehingga, ketika
dialog itu dilantunkan belum ada emosi yang begitu kuat sehingga membuat
penontonnnya simpati dengan karakter-karakter itu. Terkecuali untuk Dimas dan
Reuben, Arifin Putra dan Hamish Daud bisa meyakinkan penontonnya bahwa mereka
memang memiliki daya intelektual yang benar-benar tinggi.
Rizal Mantovani pun masih bisa dibilang kurang untuk mengarahkan
sebuah dengan kompleksitas yang luar biasa ini. Memang, dasar besar cerita film
ini adalah kisah cinta segitiga dari Ferre, Rana, dan Arwin. Tetapi, Rizal
malah lebih fokus untuk memperkuat kisah cintanya ketimbang beberapa hal yang
berkaitan dengan film ini seperti sosok Diva, kritik-kritik sosial yang
sebenarnya bisa menghasilkan sebuah satu kemagisan luar biasa untuk keseluruhan
filmnya.
Meski begitu, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah
sebuah presentasi yang buruk. Film ini masih sangat bisa dinikmati di luar
segala kekurangannya yang seharusnya bisa dimaksimalkan lagi. Supernova :
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah sebuah film yang sudah memiliki dasar
yang berbeda ketimbang film sejenis ini. Sehingga, film ini akan menjadi salah
satu alternatif tontonan film bertemakan cinta milik sineas Indonesia.
Kisah cinta di dalam film ini berhasil dipadu padankan dengan visual
dan gambar-gambar indah yang dapat mewakili Pseudo Jakarta, kota rekayasa milik
Dimas dan Reuben. Merepresentasikan sesuatu yang metaforik lewat gambar-gambar
dan narasi sebagai pengantarnya. Bagaimana manusia yang memiliki sisi hitam dan
putih juga dijelaskan lewat penggambaran yang unik. Tentu jika seorang penonton
menyadari, pemilihan busana di dalam film ini pun ikut menjadi sebuah medium
pesan itu disampaikan oleh sang sutradara.
Hitam dan Putih adalah sebuah warna yang saling berlawanan, layaknya
sifat manusia yang terkadang masih menutupi hitamnya diri mereka.
Karakter-karakter di film ini pun sebenarnya memiliki hal yang sama dengan
perumpamaan hitam dan putih. Karakter Ferre, Rana, Diva, dan Arwin tampak luar
adalah sosok luar biasa sukses, terkenal, dan bisa memiliki segalanya. Tetapi,
ada yang harus mereka sembunyikan di luar sosok luar biasa mereka. Masih ada
kekurangan yang tak bisa terelakkan bahwa mereka hanyalah manusia, ciptaan
tuhan yang jauh dari kata sempurna.
Cerita ini pun ingin menyampaikan sosok hitam dan putih itu lewat
rekonstruksi pikiran milik Dimas dan Reuben. Juga dengan pemilihan busana yang
hanya sebagian besar dominan dengan warna Hitam dan Putih itu. Lihat saja
bagaimana para karakter film ini saat menggunakan warna hitam dan putih di
dalam filmnya. Warna hitam digunakan ketika ada yang harus ditutupi, ketika
para karakter sedang dalam sisi melankolisnya. Warna putih digunakan ketika
para karakter sedang dalam sosoknya yang dihormati, sedang dalam kisah mereka
yang baik-baik saja.
Diperkuat dengan musik-musik yang di-supervisor oleh Tiesto. Meski masih ada yang salah tempat dan terlalu sering
digunakan, tetapi musik-musik ini berhasil memberikan nuansa lain yang juga merepresentasik
jati diri premis unik milik Supenova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Sehingga, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang
dibuat secara sembarangan karena masih memiliki effort yang sangat luar biasa
dalam segala komposisi teknisnya.
Sebagai sebuah film adaptasi, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang
Jatuh masih memiliki problematika yang sama dengan film-film adaptasi
kebanyakan. Memiliki beberapa kekurangan dan masih mentah dalam mengadaptasi
sebuah buku best seller dari penulis Dewi Lestari. Meski begitu, Supernova :
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang dibuat secara sembarangan
karena production value, gambar, dan
scoring dari film ini masih digarap secara serius.
review yg menarik, trims berat. salam kenal pak.
BalasHapussaya jadi mikir2 lagi buat nonton filmnya hehe..
krn saya jatuh cinta sama novel yg satu ini krn 'keberatan' isinya dan 'keliaran' imajinasi saya akan rumitnya rumus-rumus keilmuan dalam satu bentuk kata 'cinta'. menurut saya ga jadi masalah kalau film dg dialog yg berat asal bisa menerjemahkan dg pas. novel ini berat, saya yg baca saja harus memahami setelah berkali-kali baca...(di luar penalaran saya yg cuma rata-rata..hehe).. jika ingin bertaruh dg kualitas novel ini, ya harus menerima resiko dg karakterisasi akting yg jg kuat plus harus menerima resiko apakah menurut jalan 'komersil' dg memasang artis tenar atau 'kualitas' dg lbh mengedepankan alur novel...
Saya terus terang amat bosan dan ngantuk nontonnya. Dialognya memang sama dgn yang di novel, tapi emosi yang ada sama sekali nggak terpancar dari tiap pemain. Seolah hanya mengikuti tulisan. Begitu datar.
BalasHapus