Tak perlu khawatir, film dengan embel-embel adaptasi buku best seller
tahun ini akan semakin banyak. Terutama pada buku dengan genre young-adult yang
sebenarnya memiliki formula yang sama dari satu buku ke buku yang lain. Seri
penutup The Hunger Games, babak kedua
dari The Maze Runner, dan masih
banyak lagi buku-buku young adult
meski bukan tema dystopian yang diangkat ke dalam sebuah gambar bergerak.
Maka, di bulan Maret ini adalah giliran untuk babak kedua dari buku
karangan Veronica Roth. Insurgent, lanjutan dari Divergent ini memiliki
kesempatan untuk menunjukkan diri terlebih dahulu ketimbang buku-buku best
seller lainnya. Setelah Divergent yang berhasil memikat penonton dan pendapatan
yang luar biasa, tentu Summit
Entertainment tak akan segan-segan untuk memberikan lampu hijau kepada seri
keduanya.
Insurgent kali ini mengalami perubahan di departemen penyutradaraan.
Neil Burger tak kembali mengarahkan filmnya, tetapi mengawasi babak kedua dari
Divergent. Tongkat kekuasaannya diberikan kepad Robert Schwantke. Di dalam
departemen penulisan naskah pun, harusnya Insurgent memiliki sesuatu yang lebih
dibandingkan dengan Divergent. Adanya nama seperti Akiva Goldsman yang sudah
memiliki jam terbang tinggi meskipun dia bekerja di dalam tim bersama dengan
Brian Duffield dan Mark Bomback.
Sayangnya, meskipun ada nama Akiva Goldsman di dalam filmnya,
Insurgent memiliki narasi yang sangat terbatas di dalam efek visualnya yang
semakin megah. Perjalanan Insurgent dalam bertutur melewati perjalanan panjang
yang berbatu. Tak seperti Divergent yang setidaknya menghibur penontonnya
dengan jalan cerita dan bertutur yang masih menyenangkan meski di dalam durasi
yang lebih panjang ketimbang Insurgent. 120 menit milik Insurgent memiliki
ritme yang tak menentu dan adegan yang hambar.
Insurgent pun menceritakan bagaimana Tris (Shailene Woodley) dan Four
(Theo James) yang kabur dari serangan para dauntless. Mereka bersama Caleb
(Ansel Elgort) dan Peter (Miles Teller) bersembunyi di markas milik Amity
dengan berbagai syarat. Tetapi tak lama, para Dauntless yang sudah bersekongkol
dengan Erudite datang dan mencari Tris, Four, dan kawanannya tersebut. Mereka
kembali kabur dan bersembunyi di tempat Para Non-Faksi (Factionless)
Di sana mereka mulai mencoba untuk membangun sebuah pasukan besar
untuk melawan Erudite, terutama untuk melawan Jeanine (Kate Winslet). Tetapi,
Jeanine sedang melakukan pencarian besar-besaran terhadap Divergent yang kuat
untuk membuka suatu kotak rahasia yang berisikan sesuatu. Tris berusaha keras
agar dapat menghindar atas rencana jahat dari Jeanine. Karena, sesuatu di dalam
kotak tersebut akan mengubah sesuatu yang sangat besar.
Poin pertama yang tetap menjadi luka di dalam seri Divergent adalah
bagaimana karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki penggalian karakter
yang lebih dalam. Semua karakter hadir hanya untuk sekedar formalitas adaptasi
dari buku ke sebuah gambar. Hanya sekedar tampil beberapa detik sehingga di
dalam beberapa poin penting karakter tersebut tak memiliki relevansi dengan
subplot cerita yang seharusnya bisa tampil lebih kuat.
Tak hanya memiliki keterbatasan dalam mengembangkan latar belakang
karakternya saja, tetapi bagaimana Robert Schwantke belum bisa menyampaikan
cerita di dalam filmnya dengan baik. Beberapa akan terlihat sangat mentah dalam
menyajikan setiap konflik yang sebenarnya akan bisa tampil kuat. Sayangnya,
emosi yang sepertinya sudah tertuang di dalam screenplay milik Akiva Goldsman bersama dua orang temannya tak
dapat tergambarkan ke dalam gambar bergerak. Akhirnya, beberapa poin akan
terasa sangat hambar.
Beruntunglah, Insurgent memiliki efek visual yang jauh lebih megah
ketimbang seri pertamanya, Divergent. Mungkin karena sudah tahu bahwa Insurgent
sudah memiliki crowd yang besar, maka
dari itu Summit Entertainment, selaku
Production House yang menaungi seri
ini, tak segan dalam memberikan dukungan untuk menyokong film ini dalam segi
teknis. Hasilnya, beberapa cerita yang menggunakan visual effect, berhasil menangkap momen-momen indahnya. Robert
Schwantke tahu benar bagaimana memperlakukan filmnya agar terlihat lebih megah
meski haru mengorbankan narasi.
Pun juga dengan Shailene Woodley yang berusaha memberikan performa
akting yang totalitas. Tetapi, apa gunanya jika totalitas dalam berlakon itu
ternyata hanya diberikan oleh performa Shailene Woodley semata. Ya, dia adalah
karakter sentral di film ini, tetapi masih ada Ansel Elgort, Miles Teller, yang
tak memiliki kesempatan untuk menunjukkan performa gemilangnya di dalam film
ini. Begitu pun dengan Theo James yang juga karakter utama, performanya terasa
hampa. Untungnya ada beberapa nama besar seperti Kate Winslet dan Naomi Watts
yang mampu menaikkan tensi filmnya.
Maka, Divergent yang sudah membuat penontonnya memberikan patokan
tinggi harus siap untuk dikecewakan. Insurgent adalah sebuah penurunan
presentasi meskipun tak semua bagiannya tak bisa dinikmati. Insurgent memiliki
keterbatasan luar biasa di dalam narasinya yang harusnya dapat memberikan drama
thought-provoking dengan balutan aksi
dan visual effect yang tampil megah. Tetapi, Robert Schwantke pun tak dapat
menyampaikan pesan-pesan yang sepertinya sudah tertulis baik di dalam naskah
milik Akiva Goldsman dan timnya. Maka, tak urungkan niat untuk terlalu
menantikan seri terakhirnya, Allegiant, yang akan terbagi dua bagian.
To the casual moviegoer, it was almost impossible to discern what set Divergent apart from its YA-inspired brethren – it was as generic as movies come.
BalasHapus