Dongeng sebelum tidur kembali dihadirkan di zaman yang sudah serba modern. Sesuatu hal yang menyenangkan
ketika akhirnya anak-anak di era ini kembali merasakan dan mengetahui cerita
indah di negeri dongeng ini. Tetapi, sayangnya, dongeng-dongeng itu mengalami
beberapa perubahan agar bisa mendapatkan pasar yang lebih besar dan lebih universal. Cerita-cerita usang itu entah
diceritakan dengan adanya pendewasaan karakter, lebih gelap, atau ingin membuat
dongeng tersebut memiliki cerita yang lebih multidimensional daripada
sebelumnya.
Snow White, Sleeping Beauty, dan
Alice in Wonderland sudah pernah
mengalami penceritaan kembali dan mengalami ekspansi di film-film mereka. Dan
tak sedikit dari film-film tersebut tak bisa mendapatkan daya magisnya layaknya
dongeng-dongeng yang mereka jadikan kiblat. Sekarang, giliran dongeng
Cinderella yang dijadikan film live-action
oleh Disney dan disutradarai oleh Kenneth Branagh. Uniknya, Cinderella
versi baru ini tak perlu mengubah cerita dan mencoba untuk tetap setia dengan
sumber aslinya.
Bagi yang sudah mengenal dongeng Cinderella, pasti sudah sangat tahu
seperti apa persisnya cerita dari Cinderella ini. Bermula dari Ella (Lily
James) yang hidup bahagia dengan kedua orang tuanya. Tetapi, sang Ibu harus
meninggalkan Ella karena sakit yang berkepanjangan. Setelah beberapa tahun, sang
Ayah bertemu dengan seseorang bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett). Wanita
yang sedang digila-gilai oleh ayah Ella memiliki dua anak, Drisella (Sophie
McShera) dan Anastasia (Holliday Grainger). Mereka pun menikah dan Ella kembali
memiliki sosok ibu di dalam hidupnya.
Tetapi, ketika sang Ayah kembali merantau, berita buruk menghampiri
Ella. Sang ayah meninggal saat perjalanan kembali ke rumah karena sakit yang
tak kunjung sembuh. Ibu Tiri Ella dan kedua kakak tirinya menganggap Ella
sebagai seorang pembantu yang harus melayaninya setiap saat. Tetapi ditengah
penderitaannya, Ella malah bertemu dengan seorang pangeran tampan bernama Kit
(Richard Madden) dan dia jatuh cinta padanya.
Sebuah langkah yang mengejutkan dari Kenneth Branagh, ketika
memutuskan untuk membuat film Cinderella miliknya ini menjadi film yang sangat
setia dengan dongengnya. Mungkin akan menjadi sebuah resiko yang cukup besar
juga, karena Cinderella tak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan dongengnya
yang sudah sering penontonnya dengar. Sehingga, penonton merasa tak memiliki
alasan untuk harus menyaksikannya dalam layar besar.
Tetapi, Disney tahu benar pangsa mereka, Cinderella pun dikemas dalam
kemasan yang menarik sehingga penonton akan berbondong-bondong pergi
menyaksikan filmnya. Tanpa perlu mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari
dongengnya, Cinderella mampu merekap cerita yang sudah usang itu menjadi sajian
dengan tutur yang sangat lembut tanpa meninggalkan kemagisan dongeng aslinya.
Ya, 100 menit milik Cinderella ini adalah cara instan untuk mendapatkan cita
rasa klasik dongengnya.
Tanpa mengemban misi yang berlebihan, Cinderella berhasil menyajikan
sesuatu yang sederhana. Malah, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil
mengeluarkan daya magisnya dan menciptakan suasana negeri dongeng yang kental.
Juga disokong oleh Chris Weitz dalam departemen naskahnya yang mampu bertutur
dengan sangat lembut. Juga diwarnai dialog-dialog cerdas tanpa yang masih
menunjukkan kemewahan dan sikap anggun seperti karakter-karakternya.
Memang tak melulu Cinderella milik Kenneth Branagh ini sangat setia dengan
sumber aslinya. Lewat naskah milik Chris Weitz juga, Cinderella menjadi lebih
kaya cerita dibandingkan dongeng sebelumnya. Terlebih, pengembangan karakternya
pun tak menjadi komikal layaknya sumber aslinya. Para karakter –terutama
karakter antagonis –menjadi lebih multidimensional dan berhasil memiliki yang
sebenarnya bertujuan mengekspansi tetapi dalam batas yang wajar. Bukan serta
merta memperluas sudut pandang, tetapi lebih kepada menunjukkan sisi vulnerable
dari setiap karakternya.
Cinderella versi Kenneth Branagh ini tak hanya menjual mimpi seorang
gadis untuk mendapatkan pria idamannya. Tetapi, ada sisi emosional tentang
keluarga, berbuat baik, keberanian, dan cinta yang tak hanya berasal dari
pasangan, tetapi dari siapapun itu. Dan sang sutradara berhasil menyampaikan
setiap detil pesan dengan sangat baik dan penonton sangat bisa memiliki relasi
yang kuat karena bagaimana Kenneth Branagh sangat kuat dalam mengarahkan
filmnya.
Tak perlu diragukan masalah production
value di dalam film Cinderella. Kostum, setting tempat, dan detil-detil
lainnya tentu akan digarap dengan serius. Sehingga, segalanya nampak serasi dan
menghibur mata yang memandang layaknya Cinderella yang baru mendapat gaun baru
dari sang Ibu Peri. Juga, penataan kamera yang menarik sehingga terlihat
memaksimalkan format IMAX yang digunakan di film ini. Tanpa efek tiga dimensi,
gambar-gambar di film ini terasa dekat di mata penontonnya.
Daya magisnya pun dikuatkan oleh performa hebat dari para aktor dan
aktrisnya. Lily James sangat berhasil menjadi sosok yang gampang mendapat
simpati penonton saat memerankan Cinderella. Begitu pula dengan Cate Blanchett
yang tak perlu diragukan lagi memerankan sosok antagonis, Lady Tremaine, tanpa
kehilangan keanggunannya. Penampilan singkat tapi memikat dari Helena Bonham
Carter sebagai Fairy God Mother juga
dapat menarik perhatian penontonnya.
Tanpa perlu memegang ambisi untuk menjadi lebih besar dari sumber
dongeng aslinya, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil merangkum dan
mencapai segala kemagisan sumber aslinya. Bukan hanya menceritakan kembali,
tetapi juga memperkaya cerita dengan menyelipkan pesan-pesan tentang mimpi dan
harapan. Maka, Cinderella adalah sebuah bukti bahwa tak perlu berambisi untuk
mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari sebuah dongeng. Cukup dengan setia
dengan sumber, bertutur dengan lembut dan arahan yang kuat, akan ada sebuah
keajaiban datang ke dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar