The Hobbit sama-sama diangkat dari novel milik J.R.R Tolkien. Bedanya,
The Hobbit hanya memiliki satu buku yang dibagi menjadi tiga bagian, tak
seperti Trilogi The Lord of The Rings
yang memiliki seri yang berbeda-beda. Tentu, bukan keputusan yang bijak dari
Peter Jackson untuk membagi satu buku menjadi 3 bagian yang masing-masing
memiliki durasi sektar 150 sampai 165 menit. Hanya dengan satu buku, The Hobbit
akan terkesan minim sekali konflik.
Tiga tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh Peter Jackson untuk
menjalankan cerita yang minimalis dari Bilbo Baggins. Perlu satu tahun untuk
menunggu episode terakhir dari perjalanan Bilbo Baggins dan para dwarfs untuk
menyelesaikan misinya. Trilogi The Hobbit menjadi cerita prekuel dari trilogi
The Lord of The Rings yang juga diarahkan oleh Peter Jackson. Tetapi, sambutan
positif tak lantas mengiringi setiap seri dari The Hobbit sendiri.
Dua tahun lalu, An Unexpected
Journey diedarkan dengan cliffhanger
ending yang cukup smooth. Bilbo
Baggins pun melanjutkan misinya dalam seri The
Desolation of Smaug yang mulai memberikan easter egg sedikit demi sedikit
kepada The Lord of The Rings. The Battle of Five Armies, seri ketiga ini melanjutkan
dari seri The Desolation of Smaug. Di mana, Bilbo Baggins (Martin Freeman) yang sudah
berada di daerah kelahiran para dwarfs. Smaug yang marah menyerang kawasan
sekitar dan membuat segalanya luluh lantak.
Tetapi, masalah utama ternyata bukan pada naga Smaug yang telah
mencuri dan menguasai istana mereka terdahulu. Akan ada masalah yang lebih
besar yang harus dihadapi oleh para dwarfs
setelah berhasil menguasai kembali istananya. Masalah besar tersebut
melibatkan lima sekutu yang berbeda dan terjadi perang yang sangat besar di
antara mereka. Middle-Earth tentu
sedang dalam guncangan yang hebat dikarenakan perang dari lima sekutu yang
berbeda di atas tanah mereka.
The Battle of Five Armies mengalami perubahan nama judul yang
sebelumnya adalah There and Back Again. Ya, perubahan nama itu memang dirasa
perlu agar penonton merasakan bahwa penutup dari trilogi ini akan menjanjikan
sesuatu yang sangat besar. Kata ‘Battle’
yang berarti perang tentu akan dengan mudah menarik perhatian penonton agar
menyaksikan babak terakhir petualangan Bilbo Baggins dan para dwarfs yang sudah
mencapai titik puncaknya.
The Battle of Five Armies pun memiliki durasi yang paling pendek di
antara dua seri lainnya. Dalam durasi yang mencapai 150 menit, The Battle of
Five Armies pun hanya menitikberatkan filmnya pada adegan aksi yang digarap
grande. Final Battle di film ini pun digarap serius yang akan memanjakan para
penonton yang sudah mengidam-idamkan adegan perang sejak An Unexpected Journey dirilis. Tetapi, penonton tampaknya harus
bersabar hingga The Battle of Five Armies ini datang dan memuaskan mereka yang
haus akan itu.
Peperangan antara lima sekutu perang ini pun berlangsung hampir 45
menit filmnya. Tetapi, 105 menit sisanya masih harus mengurusi penyelesaian
dari konflik yang disebarkan di kedua film terdahulunya. Tetapi, Peter Jackson
pun masih kebingungan mau konflik seperti apa lagi yang mau dia sampaikan di
film ini agar dapat memenuhi durasi. Dengan hanya bermodalkan satu buku sebagai
kiblat ketiga filmnya yang berdurasi panjang, tentu The Battle of Five Armies
ini sebenarnya akan lebih efektif jika dimampatkan ke dalam kedua seri
sebelumnya.
Tetapi, The Battle of Five Armies bukanlah sebuah penutup yang buruk.
Bahkan, performa The Battle of Five Armies bisa dikatakan bisa lebih smooth ketimbang The Desolation of
Smaug. Segala bentuk adventure di dunia Middle-Earth
ini bisa menjadi sajian yang sangat menghibur dan bisa dinikmati hingga akhir.
Meskipun masih ada momen up and downs
karena durasi yang cukup lama dalam bertutur, namun The Battle of Five Armies
menyimpan segala bentuk adegan mengejutkan di dalam Final Battle sequence-nya.
The Battle of Five Armies menjadi sebuah penutup trilogi The Hobbit
yang manis. Tanpa sengaja, seri penutup ini akan mempersuasi penontonnya untuk
membuka lagi kenangan trilogi The Lord of The Rings dan menyaksikan seri itu
kembali. Karena pesona Middle-Earth
dalam buku J.R.R Tolkien ini memang luar biasa dan selalu menempel di otak
penontonnya meski sudah 10 tahun lalu film-film itu dibuat.
Tapi perlu adanya garis bawah untuk trilogi The Hobbit ini. The Hobbit
adalah sebutan untuk para penghuni middle earth dengan kakinya yang besar dan
tinggi badannya yang pendek. Dengan menggunakan kata The Hobbit di setiap
judulnya, tentu perlu ada sesuatu performa yang lebih besar yang ditujukan
kepada sosok Bilbo Baggins yang mewakili ras Hobbit itu sendiri. Tetapi, hal
itu dihiraukan oleh Peter Jackson dan akhirnya The Hobbit hanyalah adaptasi
sebuah judul dari buku J.R.R. Tolkien tetapi tak memberikan ruang untuk sosok
Hobbit bernama Bilbo Baggins untuk berkembang.
Di dalam An Unexpected Journey,
karakter Bilbo masih diberikan kendali yang lebih kuat untuk menjalankan
ceritanya. Hal itu dapat digunakan sebagai pegangan bahwa The Hobbit ini perlu
untuk diangkat versi layar lebar. Tetapi, kesalahan itu sudah terjadi semenjak
The Desolation of Smaug. Di mana, Bilbo Baggins pun harus kalah pamor, kalah
saing, dan kalah screening time dengan karakter-karakter baru lainnya seperti
Legolas, Bard, bahkan para Dwarfs.
Bilbo tidak diberi ruang untuk menjadi sosok yang penting untuk filmnya.
Begitu pun di dalam seri penutupnya, karakter Bilbo Baggins pun
semakin lama semakin turun pamor. Kegunaannya di dalam seri ini pun tertutupi
karakter lain yang semakin mendapatkan spotlight lebih. Peter Jackson pun tak
mencoba untuk memberikan kesan yang baik kepada sosok Bilbo Baggins yang
seharusnya menjadi karakter utama jika dilihat dari judulnya. Tetapi, malah
semakin tenggelam dari satu seri ke seri lainnya dan penonton akan mengenang
karakter seperti Kili dan Fili ketimbang Bilbo Baggins yang
seharusnya menjadi penggerak narasinya sejak awal.
The Hobbit : The Battle of Five Armies ini pun benar-benar hanya
menyelesaikan semua konflik yang sudah disebar di dua seri pendahulunya. Dengan
final battle sequence-nya yang
dieksekusi secara grande, tentu hal
ini akan memuaskan penonton yang sudah mengidam-idamkan hal ini di dua seri
sebelumnya. Dengan berbagai minor kecil di segala aspeknya, The Hobbit : The
Battle of Five Armies ini adalah sebuah penutup yang manis yang dapat membuka
memori penontonnya untuk menyaksikan kembali trilogi The Lord of The Rings.
Seperti seri sebelumnya, The Hobbit : The Battle of Five Armies pun
dirilis dalam format 3D. Tetapi, memiliki banyak jenis format 3D yaitu IMAX 3D,
HFR 3D, dan IMAX HFR 3D. Berikut adalah review The Hobbit : The Battle of Five
Armies dalam format HFR 3D.
DEPTH
The Hobbit : The Battle of Five Armies memiliki kedalaman yang sangat
luar biasa jika disaksikan dalam format HFR 3D. Segalanya akan terasa dekat dan
riil.
POP OUT
Banyak sekali adegan Pop Out dalam The Hobbit : The Battle of Five
Armies yang menyapa mata penontonnya. Terlebih dalam adegan final battle yang
sangat memaksimalkan efek pop out dalam format tiga dimensinya.
Dengan terobosan terbaru dalam format tiga dimensinya, The Hobbit :
The Battle of Five Armies sangat direkomendasikan untuk disaksikan dalam format
HFR 3D. Akan menambah suasana battle yang terasa lebih nyata jika dibandingkan
bila disaksikan dalam format dua dimensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar