Minggu, 30 Juli 2023

Oppenheimer (2023) Review - Pencipta dan Efek Ciptaannya Dalam Visual Gambar Bergerak

Menelaah karya terbaru dari Christopher Nolan ini memang seperti bom nuklir yang dasarnya memiliki dua jenis; Fisi dan Fusi. 

Begitulah film Oppenheimer dibuka dengan menceritakan dua laki-laki yang yang diberikan sebuah 'kuasa' yang bisa menghancurkan dunia layaknya kutipan pembuka Prometheus di awal filmnya. 

"Prometheus stole fire from the gods and gave it to man."

Layaknya sebuah film tentang biografi seseorang pada umumnya, karya terbaru dari Christopher Nolan ini juga melakukan hal yang sama. Tetapi, bukan Nolan namanya apabila tidak berusaha untuk memberikan sentuhan berbeda dalam karyanya.

Fisi, menceritakan tentang Oppenheimer dan perjalanannya menemukan bom atom hasil reaksi fisi uranium. Fusi, menceritakan tentang perjalanan Oppenheimer harus dituntut untuk aksinya membuat bom atom dari Fusi Nuklir atau biasa yang disebut Bom Hidrogen.

Fisi dan Fusi digunakan oleh Christopher Nolan sebagai menjalankan linimasa ceritanya. Tetapi, secara tak langsung juga dijadikan sebagai alegori 'perang dingin' antara Oppenheimer dan Straus yang keduanya memiliki 'ledakan' emosinya masing-masing. Inilah yang berusaha ditekankan. Memberikan sebuah karakter studi untuk masing-masing dua karakter pentingnya yang berusaha 'menang di medan perang.'

Pun, pembedanya juga semakin terlihat dengan bagaimana warna yang digunakan dalam mise en-scene ketika menceritakan Fisi dan Fusi ini. Adanya sebuah ketimpangan dalam color grading yang digunakan. Fisi yang berwarna, sedangkan Fusi yang memiliki hitam putih seakan-akan kebenarannya masih diragukan. Nolan pun mempertegas hal tersebut dalam sebuah wawancaranya yang mengatakan bahwa ketimpangan itulah yang membuat penonton mengetahui pembeda dari ceritanya yang tidak linear ini.

Christopher Nolan mengarahkan Oppenheimer dengan cara cita rasanya yang berbeda dibanding biasanya. Ada rasa 'rendah hati' yang tak pernah hadir di film-film sebelumnya. Secara penulisan, Nolan memang tak terlalu terpaku dengan teknisnya. Tetapi, film ini seakan menggabungkan segala bentuk teknisnya untuk menghasilkan sebuah cerita yang menghinoptis dengan rentang durasi yang panjang. Anehnya, 180 menit itu terasa padat dan tak pernah terasa menjemukan. Bahkan, satu jam terakhirnya makin mampu mengikat penontonnya dengan polemik tentang ilmuwan dan politiknya untuk mendapatkan kekuasaan.

Layaknya ledakan bom nuklir yang reaksi muncul terlebih dahulu lalu efek kejutnya datang setelahnya, begitulah Oppenheimer ini pun diarahkan. Nolan memang ingin berusaha mengulik karakter Oppenheimer dengan lebih mendalam. Sebuah studi karakter yang mungkin dikupas pelan, tetapi 'ledakannya' bisa berefek destruktif ke penontonnya. Penonton bisa merasakan segala keresahan dalam pikiran Oppenheimer yang suaranya terus menggema dan tidak ada habisnya. Berkali-kali Nolan menggambarkan hal tersebut secara visual yang berkombinasi dengan tata suara yang sejalan.

Dalam adegan pengenalan karakternya, Oppenheimer berkata bahwa dirinya memang takut memikirkan alam semesta yang tak pernah ada batasnya. Ketakutan itu tampil secara visual harfiah. Menggabungkan elemen-elemen tentang gesekan fisika hingga percikan ledakan yang mungkin terlihat sebagai montase-montase belaka. Tetapi, hal itu ternyata berperan penting untuk memberikan urgensi bagi penonton bisa mengerti apa yang dialami oleh karakternya.

Serta, mengulik juga bagaimana Oppenheimer juga merasa tak nyaman dengan keberhasilannya yang ternyata mengakibatkan dirinya harus berjibaku dengan batinnya sebagai seorang manusia yang memiliki empati. Bom atom yang diledakkan ini telah menelan banyak korban jiwa. 

Adegan dalam menggambarkan rasa bersalahnya ini yang sangat membekas dalam ingatan. Sebuah pidato tentang keberhasilannya memberhentikan perang dunia ke dua katanya dengan lantang dia nyatakan. Tetapi, dirinya juga merasa 'dihantui' dengan perasaan saat tahu fakta dia telah membunuh ratusan jiwa tak bersalah. Nolan dengan pintar membuat mise en-scene tersebut seakan seperti sebuah simulasi bagi Oppenheimer yang sedang merasakan sendiri ledakan dari benda ciptaannya. Adegan tersebut mencekam, memberikan atmosfer tak nyaman yang sekali lagi memang diciptakan untuk penonton bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Oppenheimer di sana. 

Tak luput adegan-adegan tersebut juga berpadu dengan persembahan alunan musik yang diaransemen oleh Ludwig Goransson yang sering kali notasinya bertabrakan. Layaknya perjalanan Oppenheimer yang sering kali dalam perjalanan menyelesaikan penemuannya ini bertabrakan dengan dogma yang ada.

Nolan memang ternyata tak serta merta mengagung-agungkan seorang Ilmuwan. Dalam naskah adaptasinya, dia berusaha untuk memanusiakan Oppenheimer yang dalam perjalanan hidupnya juga mengalami penuh problematika yang membuat dirinya terlihat tak selamanya selalu benar. Tak selamanya tak goyah dengan godaan-godaan lain yang membuat dirinya bisa berseteru dengan Strauss. Selama dua babak, hal tersebut dibangun. Hingga pada akhirnya, dalam babak terakhirnya, penonton pun juga seakan belum tahu harus berada di pihak yang mana.

Tentu saja, hal tersebut tak lepas dari bagaimana Cillian Murphy berhasil memerankan Oppenheimer dan segala keresahannya dengan sangat kuat. Tak sekadar memberikan performa yang meluap-luap. Tetapi, performanya yang subtil berhasil menyalurkan keresahannya sebagai ilmuwan dan dinamikanya dalam berkontribusi di dalam negara yang dia naungi. Dengan pemikiran-pemikirannya yang luas, penghargaan yang disematkan kepada mereka, lantas membuat Ilmuwan selalu merasa 'menang." Ini hanya memuaskan ego para pemilik kuasa semata agar lagi-lagi mendapatkan kredibilitas karena telah mendengarkan suara yang tak didengar katanya.

Pernyataan tersebut rasanya sudah diwakilkan lewat karakter Strauss yang berhasil diperankan dengan cermat oleh Robert Downey Jr. Karakternya yang abu-abu juga digambarkan dengan mise-en-scene grading yang hitam putih ketika harus menyorot lebih tentang dirinya. Christopher Nolan memang selalu jagoan dalam mempermainkan psikologi penontonnya lewat mise-en-scene yang dia buat. Sehingga, ketika film ini selesai, Oppenheimer akan masih dibicarakan dan didiskusikan. Ya, begitulah film-film Nolan pada umumnya. Tetapi, Oppenheimer tentu menjadi salah satu karya terbaik darinya dan salah satu yang terbaik di tahun ini.



3 komentar:

  1. salah satu karya yang kusuka dari christoper nolan setelah interstellar. tiga jam nonton ini berasa waktu berjalan begitu cepat. aku juga suka dengan poin kecepatan cahaya lebih cepat dari apapun. nice artikel kak, btw ini boleh saling follow? terimakasiii^^~

    BalasHapus
  2. One of my favorite works by Christopher Nolan, following "Interstellar," was a truly captivating experience. The three hours spent watching it felt like time flew by so quickly. I especially appreciated the idea that the speed of light surpasses everything else. Your article is quite enjoyable, by the way. By the way, would you like to connect and follow each other? Thank you!

    One of my favorite works by Christopher Nolan, following "Interstellar," was a truly captivating experience. The three hours spent watching it felt like time flew by so quickly. I especially appreciated the idea that the speed of light surpasses everything else. Your article is quite enjoyable, by the way. By the way, would you like to connect and follow each other? Thank you!

    Wyze App for pc as you would on a mobile device, giving you access to your Wyze cameras and devices.

    BalasHapus