Setiap production house berlomba-lomba untuk mengadaptasi buku-buku populer apalagi buku tersebut berseri. Ada yang berhasil seperti Warner Bros dengan Harry Potter-nya, Lionsgate dengan The Hunger Games-nya, dan yang tak bisa dipungkiri yaitu Summit dengan The Twilight Saga-nya serta Divergent yang juga mulai memiliki massa-nya. 20th Century Fox pun mencoba peruntungan lewat film adaptasi buku berseri milik James Dashner yaitu The Maze Runner
The Maze Runner milik James Dashner ini berbentuk trilogi. Penggemar buku ini mungkin tidak sebesar yang lain. Begitupun dengan promo film ini yang terlihat masih
malu-malu untuk sebuah film adaptasi novel. Sutradara yang menangani film ini adalah Wes Ball. Sutradara yang juga baru memulai debut di dunia perfilman. 20th Century Fox juga masih meraba-raba apakah The Maze Runner ini akan sukses atau tidak.
The Maze Runner terfokus pada satu anak bernama Thomas (Dylan O’Brien)
yang ingatannya terhapus dan dia terdampar di sebuah area bernama Glade. Di
sana, terdapat banyak sekali anak lelaki yang berusaha bertahan hidup. Mereka yang hidup di area ini, menyebut diri mereka Gladers. Di Glade, terdapat sebuah labirin
yang setiap hari akan berubah pola. Gladers berusaha untuk mencari jalan
keluar yang di dalamnya berisikan makhluk berbahaya bernama Grievers.
Setiap bulannya, anak lelaki baru akan datang ke Glade. Tetapi ketika
Thomas datang semuanya berubah. Hanya selang beberapa hari ada anak baru
bernama Teresa (Kaya Scodelario). Dengan sebuah pesan yang bertuliskan “She’s
the last one ever” datang bersamanya. Dia mengingat Thomas sehingga menimbulkan
pertanyaan bagi Thomas. Thomas yang ingin tahu pun berusaha untuk menjadi
seorang Runners dan ingin menemukan jalan keluar dari Glade.
Quite well-directed to cover not so well written script.
Tak dapat dipungkiri, banyak
production house berusaha untuk mengekor kesuksesan dari The Hunger Games
trilogy. Begitu pun dengan The Maze Runner ini. Buku yang sudah diterbitkan
sejak tahun 2009 ini, akhirnya dilirik juga untuk diadaptasi menjadi sebuah film.
Tentu dalam mengadaptasi sebuah novel untuk menjadi motion picture, perlu usaha
keras agar menjadi film adaptasi yang bagus.
Diperlukan penulis skenario handal agar bisa memindahkan
halaman demi halaman dari buku tersebut. Tetapi perlu diingat, buku dan film bukan satu medium yang
sama. Selalu akan ada perubahan dalam mengadaptasinya ke film. Tetapi dengan usaha yang
baik dari penulis skenario dan arahan yang kuat dari seorang sutradara, tentu
akan menghasilkan sesuatu yang bagus. Sayangnya, The Maze Runner memiliki satu
departemen yang tidak kuat agar dapat berjalan seimbang.
Yang salah dalam adaptasi The Maze Runner adalah bagian penulisan
skenario. Naskah yang ditulis oleh Noah Oppenhaim dan Grant Pierce Mayers
ini memiliki penulisan skenario yang lemah. Hal ini memberikan kesan one-dimensional terhadap beberapa
karakter. The Maze Runner memiliki
banyak sekali karakter di dalamnya. Sayangnya, karakter-karakter yang
muncul ini tidak diberi perhatian lebih sehingga semuanya terkesan
memenuhi layar.
Yang menjadi pion untuk menjalankan cerita di film ini hanyalah Thomas.
Beban yang cukup berat bagi Dylan O’Brien untuk menjalankan karakter Thomas. Perlu performa yang kuat dan meyakinkan. Sayangnya, Dylan O’Brien sedikit
kurang meyakinkan penontonnya bahwa dialah yang mengatur segala permainan film ini. Tentu karakter di film yang terkesan one-dimensional ini, berdampak pada
kurangnya koneksi antara karakter dengan penontonnya. Tidak ada rasa simpati dari
penontonnya kepada karakter-karakter di film ini.
Tetapi, Wes Ball sebagai sutradara debutan melakukan arahan yang cukup
bagus. Dengan lemahnya di bagian penulisan naskah, Wes Ball berhasil membangun filmnya setidaknya menjadi film yang menghibur. Tensi
yang terbangun di film ini cukup baik yang setidaknya menciptakan atmosfir
horor dan misteri yang cukup baik. Tentu, Wes Ball sebagai
sutradara debutan, masih mendapatkan kategori ‘layak’ tidak seperti
halnya sutradara 47 Ronin.
The Maze Runner memang bukanlah menjadi sebuah film adaptasi young
adult yang outstanding. Dibandingkan dengan The Hunger Games series, The Maze
Runner bukanlah apa-apa. Tetapi, The Maze Runner memberikan hal-hal
menarik yang cukup membuat penontonnya penasaran dalam mengikuti setiap menit
dari 100 menit film ini. Sayangnya, kekurangan lain menjadi masalah baru bagi The Maze Runner. Yaitu bagaimana representasi visual di film ini.
Ada yang salah dalam visualisasi di film ini. Tidak ada sesuatu yang
spesial dalam production value di film ini. Tidak ada gambar-gambar indah yang
dapat ditangkap oleh Director of Photography, terlebih film ini dirilis dalam
format IMAX. Visual itu tidak dapat menunjang kelangsungan filmnya. Mata
penonton tidak terlalu dimanjakan dengan gambar-gambar di film ini. Apalagi, film ini sering menggunakan waktu malam sebagai setting waktunya. Bisa jadi dengan 'Malam' sebagai setting waktunya, Sang sutradara ingin
menyampaikan atmosfir yang lebih mencekam.
Pada akhirnya, The Maze Runner masih memiliki potensi menjadi salah
satu film adaptasi buku young adult yang gagal. Sama halnya seperti Divergent,
The Maze Runner memiliki beberapa kelemahan yang sama, terletak pada lemahnya
penggalian karakter dan beberapa penyampaian cerita yang masih berantakan.
Tetapi, bagaimana sutradara debutan Wes Ball ini bisa menutupi kekurangan dalam
skenarionya sehingga The Maze Runner masih menjadi salah satu film yang
menghibur.
Aq g sk ma filnya,boring & ditengah2 film sampai ngantuk lhtnya,nyesel lht flm ini
BalasHapussalam hangat dari kami ijin menyimak sahbat dari kami pengrajin jaket kulit
BalasHapus