Minggu, 24 Juli 2016

ILY FROM 38.000 FT (2016) REVIEW : Film Cinta Yang Terbang Tak Terlalu Tinggi


Kisah cinta klise dua insan memang mungkin memiliki segmentasinya sendiri. Bisa jadi, film-film dengan tema seperti itu menjadi sebuah guilty pleasure yang dinikmati oleh banyak orang. Tetapi bila salah pengemasan, hal tersebut akan menjadi senjata makan tuan bagi pembuatnya. Jika salah film dengan genre ini akan kehilangan segmentasinya. Bahkan kekecewaan bukan hanya datang untuk segmentasi tersebut, tetapi juga penonton luas yang ingin menyaksikan film tersebut. 
 
Di banyak judul film-film Indonesia, genre ini menjadi salah satu yang sering muncul. Banyak sekali judul yang menggunakan formula tersebut. Formula-formula plot ceritanya pun hampir sama, hanya saja dikemas berbeda di setiap judul filmnya. Screenplay Production adalah salah satu rumah produksi yang selalu menghasilkan film-film dengan genre terkait. Bahkan, film-film produksinya mendapatkan perolehan angka penonton yang fantastis. Tahun ini pun, London Love Story, meraih 1 juta penonton.

Dengan adanya fenomena ini, Screenplay Production pun semakin gencar memproduksi film-film. Asep Kusdinar tetap didapuk sebagai sutradara andalan dari rumah produksi tersebut. Film kedua dari rumah produksi satu ini adalah I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Bekerja sama dengan Legacy Pictures, film ini tetap menggunakan formula yang sama dan bongkar pasang nama pemain dari film-film sebelumnya. Dan kali ini, nama Michelle Ziudith dan Rizky Nasar kembali dipasangkan di film terbarunya. 


Plot cerita I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) pun penuh dengan kisah pertemuan sepasang sejoli. Meracik formula-formula usang untuk menjadi sebuah plot cerita yang dibedakan latar dan konfliknya. Itulah yang dilakukan oleh I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) yang menceritakan tentang Aletta (Michelle Ziudith) yang sedang kabur dari rumahnya ke Bali. Di dalam pesawat perjalanannya menuju Bali, dia bertemu dengan Arga (Rizky Nasar) yang bekerja di sebuah saluran tentang alam.

Arga sedang membutuhkan seorang pembawa acara karena pembawa acara miliknya sedang sakit. Aletta pun berinisiatif untuk membantu Arga untuk menjadi pembawa acara di sana. Tetapi, hal tersebut menjadi polemik bagi rekan-rekan kerja Arga. Tetapi, Arga tetap memintanya sebagai pembawa acara bagi saluran miliknya. Di saat itulah, tumbuh rasa di hati Aletta terhadap Arga. Dia jatuh cinta dengan sosok dingin Arga yang entah akan mencintai dia kembali atau tidak. Yang jelas, Aletta benar-benar menaruh hati kepada Arga. 


Maka, bersiaplah dengan apa yang ditawarkan oleh I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Secara garis besar plot cerita, mungkin hal-hal itu wajar terjadi di dalam film-film serupa. Tetapi, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) dikemas dengan dialog-dialog puitis masa kini yang mungkin akan menyenangkan segmentasinya sehingga menimbulkan fenomena #BaperBarBar. Dialog-dialog tersebut mencoba untuk terlihat memiliki makna yang dalam tentang suatu hubungan. Nyatanya, dialog-dialog tersebut ternyata tak memiliki dampak selain kesan mendayu-dayu yang coba ditekankan oleh filmnya.

Semua dialog yang dilantunkan oleh para pemainnya pun terkesan janggal dan canggung untuk didengarkan. Pun, ikatan kedua pemainnya belum muncul terlalu kuat. Sehingga, muncul kesan malas di antara kedua pemainnya, entah akan banyaknya dialog yang harus dia hafalkan atau pemain utamanya hanya sekedar bosan. Bisa jadi, kedua pemainnya mungkin tak mendapatkan peran yang memiliki signifkansi di antara kedua film sebelumnya. Hingga, mereka pun juga tak memunculkan performa yang maksimal.

Tak ada perkembangan yang dilakukan oleh Michelle Ziudith dan juga Rizky Nasar. Bahkan keduanya pun seperti tak punya kekuatan untuk mengeksplorasi karakternya. Permainan karakter yang diperankan oleh mereka pun terkesan seperti kertas yang tipis, tak bisa memberikan sebuah emosional sehingga penonton merasa simpati. Itulah, yang membuat I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) tak bisa memiliki presentasi yang mumpuni di tengah premis ceritanya yang bukan menjadi senjata andalannya. Bahkan, dalam penyampaian plotnya juga mengalami masalah. 


I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) mengalami berbagai kekurangan. Bagaimana sang sutradara menjelaskan setiap konflik yang terkesan seperti memotong beberapa bagian penting di dalam naskahnya yang seharusnya jadi alasan utamanya. Sehingga, apa yang ditampilkan di dalam cerita I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terkesan loncat-loncat dan terlalu buru-buru. Asep Kusdinar lebih menonjolkan dialog-dialog yang terdengar ‘ajaib’ itu ketimbang alasan-alasan penting di dalamnya. Di mana, hal tersebut sangat berpengaruh bagi kelangsungan durasinya yang mencapai 100 menit.

Di bawah naungan Legacy Pictures, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) mengalami perubahan secara signifikan secara teknis. Tata suara dan tata gambar di dalam I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) adalah poin yang mengalami perubahan dibandingkan dengan dua film Screenplay Production sebelumnya. I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terasa lebih sinematis, sehingga tata dan nilai produksi teknis filmnya lebih layak jika dikategorikan ke dalam film yang rilis di bioskop. 


Maka, problematika yang ada dalam presentasi I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) ini adalah plot cerita dan penyampaian yang masih belum bisa dikategorikan ke dalam pengalaman sinematis. Michelle Ziudith dan Rizky Nazar pun belum bisa mengeksplorasi dan terjebak ke dalam karakter yang itu-itu saja. Sehingga, tampil interpretasi  bahwa mereka terasa malas dan apa adanya untuk bermain di dalam film I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT). Tetapi, secara teknis, I Love You From 38.000 Feet (ILY From 38.000 FT) terasa lebih pas untuk disaksikan di bioskop.  

2 komentar: