Kamis, 13 Oktober 2016

ATHIRAH (2016) REVIEW : Urgensi, Relevansi, dan Intimasi dalam Film Biografi


Urgensi, kata yang tepat dan selalu menjadi poin menarik di setiap film-film tentang seseorang atau biografi. Menilik tujuan seperti apa yang ingin diwujudkan lewat beberapa sineas setelah menyelesaikan proyek film biografi. Beberapa poin ini memang terkadang masih terkesan bias, karena masih ada kepentingan politik yang berusaha ingin disampaikan. Memang, film sejatinya bisa digunakan sebagai alternatif penyampaian pesan, film memiliki misi dari pembuatnya. Sehingga, metode ini kerap digunakan sebagai medium untuk membangun atau mengembalikan sebuah citra.

Juga ada Relevansi, kata yang tepat setelah menonton sebuah film biografi. Apa yang berusaha dibangun dan ingin disampaikan oleh menonton akan berdampak pada bagaimana seseorang memiliki paradigma dengan sosok tersebut. Dua poin itu juga yang membuat Riri Riza ingin mengabadikan secara visual tentang sosok Ibu Jusuf Kalla bernama Athirah. Memoir tentang Athirah telah pertama kali dituliskan ke dalam bentuk buku oleh Albethiene Endah. Sehingga, ‘Athirah’ versi film ini adalah adaptasi dari buku dengan judul sama.

Delusi adalah hal yang terkadang mewarnai sebuah film biografi yang sedang membangun citra kembali. Maka, alih-alih sebagai sebuah cerita dari orangnya asli, semuanya nampak seperti sebuah cerita fiksi. Sehingga, orang-orang terkadang mempertanyakan sebuah verifikasi dalam sebuah kisah dalam filmnya sebagai komunikator. Lantas, hal tersebut sepertinya membuat Riri Riza berhati-hati dalam menyampaikan pesan dalam film ‘Athirah’. Kekuatannya ada pada narasi dari naskah adaptasi yang ditulis secara kooperatif oleh Riri Riza dan Salman Aristo serta pengarahannya yang detil. 


Athirah (Cut Mini) dan Puang Haji Kalla (Arman Dewarti) membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia dan serba berkecukupan. Puang Haji Kalla menjadi sosok yang dihormati di berbagai kalangan orang Makassar. Tetapi, akan sesuatu hal, cengkrama antar Puang Haji Kalla dan Athirah mengendur tiba-tiba. Nyatanya, Puang Haji Kalla telah memikat hati wanita lain dan Athirah merasakan sebuah pengkhianatan pernikahan yang amat dahsyat.

Tak lama setelah itu, Athirah harus bangkit dan meninggalkan segala jenis sakit hatinya agar dapat terus bertahan hidup. Menghidupi anak-anaknya terutama Ucu (Christoffer Nelwan), yang selalu senantiasa mendampingi transisi kehidupan Ibundanya. Athirah sedikit demi sedikit menguatkan hatinya agar tak biasa bergantung dengan Puang Haji Kalla. Tetapi, problematika yang muncul di kehidupan Athirah semakin dilematis. Puang Haji Kalla kembali ke Athirah dan membuatnya mengingat akan puing-puing masa lalunya. 


Inspiratif tanpa perlu membuatnya seperti memberikan dakwah adalah tujuan Riri Riza dalam mengemas Athirah. Alih-alih menekankan Athirah sebagai sebuah film Inspiratif, nyatanya Riri Riza ingin membangun adanya relevansi di benak penonton. Muncul sebuah kesan, bahwa Athirah adalah sosok yang perlu diberi sorotan lebih, apalagi, sosoknya sebagai perempuan. Tak perlu sebuah peristiwa hidup yang megah sebagai titik balik, hanya sebagai seorang perempuan biasa yang dapat bertahan hidup sendiri menjadi kekuatan dari sosok Athirah ini.

Terlepas dari Athirah adalah sebuah film yang sedang menceritakan tentang seseorang di balik sosok mahsyur negeri ini, Riri Riza memanfaatkannya sebagai medium berbicara tentang perempuan. Riri Riza merangkum segala pesan tentang kesetaraan gender dengan penuh elegansi dalam bertutur, bukan sekedar menunjukkan superioritas ilmu tentang feminisme secara bar bar. Permainan narasi  dalam film Athirah adalah kunci utama dari film ini. Tanpa perlu bicara banyak dengan dialog yang menggurui, Athirah akan berdampak besar kepada penontonnya dengan visual kuat yang dimiliki.

Athirah adalah gambaran seseorang perempuan lintas zaman yang masih memiliki relevansi dengan problematika masa kini. Bagaimana Athirah sebagai seorang perempuan dapat menjadi tolak ukur dengan berbagai atribut yang tak jauh dari kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Terutama sosial masyarakat di Indonesia yang masih menganut segala pendekatan budaya timur dalam menjalin interaksi. Menunjukkan bahwa Athirah yang mewakili perempuan Indonesia juga masih memiliki keterbatasan dalam menyampaikan opini dan haknya sebagai perempuan dan manusia.


Di sinilah Riri Riza bermain dengan medium yang dia miliki. Film ‘Athirah’ bukan hanya sebagai film tentang seseorang, tetapi juga bermain dalam wilayah suara untuk perempuan Indonesia. Sehingga, tak ada eksklusivitas yang terjadi dalam sosok Athirah dan tak menimbulkan efek alienasi antara karakter dan penontonnya. Penonton yang minim ilmu feminisme dan gender pun masih bisa mengambil sebuah kesimpulan besar tentang kekuatan seorang wanita di dalam lingkungan sosial masyarakat.

Intimasi, poin yang ingin dibangun lagi oleh Riri Riza lewat bagaimana karakter-karakter menampakkan diri di kamera. Dilema Athirah sebagai seorang karakter di dalam film, --bahkan sosok penting di dunia nyata --ini berusaha membangun relasi dengan penontonnya. Cara Riri Riza dalam membangun intimasi itu adalah dengan memperlihatkan raut mukanya lewat pencahayaan dan pengambilan gambar yang tepat. Maka, penonton akan dapat mengidentifikasi tujuan dari Riri Riza di dalam film ‘Athirah’ mengenai sosok Athirah itu sendiri. Penonton berusaha berkoneksi dengan Athirah yang sedang berusaha membicarakan posisinya di bumi ini.


Riri Riza berusaha membangun pesan non verbal yang masih mempunyai sisi naratif yang luar biasa unik, berbeda dengan beberapa film yang berusaha penuh metafora lainnya. Athirah memang tak menyampaikan pesannya terlalu gamblang, tetapi masih punya cara dan Riri Riza tahu akan kewajibannya untuk menuntun penontonnya mendapatkan pesan tersebut. Masih ada sebuah plot linear yang ada di dalam Athirah sehingga penonton merasakan sebuah transisi yang terjadi di dalam para karakternya.

Tak perlu dialog yang berakumulasi, nyatanya film Athirah mampu memberikan sebuah permainan emosi yang Indah sebagai sebuah film biografi. Film Athirah bermain secara visual dengan transisi seperlunya yang dapat menimbulkan sebuah kontemplasi yang tak manipulatif. Penyampaian pesan yang dapat diterima secara luas adalah prinsip yang masih dipegang teguh oleh Riri Riza, sehingga film Athirah tak melupakan kewajibannya sebagai pembuat pesan dibalik idealisme miliknya saat mengemas pesan ini sendiri. 


Riri Riza tak perlu berusaha keras menjadikan filmnya sebuah film biografi inspiratif, tetapi tujuannya adalah untuk membangun ‘Athirah’ mendapat atensi secara visual. Tak perlu terlalu bar bar menunjukkan superioritas akan berbagai ilmu dan teori, ‘Athirah’ adalah sebuah pesan universal untuk mempertanyakan posisi perempuan Indonesia masa kini saat menyampaikan sebuah opini. Meski ‘Athirah’ minim akan  pesannya secara verbal, ini adalah kekuatan dari filnya sendiri. Masih ada kewajiban Riri Riza untuk menyampaikan pesan kepada penontonnya dengan caranya sendiri. Bukan hanya sekedar kontemplasi yang manipulatif atau terkesan seperti cerita fiksi, tetapi ada cara sendiri lewat personifikasi yang tampil penuh akan urgensi, relevansi, dan intimasi yang hadir memikat penontonnya.  
 

1 komentar: