Senin, 07 Mei 2018

ANANTA (2018) REVIEW : Kisah Manis Yang Tak Biasa

 
Setelah terus-terusan menjadi ratu drama dari Screenplay Films, Michelle Ziudith akhirnya memiliki kesempatan untuk mengeksplor dirinya di bawah naungan MD Pictures. Begitu pula dengan Risa Sarasvati yang juga berusaha mengeksplorasi genre adaptasi bukunya dari cerita horor ke cerita drama romantis. Kesuksesan Risa Sarasvati dengan MD Pictures lewat Danur, tentu dengan mudah MD Pictures percaya dengan karya-karya yang dihasilkan lewat bukunya.

Ananta, sebuah karya romantis milik Risa Sarasvati yang diadaptasi oleh MD Pictures yang dipercayakan proyeknya kepada Rizki Balki. Sebagai sutradara, Rizki Balki sudah pernah menangani film drama remaja milik MD Pictures juga berjudul Beauty And The Best. Ananta tentu sangat bertumpu dengan kehadiran wajah Michelle Ziudith yang sudah berpengalaman dengan film-film serupa dan didampingi dengan Fero Walandouw dan juga Nino Fernandez.

Alim Sudio berperan untuk mengadaptasi tulisan buku milik Risa Sarasvati ke dalam sebuah naskah. Dirinya juga sudah berpengalaman dalam mengadaptasi buku-buku remaja serupa lewat film A : Aku, Benci, Cinta. Lewat film Ananta, naskah adaptasi yang dilakukan oleh Alim Sudio berhasil menjadi poin utama di dalam filmnya yang berdurasi 90 menit. Dengan adanya hal tersebut, Ananta berhasil menjadi sebuah sajian film drama romantis Indonesia yang manis untuk disaksikan.


Menceritakan tentang Tania (Michelle Ziudith), seorang remaja perempuan yang sering dianggap aneh oleh teman-temannya karena dirinya yang sangat anti sosial. Meski begitu, Tania mempunyai bakat menggambar yang sangat luar biasa. Dengan menggambar itulah, Ananta bisa bertahan karena dirinya terserap oleh dunia yang dibuatnya sendiri. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan sosok yang bisa membuatnya mau untuk mengenal dunia sekitarnya.

Sosok itu adalah seorang laki-laki bernama Ananta Prahadi (Fero Walandouw). Dia adalah anak baru di sekolah Tania dan tak sengaja bertemu di ruang guru kala itu. Ananta berusaha mendekati Tania yang sangat tak mau untuk berinteraksi dengan orang lain. Ananta menemukan kelemahan Tania yang tak tahan dengan menu nasi kerak dan obrolan tentang lukisannya. Semenjak itulah, Ananta dan Tania menjadi dekat satu sama lain.


Sebagai sebuah film drama romantis Indonesia, Ananta memang masih terjebak dengan segala tanda yang bisa dikategorikan sama dengan film-film serupa. Membahas tentang kehilangan yang dikemas dengan cara yang sama dan tak bisa menjadi sesuatu yang segar di dalam genrenya. Tetapi secara mengejutkan, dibalik caranya yang sama dalam mengemas dan menceritakan hal tersebut, Ananta berhasil menunjukkan performanya yang pas sehingga film ini masih sangat bisa dinikmati dibanding dengan film-film serupa.

Naskah adaptasinya adalah bintang utama dari film Ananta ini sendiri. Naskah milik Alim Sudio berhasil menangkap ceritanya yang awalnya mendayu-dayu tetapi berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tetapi, tak lupa untuk tetap tahu menempatkan momen-momen romantis yang bisa membawa perasaan penontonnya selama 90 menit. Sayangnya, Rizki Balki tak berusaha untuk memberikan sesuatu yang lebih agar Ananta bisa menggali perasaan penontonnya lebih dalam lagi.

Ananta memiliki beberapa karakter yang bisa memberikan rasa keterikatan yang bisa lebih kuat lagi kepada penontonnya. Sayangnya, Rizki Balki nampak masih malu untuk mengenalkan karakter-karakter lainnya dengan lebih baik. Sehingga, Ananta mungkin memiliki linimasa yang cukup melompat dari satu adegan ke adegan lainnya. Rizki Balki nampaknya tahu kapabilitasnya sehingga dengan menuturkan cerita utama dari film ini akan jauh lebih bijaksana dibanding berusaha keras untuk mengatasi hal lainnya.


Kesederhanaan tujuan dari Rizki Balki inilah yang ternyata membuat film Ananta punya porsinya yang sangat pas untuk bisa dinikmati oleh segmentasi penontonnya. Rizki Balki mampu menghadirkan suasana mendayu yang mendukung keromantisan yang ada di film Ananta. Tetapi, unsur komedi yang diselipkan di dalam naskahnya agar film Ananta tetap bisa menghibur juga masih mampu ditranslasikan dengan baik olehnya.

Bintang lain yang perlu disoroti di dalam film ini adalah penampilan dari Michelle Ziudith yang meskipun masih berkutat di genre serupa tetapi bisa memaksimalkan potensinya. Michelle Ziudith berhasil memerankan sosok Tania yang memang anti sosial lewat gerakan tubuh dan matanya yang sesuai dengan karakterisasi Tania sesungguhnya. Pun, mampu dengan sangat kuat membangun ikatan hubungan dengan lawan mainnya, Fero Walandouw.

Film Ananta bukanlah film pertama dari Fero Walandouw. Tetapi, performanya di dalam film Ananta ini membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi wajah baru yang sangat potensial di perfilman Indonesia. Ikatan yang terjalin begitu kuat antara Fero Walandouw dan Michelle Ziudith ini akan berdampak kepada penontonnya. Dengan begitu, suasana romantis, gemas, sekaligus sedih bisa dengan mudah tergambar dan dengan mudah membawa penonton hanyut ke dalamnya.


Meskipun, paruh ketiga di dalam film Ananta ini masih memiliki konklusi yang bisa membuat geleng kepala. Tetapi, film Ananta ditutup dengan performa Michelle Ziudith yang sangat emosional serta epilog yang manis sehingga kekurangan tersebut mampu tertutupi dengan hal-hal terbaik di dalam filmnya. Pun, sepanjang film Ananta ini penonton juga sudah disuguhi dengan warna sinematografi yang pas dengan penuturan kisah Tania dan Ananta yang manis namun tak biasa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar