Minggu, 01 Juli 2018

DIMSUM MARTABAK (2018) REVIEW : Kisah Upik Abu Ala Televisi


Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret, hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi baru.

Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan genre yang sama. Dimsum Martabak, judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan utama.

Dimsum Martabak adalah debut akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.


Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena dikira ingin merebut suaminya.

Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.


Ya, cerita dalam Dimsum Martabak memang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit. Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.

Dengan kisah segenerik ini, Dimsum Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.

Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu Ting-Ting.


Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja. Setelahnya, Dimsum Martabak penuh akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.

Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah  drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang juga semakin ajaib.

Belum lagi dengan pemilihan casting dan penyampaian komedi ala variety show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad. Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.


Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk target segmentasinya, Dimsum Martabak seharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi yang usang ditelan waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar