Sabtu, 21 Agustus 2021

LUCA (2021) REVIEW: A Heartwarming Friendship that Never End

Kompleksitas dalam menuturkan cerita dalam medium animasi sepertinya Sudah menjadi makanan sehari-hari dalam Pixar Animation Studios. Lihat saja, film rilisan tahun lalunya yang membahas dalam tentang jiwa-jiwa tersesat manusia lewat film Soul. Bahkan, Onward pun mencoba untuk menuturkan kisahnya yang kompleks tentang kehilangan dan merelakan orang yang disayang.


Maka dari itu, berbeda rasanya melihat Luca yang juga diproduksi oleh Disney’s Pixar Animation Studio ini. Kesan kompleksitasnya yang berkurang, membuat karya pertama dari Enrico Casarosa ini terasa berbeda dan indah dengan caranya sendiri. Luca ditulis oleh orang-orang dengan rekam jejak yang pernah menulis film-film persahabatan penuh hati seperti Jesse Andrews di film Me, Earl, and The Dying Girl. Pun, dengan Mike James yang pernah berurusan di film Soul.


Kisah persahabatan sederhana di dalam film Luca ini terjadi di sebuah kota Portorosso, Italia. Yang diambil dari kota kelahiran sang sutradara. Dengan opening di sebuah kapal, Luca akan terasa sangat familiar dengan film pendek La Luna yang juga pernah diarahkan oleh Enrico Casarosa sebagai film pendek pembuka film Brave. Begitu pula dengan desain karakternya.



Kembali ke filmnya, film ini berpusat pada Luca Paguro (Jacob Tremblay) seorang monster laut yang sedang hidup damai bersama keluarganya di dasar lautan. Tetapi, sebagai seseorang yang beranjak remaja, ada rasa penasaran yang muncul di dalam dirinya yang tentu saja akan bertentangan dengan keluarganya. Ya, apalagi kalo bukan mencoba untuk ke permukaan untuk merasakan indahnya dunia manusia.


Di sanalah dia bertemu dengan Alberto (Jack Dylan Grazer), sosok monster laut lain yang sudah terbiasa hidup di permukaan. Mereka berdua semakin akrab setiap harinya satu sama lain. Hingga suatu ketika, sang orang tua mengetahui kegiatan Luca yang selalu kabur ke permukaan dan dia pun harus dihukum untuk dibawa ke lautan paling dalam bersama sang paman. Tetapi, Luca memutuskan untuk melarikan diri ke dunia manusia bersama Alberto dan mencoba banyak hal baru.



Sebagai sebauh film yang berasal dari Pixar Animation Studios, terkadang mungkin mengharapkan kompleksitas serta berbagai alegori tentang dunia manusia dan dunia monster laut. Alih-alih menjelaskan segalanya, memang Enrico Casarosa lebih menekankan filmnya sebagai sebuah film tentang persahabatan antara ke dua tokoh utamanya. Kepolosan anak-anak yang ingin bebas, merasakan dan ekplorasi dunia baru berhasil tersampaikan di dalam karakter Luca dan Alberto.


Menonton Luca serasa sedang diajak untuk menyelami pemikiran anak-anak di usianya. Tak ada hal-hal pretensius dalam hidup mereka. Yang mereka tahu, mereka hanya menginginkan satu hal dalam hidupnya dan melakukan berbagai cara agar mereka bisa mendapatkannya. Persis seperti penggambaran Luca, karakter yang digubah oleh Enrico Casarosa, Jesse Andrews, dan Mike James.


Obsesinya terhadap sebuah benda bernama Vespa membawanya untuk menyelami konflik-konflik baru dalam hidupnya. Yang mana hal itu sekaligus mengembangkan karakternya hingga menjadi sosok yang lebih dewasa, sosok yang lebih mengerti tentang kemauannya. Bagaimana dia bersikap, bagaimana menentukan pilihan, dan hal itu berhasil sekali ditampilkan oleh Enrico saat mengarahkan filmnya. Sehingga, penonton pun bisa merasakan segala perubahan sikap yang dialami oleh Luca bahkan juga Alberto.



Keduanya yang memiliki konflik batinnya sendiri. Mereka menemukan satu sama lain dan berkembang menjadi sosok yang tak pernah tahu sebelumnya. Hal inilah yang membuat mereka semakin dekat. Merasa tak ingin kehilangan satu sama lain yang menyebabkan konflik di dalam filmnya pun semakin rumit tetapi tak kehilangan ruang untuk menyelesaikannya dengan cara yang pas. Sehingga, ketika penonton sudah berhasil terikat secara emosional dengan kedua karakternya. Adegan ending itu akan dengan mudah memporakporandakan hati penontonnya. 


Meski dengan konfliknya yang terlihat sederhana, alegori-alegori yang ditampilkan di dalam film ini tak main-main rasanya. Tentang bagaimana manusia tanpa adanya kemanusiaan di dalam dirinya ini adalah monster sesungguhnya di dalam kehidupan nyata. Mereka bisa saja berperilaku jahat kepada siapa saja tanpa memandang bulu. Yang penting, mereka sudah kenyang memberi makan egonya.


Tetapi, Luca juga berusaha untuk menggarisbawahi tentang bagaimana seseorang yang terkadang lupa untuk menunjukkan jati dirinya. Warna-warna di dalam dirinya yang mungkin saja berbeda dengan orang-orang sekitar dan Mereka kira itu adalah kekurangan. Tak salah bila beberapa orang dengan referensi yang jauh lebih luas, mengartikan film ini sebagai representasi tentang isu seksualitas di dalam karakternya. A monster that coming out of water, to finally know about who they are.



Term ‘coming out’ yang biasa didengarkan sebagai cara grup tertentu untuk mengungkap seksualitasnya ini. Entah apa yang berusaha disampaikan oleh sutradaranya, tapi karakter Luca dan Alberto ini multitafsir bagi penontonnya. Tapi, selama menonton Luca, nikmatilah. Segala perpaduan indah antara gambar, warna, hingga konfliknya yang ringan tapi tak meninggalkan hati yang besar di dalamnya. Bahkan, scoring untuk mendukung adegannya juga Indah sekali.


Yah, kalo udah sayang sama kedua karakternya, sarannya cuma siapin tisu aja di akhir filmnya. Bisa saja kamu menangis bahagia seusai menontonnya dan ingin segera menghubungi Sahabat terdekatmu untuk sekedar bercerita meski belum bisa bersua.



1 komentar:

  1. jaman sekarang apa-apa arahnya ke situ tuh [diversity, coming out, bla bla]...tak terbayang jika Fox and the Hound rilis tahun 2021, mungkin interpretasi cocokloginya lebih liar lagi wkwkwk

    BalasHapus