Jumat, 23 September 2022

NOKTAH MERAH PERKAWINAN (2022) Esai: Proses Menemukan Kesepakatan dalam Pernikahan dan Polemiknya


Perkawinan —atau biasa dikenal sebagai pernikahan —dalam undang-undang biasa diartikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Dan dalam pengesahannya pun, dua pihak baik laki-laki atau perempuan memiliki persetujuan dengan sadar untuk membinanya. Lantas, kenapa perkawinan sering kali dibebankan lebih besar kepada perempuan? 


Lagi-lagi perempuan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga keutuhan keluarga. Lagi-lagi perilaku perempuan lah yang menjadi dasar utama sebuah keluarga itu harmonis atau tidak. Dan hal itu, terjadi dalam sebuah film adaptasi bebas dari sinema elektronik yang mahsyur pada zamannya, Noktah Merah Perkawinan. 


Kali ini bukan Ayu Azhari dan Cok Simbara, melainkan pion utamanya beralih ke Marsha Timothy dan juga Oka Antara. Memerankan karakter yang sama, tapi kisah utamanya masih memiliki premis yang sama. Ya, sama-sama mengulik kisah domestik yang pada zaman itu menjadi problematik tapi hingga di saat ini hal itu masih juga menjadi polemik.



Bersama dengan Sabrina Rochelle Kalangie, sutradara perempuan yang membuat Noktah Merah Perkawinan ini tentu akan menarik untuk dikulik. Akan disematkan beberapa hal-hal kecil dalam ranah milik perempuan ini yang jauh lebih rinci. Yang mungkin tak akan ditemui di film dengan tema sama dengan pengarahan dari laki-laki.


Kali ini, beban akan keutuhan sebuah perkawinan jatuh kepada Ambar (Marsha Timothy). Di awal film pun, sudah diberitahu bahwa ada jarak antara dirinya dengan Gilang (Oka Antara) sebagai suaminya. Iya, Kehidupan perkawinan mereka sedang tidak baik-baik saja. Ada satu pertengkaran besar kata mereka yang membuat ada kerenggangan dalam hubungannya. Tapi, sebetulnya, begitulah dinamika sebuah pasangan. Pasang surut emosinya terkadang bisa terjadi kapan saja.


Tetapi, bukannya hubungan mereka membaik setelah berjalannya durasi. Malah, sebuah problematika hadir dalam hidup mereka. Bukan orang ketiga sebenarnya, tetapi ada orang yang jatuh cinta dengan orang yang salah. Yulinar (Sheila Dara Aisha), sosok perempuan yang sedang melihat indahnya sosok Gilang di matanya. Membuatnya kagum dan diam-diam memendam rasa. Meskipun, dirinya sebenarnya juga sudah ada yang punya. 



Menarik bagaimana Sabrina Rochelle Kalangie pintar betul meyakinkan penontonnya bahwa Gilang dan Ambar selalu memiliki jarak di antara keduanya. Mise en-scene perdebatan kecilnya di halaman belakang. Memperlihatkan bagaimana ada sekat saat mereka sedang saling berargumen. Seakan memberikan penjelasan bahwa Gilang dan Ambar memang sedang sudah di dunia yang berbeda. Ketimpangan warna grading film di antara mereka berdua pun seakan mendukung suasana renggangnya.


Juga, bagaimana adegan perdebatan setelah Gilang dari kamar mandi dalam kamarnya bersama Ambar juga ditangkap dengan jarak yang semakin jelas. Dalam adegan ini juga memiliki dialog penting. Tentang bagaimana Ambar berusaha keras untuk mencari akar permasalahan dari pernikahannya yang mulai retak. Serta, Gilang yang mencari cara instan agar pernikahannya bisa kembali erat. Di sinilah, proses Gilang dan Ambar untuk menemukan kembali kesepakatan tentang pernikahan mereka yang di ambang batas. 



Tentang bagaimana perkawinan dan martabat perempuan di mata banyak orang. 


Ambar menjadi satu-satunya orang yang berjuang —setidaknya itu menurut dia di dalam berbagai dialognya —untuk menjaga keutuhan keluarganya bersama Gilang. Bagaimana Ambar yang harus menyusun jadwal untuk pergi ke konselor pernikahan. Bagaimana Ambar juga yang selalu berusaha memulai duluan untuk membahas masalah yang sudah berlarut-larut hadir di antara mereka berdua dan Gilang yang selalu menjauhi masalah itu datang tanpa membawa solusi. 


Narasi Titien Wattimena dalam naskah adaptasinya ini membawa penonton untuk ikut menyelami konflik di mana Ambar lah yang memegang kendali. Meskipun, sebenarnya kisah ini dimulai dari sosok Yulinar yang sedang menceritakan apa yang dirasakan kepada kerabatnya. Dengan narasi ini, penonton pun akan ikut merasakan bagaimana perjuangan Ambar yang berusaha melakukan rekonsiliasi atas hubungannya dengan Gilang.


Titien Wattimena dan Sabrina Rochelle Kalangie sepertinya tahu dalam realitanya bahwa, dalam sebuah pernikahan, perempuan lah yang disorot lebih. Sehingga dalam naskah yang ditulis dan pengarahannya, ‘bahasa’ film Noktah Merah Perkawinan yang muncul adalah dominasi narasi dari Ambar, seorang perempuan yang sedang berjuang demi kelangsungan keluarganya. Ambar seakan menjaga martabatnya sebagai seorang perempuan seutuhnya lewat pernikahan miliknya.



Asumsi ini pun semakin diperjelas lewat adegan yang melibatkan Ambar dan mertuanya yang datang ke rumahnya membawa makanan. 


“Ini anaknya jadi gak nurut begini pasti karena didikan Ibunya juga gak bener.” Begitu kata sang mertua menyerang Ambar. Lagi-lagi urusan domestik tentang mengurus anak juga menjadi tanggung jawab Ambar sebagai Istri dan perempuan. Yang mana dalam proses pembuatannya pun, laki-laki juga ikut andil dan setuju untuk memiliki anak. Seakan-akan tugas seorang istri ya semua berkaitan dengan keluarganya. Dari meneruskan keturunan hingga hal-hal tentang rumah tangganya agar tetap berkesinambungan.


Dengan adanya paradigma tentang istri itu, Ambar menjadi lupa bahwa dalam sebuah hubungan atau perkawinan itu tak selalu tentang dirinya. Ada persetujuannya dengan Gilang untuk membina keluarganya untuk bisa berjalan lebih baik ke depannya. Gilang memang digambarkan sebagai sosok yang selalu menjauhi konflik dalam pernikahannya. Gilang adalah orang yang tak bisa mengungkapkan perasaannya. Tetapi, karakter Gilang ini sebenarnya adalah bentukan dari kultur sosial tentang bagaimana suami seharusnya bersikap. 


Adanya paradigma yang menjadi budaya dalam mengartikan sosok Suami sebagai kepala keluarga dan kodrat-kodratnya.


Terkadang peran laki-laki dalam sebuah pernikahan membuat dirinya dituntun —atau bahkan dipaksa —untuk selalu mendominasi perempuan di dalam perkawinannya. Suami dipaksa untuk selalu punya keputusan dalam segala konfliknya. Begitu pula dengan Gilang di film Noktah Merah Perkawinan ini. Dasar utama konflik film ini pun hadir dari bagaimana keputusan Gilang untuk membantu mertuanya tanpa ada kesepakatannya bersama Ambar.


Kesalahan dalam mengambil keputusan ini pun membuat Gilang goyah. Dia pun semakin berhati-hati untuk tak lagi mengambil keputusan yang dia yakini benar. Maka, dia berusaha untuk memuaskan apa yang dimau oleh Ambar sebagai Istrinya dan tak memikirkan apakah keputusan itu juga menguntungkan baginya. Gilang lalai untuk memanusiakan Ambar sebagai istrinya yang juga memiliki kehidupan, memiliki hal lain yang perlu diselesaikan.


Bahkan, hal-hal kecil seperti membuang sampah ketika minuman sudah habis. Menaruh handuk basah ke tempat cucian kotor, hingga menutup kloset ketika selesai digunakan pun harus Ambar yang mengerjakan. Lagi-lagi perempuan lah yang mengurusi hal-hal kecil dalam ranah domestik. Bahkan, Ambar melakukan hal-hal itu di tengah-tengah perdebatan kencangnya bersama Gilang. Dalam Perkawinan milik Ambar dan Gilang, seakan-akan muncul diferensiasi tugas antara laki-laki dan perempuan.



Maka hadirlah mise en-scene di dapur rumah mereka yang sekaligus menjadi klimaks dari film ini. Segala hal-hal yang tak dikomunikasikan, hal-hal yang tak disepakati dalam rumah tangga mereka berdua, tumpah ruah. Sensitivitas Sabrina Rochelle Kalangie di dalam mengarahkan adegan ini memang patut untuk diapresiasi. Tentu adegan ini berhasil memainkan emosi penontonnya. Menjadi showcase bagi ke dua pemainnya untuk bisa menunjukkan performa akting yang luar biasa. 


Sekaligus, adegan ini muncul untuk memberitahu bahwa dalam pertengkaran hebat ini adalah tempat pasangan mengeluarkan keluh kesah dengan sejujur-jujurnya. Inilah proses rekonsiliasi yang sebenarnya. Ada usaha negosiasi untuk bisa bersatu kembali meski tenaga terkuras habis dan perlu waktu lama lagi untuk bisa menemukan kesepakatan bersama lagi. Ambar dan Gilang berusaha menyampaikan segala argumennya sesuai dengan sudut pandang masing-masing.


Ambar lewat dialognya yang selalu menganggap dirinya lah yang selalu berusaha menyatukan kepingan-kepingan rumah tangganya yang mulai retak. Lewat dialognya “Kita… Aku lagi berusaha memperbaiki semuanya.” milik Ambar yang dilafalkan oleh Marsha Timothy ini menjadi satu perubahan kecil yang menarik untuk disimak sekaligus mengamini bahwa perempuan lah yang berusaha keras memperbaiki keluarganya.



Tetapi, lagi-lagi Ambar yang mendominasi pertengkaran. Dirinya lupa bahwa Gilang juga sedang memberikan klarifikasinya tentang apa yang dia rasa. Ambar sebagai Istri lupa bahwa sebenarnya Gilang hanyalah laki-laki, seorang manusia yang butuh untuk didengarkan. Dan adegan di dapur ini adalah tempat bagi mereka untuk saling didengarkan. Saling diuji untuk bisa saling percaya satu sama lain. Hingga penyelesaiannya dalam adegan di ruang sidang itu hadir untuk meyakinkan satu sama lain. Apa alasan mereka akhirnya sepakat untuk menjalani rumah tangganya.


Lewat Noktah Merah Perkawinan, Sabrina Rochelle Kalangie ingin memberikan pesan bahwa pernikahan ini tak hanya istri yang mengemban tanggung jawab besar untuk mempertahankan. Tetapi juga bagaimana laki-laki juga harus mengambil peran. Bukan sekadar memutuskan segalanya sendiri, tetapi juga perlu adanya proses komunikasi hingga akhirnya bisa menemukan kesepakatan sesuai dengan arti perkawinan itu sendiri. Tonton dan buktikan sendiri untuk bisa jadi bahan refleksi. Salah satu film Indonesia terbaik tahun ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar