Kisah-kisah dongeng legendaris di perfilman hollywood saat ini mulai
berkembang. Menggunakan kisah dongeng tersebut sebagai dasar untuk diceritakan
kembali dengan konten yang tak jauh beda
dengan sumber aslinya tetapi dipresentasikan berbeda. Banyak
dongeng-dongeng yang diceritakan ulang dengan membuat kisah dongeng tersebut
lebih kelam. Serta, mengulik sisi lain dari dongeng legendaris untuk membuatnya
lebih menarik.
Penceritaan kembali sebuah dongeng ke media film ini pun mendapat
sambutan beragam. Meskipun sebagian besar kritikus banyak sekali yang tidak
menyukai adanya reka ulang dongeng dengan cerita yang dibuat kelam ataupun yang
lain. Tetapi, perfilman hollywood masih belum saja jera. Disney, rumah produksi tempat dongeng-dongeng itu lahir, kali ini
menggarap film untuk menceritakan sisi lain dari villain dari sumber dongeng ‘Sleeping
Beauty’ yang bernama Maleficent.
Maleficent adalah sosok penyihir dari dongeng Sleeping Beauty yang legendaris. Disney mempercayakan proyek ini
kepada Rober Stromberg sebagai sutradara. Ini adalah kali pertama dirinya untuk
menangani sebuah film. Dia biasa menangani art design dan production design
sebuah film. Pun, pernah menangani film prekuel Oz, The Great and Powerful dan Alice
in Wonderland yang notabene adalah film-film produksi Disney.
Maleficent pun digunakan sebagai judul untuk re-telling Sleeping
Beauty fairy tale. Menceritakan Young Maleficent (Isobelle Molloy), seorang
peri yang baik hati yang tiba-tiba bertemu dengan Young Stefan (Michael
Higgins), pemuda yang saat itu mencuri berlian milik dunia peri atau Moors.
Tiba-tiba mereka pun jatuh cinta hingga mereka berumur 16 tahun dan Stefan
menjanjikan sebuah ciuman cinta sejati.
Di saat mereka sudah tumbuh dewasa, Moors di serang oleh kerajaan yang
berada di dekat Moors. Ternyata, kerajaan itu memiliki penerus yaitu Stefan
dewasa (Sharlto Copley) dan mengkhianati Maleficent (Angelina Jolie) serta
mencuri sayap miliknya. Maleficent pun marah dan membalaskan dendamnya dengan
cara memberikan kutukan pada anaknya, Putri Aurora (Elle Fanning) di saat
umurnya 16 tahun nanti dirinya akan tertidur layaknya orang mati hingga ciuman
cinta sejati membangunkan Putri Aurora.
Visually beautiful, but not for the re-telling Sleeping Beauty universe.
Sudah banyak film-film yang mengadaptasi bebas dongeng-dongeng
legendaris untuk membuatnya menjadi presentasi yang lebih dewasa dan lebih
kelam. Ambil saja contoh Snow White &
The Huntsman ataupun Hansel & Gretel
: Witch Hunter. Pun dua-duanya mendapat kritik beragam malah dominan kritik
negatif mengarah kepada mereka. Tetapi berbeda dengan Maleficent milik Disney
ini. Memang, Maleficent tetap mengembangkan atau menceritakan ulang dongeng
putri tidur yang legendaris dengan point of view yang berbeda.
Uniknya, Maleficent membuat dongeng Sleeping Beauty ini bukan hanya sekedar menceritakan ulang yang
sudah ada, tetapi membuat cerita yang ada memiliki ruang lingkup yang lebih
luas. Menceritakan sisi lain dari villain utama dari dongeng tersebut,
menceritakan apa yang membuat Maleficent melakukan hal jahat tersebut. Its good reason to make a movie about a
villain, but does it really work and worth to be told again in a movie?
Jika jawabannya ada di Robert Stromberg’s Maleficent maka bisa
dibilang tidak. Bagi yang sudah menyaksikan Sleeping Beauty dan menonton film
ini mungkin akan berpikir bahwa apa yang mereka lakukan terhadap sosok Maleficent
ini akan menjadi aneh. Mereka membangun sebuah image baru untuk sosok
Maleficent dan malah akan membuatnya aneh. Bagus seharusnya untuk menceritakan
sudut pandang lain dari Sleeping Beauty di mata Maleficent and at some point for people who doesn’t connected-well with Sleeping
Beauty fairy tale, it will be okay with that.
Dengan durasinya yang ternyata hanya 90 menit, Robert Stromberg pun
masih kurang memiliki directing yang
kuat untuk Maleficent. Film miliknya pun jatuh menjadi sebuah sajian yang
kurang memiliki ‘bumbu’ yang kuat.
Maleficent masih kurang bisa memikat penontonnya dengan baik karena cerita yang
ada pun jatuhnya hambar. Akhirnya pembangunan image baru untuk Maleficent pun belum bisa menggantikan image Maleficent yang lama.
Cerita dalam Maleficent terlihat disajikan apa adanya. Tidak ada rasa
klimaks yang benar-benar kuat meskipun di third
act film ini yang harusnya menjadi penutup yang kuat pun terasa biasa saja.
Semua mengalir begitu saja tanpa ada rasa yang kuat untuk mewarnai film
Maleficent. Sebagai film debut-nya, Robert Stromberg akan menambah Maleficent
ke dalam daftar film-film adaptasi bebas dari sebuah dongeng legendaris yang
kurang tertangani dengan baik.
Tetapi, Robert Stromberg masih terlihat memperhatikan betul apa yang
biasa dia lakukan di film Oz, Great And
Powerful dan Alice In Wonderland.
Visual-visual dunia moors masih dipresentasikan dengan begitu indah dan
berkelas seperti biasanya. Belum lagi production
value lain yang juga tidak digarap sembarangan di film Maleficent.
Setidaknya segi teknis ini masih bisa memanjakan mata penontonnya yang merasa
kecewa dengan cerita di film ini.
Poin lain juga berada di segi aktrisnya, the stunning and beautiful
actress, Angelina Jolie. Sudah dari awal, Maleficent mengeksploitasi
habis-habisan sinar milik Angelina Jolie sebagai daya tariknya. Angelina Jolie
pun tampil dengan baik dan begitu wicked,
pas untuk karakter Maleficent. Dan Robert Stromberg tahu benar untuk
memancarkan kecantikan Angelina Jolie di layar lebar. Belum lagi ada Elle
Fanning yang juga tampil cantik dan anggun di film ini.
Overall, Maleficent adalah
sebuah film untuk membangun image baru untuk karakter Maleficent. Mungkin bagi
yang sudah dekat dengan dongeng putri tidur, image baru ini akan cukup
menganggu. Tetapi bagi yang tidak, mungkin akan biasa saja. Visual yang
disajikan masih indah meskipun Robert Stromberg pun masih kurang mengarahkan
filmnya menjadi film debut-nya yang kuat. Well,
better try next time.
Maleficent pun dirilis dalam format 3D. Berikut review-nya
DEPTH
Kedalaman yang begitu luar biasa dan khas film-film Disney yang
ditampilkan dalam format 3D. Akan merasakan film Maleficent layaknya di negeri
dongeng
POP OUT
Akan ada beberapa asap dan percikan api yang akan menyapa mata
penontonnya. Sisanya? Tidak ada lagi.
Menyaksikan film ini dalam format 3D akan merasakan sensasi kedalaman
yang begitu luar biasa yang akan membuat kita merasa di dalam dunia dongeng. Tetapi,
penonton 3D awam akan menunggu efek Pop
Out yang mungkin akan mengecewakan mereka. Sehingga menyaksikan dalam
format 2D pun tak masalah. Decide it by
yourself, then.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar