Tahun ini, negara Indonesia boleh berbangga dari dunia perfilman. 2
film milik Indonesia mendapat kesempatan untuk menjadi Official Selection dalam festival film bergengsi yaitu Sundance Film Festival. Dari satu studio
yang sama, dua film itu adalah The Raid 2
: Berandal dan juga Killlers yang
mendapat kesempatan emas tersebut. Setelah pemutaran perdana di ajang tersebut,
kedua film itu mendapat berbagai sambutan beragam.
Killers, mendapat slot
tayang terlebih dulu dari The Raid 2 :
Berandal. Sebuah film dari sutradara yang pernah menangani film thriller, Rumah Dara ini mencoba untuk memberikan pendekatan berbeda untuk
filmnya kali ini. Tetap mengusung genre
thriller, tetapi, Killers lebih mengarah kepada psychological thriller daripada sebuah thriller penuh dengan adegan-adegan sadis dan darah-darah yang
bertebaran dimana-mana.
Menggunakan dua karakter dengan setting tempat yang berbeda di film
ini. Nomura Shihei (Kazuki Kitamura), eksekutif muda yang memiliki sifat
psikopat. Membunuh adalah salah satu kegiatan favoritnya. Membunuh banyak
wanita muda yang baru ia kenal dan memposting video dirinya sedang melakukan
kegiatan tersebut ke internet.
Di lain tempat, Bayu (Oka Antara), seorang jurnalis yang sering
berjuang keras dan mencoba untuk bertahan dalam pekerjaannya. Mengulik kasus
korupsi milik Dharma (Ray Sahetapy) yang tidak sengaja malah mengancam nyawanya
dan keluarganya. Hingga suatu ketika, Bayu tidak sengaja membunuh seseorang,
merekam kejadian itu, dan mengunggahnya ke internet. Dari hal itulah, Bayu dan
Nomura bertemu dan menganggap diri mereka sama.
Take the test from The Mo Brothers for your healthy mind
Film thriller di kancah
perfilman Indonesia sangatlah jarang. Mungkin ada, tetapi yang digarap dengan
sepenuh hati dan dengan niat penuh sangat bisa dihitung jari. Salah satunya,
sutradara gila milik negara Indonesia, The Mo Brothers menjadi penyumbang film
thriller yang digarap dengan niat dan sepenuh hati. Dirinya pun sudah mulai
dikenal di kancah Internasional. Segmen ‘Safe
Haven’ yang dimasukkan ke dalam omnibus horor V/H/S/2 menjadi salah satu segmen yang sangat impresif.
Tak salah, jika karya terbaru dari sutradara ini menjadi salah satu
film yang dinanti-nantikan oleh para penikmat film ataupun masyarakat pada
umumnya. Killers, jelas sudah memiliki momoknya sendiri. Terlebih, berita film
ini yang gempar dimana-mana ketika Killers ditunjuk menjadi salah satu film
yang diputar di ajang festival film bergengsi di kancah internasional. Daya
tarik utama yang bisa mengajak penonton untuk menyaksikan film ini.
Selain itu, The Mo Brothers terlihat memberikan pengaruh yang berbeda
di film Killers. Pengaruh tersebut akan terasa kita penonton menyaksikan film
ini. Menggunakan dua karakter utama sebagai pion yang dijalankan untuk membuat
interaksi yang cukup ‘menyakitkan’. Interaksi
itu terhubung langsung dengan kinerja otak yang mencoba menyerap segala tingkah
laku karakter utama yang terlihat ‘sakit’
dalam kehidupan sehari-harinya.
Di area itulah, The Mo Brothers mencoba untuk bermain-main. Pikiran
anda akan diajak untuk ikut berpikir gila layaknya dua psikopat di dalam film
ini. The Mo Brothers sangat berhasil mengantarkan atmosfir gelap. Mengarahkan
filmnya menjadi sebuah refleksi pikiran atau dunia dari kedua karakter yang
bisa dibilang memiliki mental illness,
menjadikan satu kegiatan yang tabu itu menjadi sebuah kegiatan yang sangat
lumrah untuk dilakukan dan disinilah pikiran anda akan diizinkan masuk ke dalam
pemikiran yang sama dengan karakter itu.
Apa yang berbeda dari Killers? Bagaimana film ini memiliki banyak
kedewasaan dalam bertutur dan memasukkan konflik filmnya. Mengangkat suatu isu
yang lebih personal dibanding dengan film-film sejenis. Di mana tema Keluarga
juga ikut disentil di dalam film ini dan pastinya dikemas dengan tutur yang
lebih gelap, ‘sakit’, dan beberapa
pesan yang dikemas dalam adegan yang penuh metafora serta elegan. The Mo
Brothers benar-benar brilian dalam mengarahkan film Killers ini menjadi thriller yang dengan gampang
mempengaruhi psikis setiap penontonnya.
Tetapi, bagaimana Killers masih terlihat kurang kuat di beberapa
bagian. Film ini terkesan menjadi film omnibus
dengan dua segmen yang berbeda, di mana Nomura memiliki cerita yang terbangun
sendiri, begitupun dengan Bayu juga memiliki ceritanya sendiri. Dua karakter
ini seperti memiliki satu benang merah yang terasa dipaksa. Plot holes, masih menjadi problema yang
tidak bisa dielakkan lagi dalam film ini karena masih ada beberapa ceritanya
yang dibiarkan begitu saja tanpa diulik lagi lebih dalam.
Dua karakter dengan dua setting tempat yang berbeda inilah yang
sepertinya membuyarkan fokusnya film ini dalam menyusun cerita. Berusaha untuk
membangun tensi dari kedua karakter dengan problema hidupnya dengan porsi yang
sama itu malah membuat filmnya menjadi terasa tanggung dalam membangun semua
tensi itu. Dengan kepribadian yang hampir berbeda satu sama lain, karakter itu tidak mampu blend satu sama lain. Satu kelemahan yang mempengaruhi performa yang dari film
Killers, apalagi bagi yang sudah memberikan ekspektasi tinggi. Benar-benar membuat cerita film ini terpecah belah menjadi dua bagian yang berbeda treatment.
Well, abaikan beberapa minor
itu karena bagaimana The Mo Brothers masih memiliki detil menarik untuk
mengangkat ‘sakit’ yang akan
menganggu pikiran penontonnya. Salah satunya adalah Scoring. Disinilah, satu detil menarik yang benar-benar bisa
dirasakan dengan indah. Scoring dengan nuansa lembut dengan balutan yang lebih gloomy ini mampu mengangkat atmosfir
yang akan menganggu sisi psikis penontonnya.
Serta bagaimana The Mo Brothers selalu membalut adegan eksekusi atau
kegiatan membunuh itu dengan lagu-lagu lembut yang tentunya membuat adegan sadis
itu menjadi satu sajian indah dan puitis yang pasti akan mengusik sifat
psikopat di setiap individu para penonton. Akhirnya kegiatan membunuh itu
menjadi salah satu kegiatan paling romantis yang pernah disaksikan oleh semua
orang seumur hidupnya. Well done, The Mo
Brothers !
Meskipun di beberapa bagian memberikan performa yang kadang over reacted, Oka Antara patut diacungi
jempol dan mampu mengeluarkan sisi psikopatnya dengan sangat baik. Dirinya
berhasil membangun hubungan ayah-anak dengan baik. Memberikan keterikatan yang
menarik sehingga penonton akan mampu terbawa ke dalam sisi sentimentilnya. Well, its a very deep dad-daughter bond, it
goes good.
Overall, Killers adalah
salah satu pencapaian luar biasa bagi film Indonesia. Dimana The Mo Brothers,
mampu keluar dari zona aman dalam perfilman indonesia dengan memberikan
genre-genre yang masih bisa dibilang langka di perfilman Indonesia. Beberapa
bagian mungkin masih terasa tanggung dan beberapa plot holes yang tersebar
dimana-mana. Tetapi, Killlers adalah salah satu psychological thriller yang
sangat berhasil mengusik psikis penontonnya. Well Done !
Pas keluar dari bioskop, semua penonton berubah jadi psikopat. Kekekek.. Jujur ane lebih suka film begini ketimbang The Raid, walaupun keren juga sih.
BalasHapusNice review gan! :D
''o'o'o'op'
BalasHapusDengan masuknya film Killers keajang bergengsi seperti Sundance telah membuat saya membangun ekspektasi yang tinggi untuk film ini. Sayangnya ekspektasi yang saya harapkan bisa saya dapat, tidak dapat dipuaskan oleh Killers, dan saya yakin banyak orang yang merasakan hal ini.
BalasHapusThe Mo Brothers perlu saya kasih jempol terutama untuk Timo Tjahjanto yang berani mengambil route berbeda selepas Rumah Dara (Macabre). Jika Rumah Dara hanya terlihat seperti homage untuk film-film seperti Texas Chainsaw Massacre dari segi plot, dalam Killers, Timo terlihat berusaha keras untuk membuat script yang lebih berbobot. Tapi duet screenwriters Timo dan Takuji Ushiyama tak mampu mempertemukan koneksi yang kuat antara dua tokoh utama: Bayu dan Nomura. Setuju dengan orinigal post, terasa sedikit dipaksakan. Kedua karakter seperti ditulis oleh dua orang yang berbeda dan kedua penulis kesulitan mencari urat nadiyang menghubungkan karakter masing-masing. Diawal film tiba-tiba saja Bayu sedang menonton video pembunuhan yang di download oleh Nomura, seakan writers tidak merasa perlu menceritakan bagaimana Bayu menemukan "pasangannya" lewat internet. Dan bagaimana dengan video-video Nomura yang juga ditonton pengguna internet dibelahan dunia lain? Timo dan Takuji seakan menutup kemungkinan ini, okelah saya nurut saja.
Akting Kazuki Kitamura sebagai Nomura si pembunuh berdarah dingin tampil memukau dan meyakinkan. Begitu juga dengan Oka Antara sebagai Bayu, seorang jurnalis yang dilanda masalah keluarga dan juga karir. Tapi ketika Nomura dipukuli oleh Ahmed si germo, di scene ini Nomura si pembunuh sadis seperti 'out of his character', dia terlihat begitu lemah dan culun hingga membiarkan dirinya dipukuli. Namun di adegan lain dia digambarkan sebagai seorang kanibal yang memakan daging (terlihat seperti lidah manusia) dengan santainya. The Mo Brothers seperti terlihat bingung untuk menggambarkan detil karakter Nomura agar terlihat seperti psikopat yang sakit jiwa. Oka terlihat sangat tenggelam dalam karakternya, tapi dialog-dialog yang terucap darinya tetap terasa tidak real, apakah script nya yang tidak mampu menggambarkan dialog yang nyata seperti dialog sehari-hari, atau Oka yang tidak mampu men-delivernya agar terlihat natural?
Hal yang juga mengganjal di saya adalah backstory dibalik kisah kakak dan keluarga Nomura yang dituturkan secara sedikit-sedikit sepanjang film tanpa adanya penjelasan yang gamblang. I wait for the dots to be connected but it fails to happened. Ini mirip dengan alur film 'Oldboy' mengenai kakak Oh Dae Su, bedanya Oldboy memberikan full story mengenai masa lalu karakter Woo-Jin dengan clear dan brilliant, yang sayangnya tidak saya temukan dalam karakter Nomura, sehingga karakter Nomura terasa cetek.
Penggunaan scoring sangat membantu membangun adegan, untuk department ini saya sangat acungkan jempol karena membantu membangun ketegangan. Sinematografi pun dibangun apik oleh Unay, seapik tata lightingnya di film Modus Anomali walaupun kadang focus kurang terjaga dan over shaky di beberapa adegan.
Di akhir adegan saat klimaks, dimana adegan paling penting yang akan menutup film ini, penonton malah disuguhkan effect digital composite yang kacrut, yaitu pada saat Bayu tertembak di wajah dan pada saat Nomura dan Bayu terjatuh dari gedung. Tensi yang dibangun seakan buyar dengan sajian effect murahan, sangat disayangkan. Dibanding spesial effect adegan jatuh di film The Raid, Killers seperti menggunakan teknologi yang tertinggal 10 tahun.
Walaupun masih banyak yang bisa diimprove dari film ini, secara keseluruhan saya berikan film ini 6.8. Sebuah pencapaian baru untuk sinema Indonesia. Mudah-mudahan Mo Brothers bisa berkarya lebih baik lagi walaupun tampaknya kolaborasi mereka akan terpending untuk beberapa tahun kedepan. Kita tunggu saja 'The Night Come From Us' dari Timo, dan '24 Jam' dari Kimo!
Eh,,,, apa link untuk download...
BalasHapus