Viona (Atiqah Hashiholan) adalah
sesosok Gadis Bandung yang periang. Dia adalah lulusan Sarjana Desain Grafis
yang sangat mencintai negara Jepang. Hingga suatu ketika, Dia pun berkesempatan
untuk mengikuti sebuah program di kursus bahasa jepangnya. Dia pun ikut program
Belajar Sambil Arubaito (Bekerja) di Jepang. Viona sangat dekat sekali dengan
seorang lelaki bernama Hasan (Ario Bayu). Dia pun juga pergi mendahului Viona ke
Jepang untuk melunasi hutang-hutangnya.
Viona di Jepang pun ingin sekali
mencarinya. Sampai suatu ketika dia bertemu dengan Yamada (Joe Taslim). Mereka
pun bersama-sama mencari Hasan. Hingga suatu saat, mereka saling suka satu sama
lain. Yamada pun mencoba untuk melamar Viona. Tetapi, Viona ingin Yamada yang
berbeda keyakinan dengannya untuk menjadi seorang Mualaf agar mereka bisa
menikah.
Chessy-flick Love Triangle without power
La Tahzan adalah salah satu film
yang meramaikan Bioskop di Lebaran kali ini. Maka, tak ada salahnya jikalau
saya ingin juga mencicipi salah satu film Indonesia lainnya. Get Married 4,
menjadi sebuah tontonan yang sangat menghibur dan bagus. Moga Bunda Disayang
Allah, tak memiliki hal yang sama dengan Get Married 4. Maka bagaimana dengan
La Tahzan? Apakah bakal seburuk Moga Bunda Disayang Allah?
La Tahzan ditangani oleh
sineas-sineas yang notabene tak sembarangan di jagat perfilman dalam negri.
Danial Rifki, Sang Sutradara yang pernah menjadi pemenang penulis skenario
Terbaik FFI 2012 di film Tanah Surga, Katanya. La Tahzan menjadi debutnya
menjadi seorang Sutradara. Membuktikan dia memang berkompeten untuk membuat
sebuah film yang baik. Dengan dibawah naungan Falcon Pictures, Danial Rifki pun
diberi kepercayaan penuh untuk mengarahkan agar film ini bisa semanis film yang
pernah ditangani sebelumnya.
Tetapi, tangan-tangan yang sudah
berkompeten di bidangnya ini pun lantas akan membuat filmnya juga akan bagus.
La Tahzan, jauh dari kata itu. Film ini pun hanya menjadi sebuah film dengan
konflik yang begitu cheesy dan digarap dengan ala kadarnya. Jelas lah, film ini
pun jatuhnya predictable dengan banyaknya keajaiban yang non-sense yang
diselipkan di film ini. Ceritanya pun morat-marit dengan peng-karakterisasian
yang begitu komikal dan menganggu.
Penceritaan awal film ini pun
terkesan begitu dipercepat dan sangat terasa kacau balau. Banyak scene-scene
yang terasa sekali lompat-lompat kesana kemari tanpa ada pendalaman karakter
yang begitu jelas. Karakter Viona dan Hasan, yang menjadi pemeran utama pun tak
begitu digali dengan baik. Semuanya hanya dijelaskan dengan ala kadarnya.
Hingga akhirnya film ini pun jatuhnya hanya berkonsentrasi kepada cerita cinta
segitiga antara para karakter di film ini. Dan cerita cinta seperti itupun
sepertinya banyak sekali ditemukan di banyak film.
Bahkan pengkarakterisasian di
film ini juga tak sangat menganggu. Dan jelas, semakin memperparah film ini
yang sudah terlihat kacau balau dari awal filmnya. Karakter-karakter layaknya
Viona san Hasan, serta Yamada terlihat begitu banyak keajaiban di dalamnya. Maka
karakter yang begitu menganggu menurut saya adalah Viona. Dia terlihat begitu
kekanak-kanakan, berpura-pura lugu dan naif tetapi gagal. Jatuhnya malah
karakter ini begitu menganggu dan membuat saya tak bisa menikmati. Apalagi,
Viona adalah karakter utama. Jelas, penampilannya akan lebih sering di depan
layar.
Cerita-cerita dengan penuh
keajaiban di film ini pun tergolong sangat cheesy. Bagaimana tidak? Bagaimana
diceritakan seorang Viona bertemu dengan tidak sengaja di pinggir jalan yaitu
Yamada dan Yamada menjadi sesosok cowok idaman wanita yang begitu perfect.
Ganteng, Baik, Romantis, dan pintar memasak. Jelas disini, karakter Yamada akan
di eluh-eluhkan oleh banyak penonton wanita. Dan itulah yang coba dimanfaatkan
oleh film ini.
Suddenly, the religion theme come into this movie and distracting everything
Setelah berbagai perjalanan
panjang film ini. Saya begitu lelah dengan semua penceritaan,
karakter-karakternya yang menganggu. Tetapi, hal satu ini juga tak kalah menganggu.
Bagaimana peng-ekploitasian tema-tema religi yang coba sekali lagi coba
dihadirkan di film Indonesia tetapi gagal dan malah membuat film yang dibuat
tak mendapatkan sisi religi itu sendiri. Begitu lah La Tahzan. Setelah hampir
tiga perempat film, tak ada sama sekali menyinggung soal sisi agamanya. Tetapi
ketika menuju menit akhir. Tiba-tiba unsur agamis yang kental itu pun datang
seketika.
La Tahzan memang di rilis pada
momen Lebaran. Maka, tema yang pas untuk film itu adalah drama religi yang cukup.
Moga Bunda Disayang Allah, pun gagal total dalam mengolah sisi religi di dalam
filmnya. Dan begitulah yang juga terjadi di film La Tahzan. Unsur-unsur agama
itu pun datang dengan seenaknya saja. Masuk ke dalam konflik cinta segitiga
mereka yang cheesy itu. Film ini seolah hanya menjadikan sebuah tema religi ini
tempelan tanpa ada penanganan khusus di dalamnya. Nilai minus pun bertambah di
film ini dan semakin menyiksa saya saat menonton filmnya.
La Tahzan, membuat saya bersedih
saat menontonnya. Cerita cinta segitiga standar yang tak mau mau kemana dengan
penceritaan yang begitu kacau tanpa strengthness yang cukup. Belum lagi opening
film yang sudah disuguhkan di film ini dengan gaya yang cukup norak dan
pemilihan soundtrack yang tak bisa menyatu di dalam film ini. Yah,
soundtracknya cukup menganggu. Tidak bisa menyatu di dalam filmnya. Dan justru
sebuah tembang dari Uje yang berjudul Bidadari Surga ini mungkin hanya
dimanfaatkan untuk menarik perhatian calon penonton film ini.
Tak ada yang spesial dari segi
cast di film ini. Mereka layaknya membuang nama-nama terkenal dan berkompeten
di dunia akting di film ini. Karena nama-nama seperti Atiqah Hashiholan, Ario
Bayu, dan Joe Taslim pun bermain apik sesuai karakternya sebenarnya. Tapi,
karakter yang begitu dangkal itulah yang membuang semua sinar mereka. Sayang
sekali, mereka seperti tak bisa memperdalam kemampuan seni akting mereka dalam
film ini.
Atiqah Hashiholan pun bermain
cukup menganggu. Entah kemana kualitas aktingnya yang bagus itu. Dia hanya
memerankan sesosok Viona yang begitu kekanak-kanakan. Dengan suara yang
dibuat-buat serta menganggu. Begitu pula dengan Ario Bayu yang memerankan Hasan.
Ario Bayu tak lebih dari sesosok pemanis di film. Muncul tak seberapa sering
tetapi karakternya begitu krusial di film ini. Joe Taslim lah yang tampil cukup
menarik. Dengan logat Jepang yang cukup mengagumkan dia mampu menebarkan
pesonanya kepada setiap penonton wanitanya. Dan, Joe Taslim-lah penarik minat
penonton film ini.
Lantas, sinematografi yang cukup
bagus dalam menghasilkan shoot-shoot indah. Keindahan kota-kota jepang lah yang
setidaknya membuat saya cukup menikmati film ini. Tapi, mengesalkan di bagian
cerita-cerita yang coba dituturkan di film ini. Pengalaman pahit lainnya saat
ingin menikmati sebuah film Indonesia. Cerita dan karakter yang dipresentasikan
di film ini begitu gagal. Maka, keindahan kota Jepang pun tak berarti
menyelamatkan keseluruhan film ini. Tetap sebuah packaging yang gagal.
Overall, La Tahzan adalah sebuah
cerita cinta segitiga yang begitu cheesy. Beberapa ceritanya masih teramat
kacau dalam penuturannya. Sebuah film yang membuang talenta-talenta yang begitu
kompeten di bidangnya. Danial Rifki bisa dibilang sangat gagal dalam
mengarahkan film pertamanya kali ini. Bintang-bintang ternama pun juga bermain
ala kadarnya dengan karakterisasi yang cukup menganggu. La Tahzan, malah
membuat penontonnya Bersedih. SKIP !
menurut ku kurang seru ni film :D
BalasHapus