Jumat, 16 Oktober 2015

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran


Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchise besar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i’tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar