Selasa, 24 November 2015

NAY (2015) REVIEW : Monolog Tentang Perempuan


Road movie menjadi salah satu pendekatan baru dari para sineas baik lokal maupun luar untuk mengantarkan ceritanya. Biasanya, ada beberapa idealisme yang disampaikan oleh beberapa sineas lewat medium audio visual. Setelah itu, lewat road movie karakter-karakter yang ada di dalam filmnya mengalami kontemplasi terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya lewat beberapa konflik yang mereka temukan di sepanjang perjalanan.

Dengan pendekatan genre ini, dianggap cukup efektif untuk memberikan renungan kepada penontonnya dengan apa yang terjadi di sekitar. Dan di tahun ini, Road Movie diangkat oleh Djenar Maesa Ayu dalam film terbarunya berjudul Nay. Film ini hanya mengambil satu tempat setting dan menjadikan satu orang sebagai karakter utama filmnya. Hal ini jelas menjadi salah satu hal yang baru di perfilman Indonesia karena memiliki kesulitan yang cukup besar untuk mengolahnya menjadi presentasi yang kuat.

Melalui Sha Ine Febriyanti sebagai pemeran utama, Djenar Maesa Ayu mencoba untuk memberikan sebuah pertunjukan teater monolog ke dalam sebuah layar lebar. Dengan presentasi yang sederhana, Djenar Maesa Ayu berusaha untuk melayangkan sebuah problematika posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari terlebih di negara Indonesia. Hanya berbekal satu plot yang sangat dekat dengan sosok perempuan, tetapi berusaha diulik lebih dalam lagi oleh Djenar Maesa Ayu. Sehingga, film Nay memiliki dampak yang besar dan efektif untuk menyinggung dinamika sosial yang ada.


Seorang model yang sedang naik daun bernama Nay (Sha Ine Febriyanti) tengah dirundung masalah yang bisa membuat beberapa poin penting dalam hidupnya hancur. Nay mengetahui bahwa dia sedang mengandung seorang janin di dalam perutnya. Masa kandungan di dalam perut Nay sudah berumur 11 minggu dan ini adalah hasil hubungan intim dengan pacarnya bernama Ben (Paul Agusta). Setelah mengetahui hal tersebut, Nay memutuskan untuk pergi menemui Ben.

Di tengah perjalanannya menuju rumah Ben, Nay mengalami banyak masalah. Ben menunjukkan sikap yang tak enak ketika mereka sedang berbicara lewat telepon. Dengan adanya hal ini, dia pun mencoba untuk berdiskusi dengan temannya, Ajeng (Cinta Ramlan) dengan maksud akan menemukan solusi akan masalah yang dia hadapi. Sayangnya, Nay pun tak sepenuhnya menemukan solusi yang tepat dan semakin dilema. Selama diperjalanan pun dia merenung dan mencoba intropeksi diri akan masa lalu yang Nay alami. 


Film Nay memang tak bisa dipungkiri akan dibanding-bandingkan dengan film yang dibintangi oleh Tom Hardy yaitu Locke. Secara konsep besar, film Nay memang memiliki kemiripan yang lumayan besar. Hanya saja, apa yang diusung sebagai konflik di dalam filmnya jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Nay mengulik sisi yang lebih dalam terhadap konflik utama di dalam filmnya. Tak hanya memberikan pengaruh besar dalam menonton, tetapi juga menjadi bahan kontemplasi yang kuat bagi penontonnya.

Berbekal problematika yang masih menjadi tabu di dalam budaya milik Indonesia, film yang diarahkan oleh Djenar Maesa Ayu ini berhasil berkembang menjadi sebuah film yang tak biasa. Lewat film ini, Djenar Maesa Ayu ingin sekali lagi memberikan nasihat lewat medium audio visual untuk perempuan yang masih merasa dirinya termarjinalkan oleh beberapa pihak. Sehingga, film Nay adalah sebuah surat terbuka berisi opini yang dilayangkan kepada publik tentang keberadaan wanita yang masih tak juga dianggap sejajar. 


Berbekal satu karakter utama yang juga hanya satu-satunya yang ada di depan layar, jelas bukan sesuatu yang mudah untuk membuat film Nay memiliki presentasi yang kuat. Karakter-karakter yang lain hanya tampil lewat voice over yang tak tampak fisik, tetapi Djenar Maesa Ayu mampu menghadirkan karakter pendukung itu terasa nyata. Penuh dengan dialog yang jakarta-sentris tetapi Djenar Maesa Ayu masih bisa mencari kesamaan atribut yang dia tempelkan di dalam filmnya agar bisa relevan dengan kehidupan penontonnya.

Djenar Maesa Ayu mendobrak paradigma tentang perempuan yang masih terbayang tentang dogma-dogma budaya yang sangat kaku diberlakukan kepadanya. Terlebih, di negara Indonesia yang masih memuja dan menjunjung tinggi akan idealisme patriarki. Bagaimana perempuan harus berperilaku, bagaimana keperawanan masih dianggap sebagai patokan penilaian akan kepribadian seorang perempuan secara keseluruhan. Dan anggapan-anggapan kolot tentang ketangguhan wanita yang bisa mengambil keputusan akan hidupnya yang masih dianggap tabu.

Juga, bagaimana film Nay mengangkat tentang isu standar ganda yang sering digunakan oleh orang-orang dalam menilai sesuatu. Bagaimana seseorang tak lagi kembali introspeksi terhadap dirinya kembali dan langsung menganggap perilaku seseorang itu tidak baik. Hal ini, juga digambarkan pada karakter Nay yang memiliki masalah psikis dan rekam jejak yang tak baik terhadap masa lalunya dengan ibunya. Jelas, Nay memiliki banyak sekali isu sosial relevan yang perlu dikritik. 


Tak hanya berkekuatan dalam isu-isu sosial yang mendapat kritik tajam dari Djenar Maesa Ayu sebagai konten yang dijual olehnya. Tetapi, Djenar Maesa Ayu juga memberikan pengarahan yang baik di dalam filmnya sehingga dengan presentasi dan dasar konflik yang sederhana pun bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi penontonnya. Sehingga, film Nay ini berhasil menjadi sebuah medium untuk berkaca pada diri sendiri tentang keberadaan perempuan yang kadang masih dianggap tertinggal.

Meski mengambil banyak resiko di dalam genre-nya dan menjadikan film Nay menjadi karya yang memiliki pasar sendiri yang menikmatinya, Djenar Maesa Ayu patut diacungi jempol dalam mengarahkan karya terbarunya. Penuh dengan kritik terhadap isu sosial, ajaran budaya yang masih kaku, dan bagaimana kaum perempuan masih dianggap sebagai kaum marjinal. Sehingga, dengan film Nay, semua poin-poin itu dapat disampaikan layaknya sebuah surat terbuka kepada masyarakat secara luas. Terlebih, kepada masyarakat di negara yang menjunjung tinggi patriarki dan menganggap perempuan masih tak berdaya. 

 

1 komentar: