Selasa, 23 Februari 2016

A COPY OF MY MIND (2016) REVIEW : Konstruksi Realita Jujur Kota Jakarta


Cita-cita aku ? Aku pengen punya home theatre sendiri biar bisa nonton film.” Sesederhana itu memang mimpi Sari, salah satu karakter utama dari film terbaru arahan Joko Anwar. Bukan menjadi hal tabu lagi bagi setiap orang untuk menaruh dan menggantungkan mimpi setinggi mungkin kepada sang Ibu Kota. Tujuannya sederhana, untuk memperbaiki kehidupannya yang belum bisa dikatakan terjamin. Dan merantau ke ibu kota menjadi salah satu opsi yang mereka gunakan. 

Keinginan banyak orang untuk hidup enak di kerasnya perjuangan di Ibu Kota memang tak mudah. Kehidupan mentereng yang disorot berlebih di berbagai drama rekonstruksi media menjadi salah satu dalih bagi mereka untuk semakin yakin merantau ke ibu kota. Maka, datanglah Joko Anwar yang menawarkan diri untuk memberikan visualisasi isu sosial tersebut tanpa berusaha mendramatisir. Alih-alih terlalu serius, Joko Anwar pun menjadikan proyeknya sebagai sebuah kisah cinta dua insan yang juga memiliki problematika serius dengan kehidupan keras kota Jakarta.

Salinan memori dari berbagai macam problematika di Ibu Kota ini diangkat dalam film terbaru Joko Anwar, A Copy of My Mind. Menggunakan karakter representatif yang disematkan pada Alek dan Sari ketika berusaha keras menjalani hidupnya dengan pekerjaan kecilnya yang mampu membuatnya bertahan hidup. Diperankan oleh Chicco Jericho dan Tara Basro, film ini pun melaju sebagai film unggulan Festival Film Indonesia dan beberapa festival film di dunia. 


Kehidupan keras di kota Jakarta membuat setiap penduduknya harus rela bekerja apa saja demi menghidupi dirinya. Entah, profesi hanya sekedar lalu lalang demi bertahan hidup setiap harinya atau menjadi sumber mata pencaharian andalan untuk kelangsungan kehidupan yang berkala. Dan Sari (Tara Basro) adalah salah satu yang menggantungkan hidupnya lewat profesinya menjadi pegawai salon. Hidupnya mungkin tidak bergelimang harta, tetapi Sari merasa nyaman dengan kesehariannya.

Ya, Sari sudah merasa bahagia asal dapat menonton film-film terbaru dari DVD bajakan yang dia beli di pusat grosiran. Sayangnya, kebahagiaannya yang sederhana pun diusik oleh kualitas teks terjemahan dari DVD yang ia beli. Merasa kesal, Sari mengembalikannya pada penjual yang secara tak sengaja bertemu dengan Alek (Chicco Jericho). Dia lah yang mengerjakan teks terjemahan dari DVD yang Sari beli. Pertemuannya dengan Alek pun mengubah banyak sekali cerita-cerita hidup Sari. 


Keterbatasan dari segi materil dari para karakter di dalam A Copy of My Mind ini adalah gambaran secara realistis kalangan proletar yang masih berlalu lalang di Ibu kota. Pun, dengan segala keterbatasan itu tak membuat para karakternya tak menemukan kebahagiannya. Dan dengan keterbatasan itu pula, bukan pula menjanjikan kehidupan yang tentram. Alek dan Sari akan menemukan problematikanya sendiri dan mereka akan berkembang seiring dengan bagaimana mereka menghadapi itu semua.

Sari akan terasa relevan dengan banyak sekali orang yang berusaha menggantungkan hidupnya mencari profesi impian yang tak kunjung datang. Dan berusaha memperkecil impian hanya untuk sekedar memiliki home theatre dan itu sudah lebih dari cukup. Ekspektasi setiap orang untuk mendapatkan peningkatan akan strata sosial mereka di Ibu Kota memang tak jarang yang tak sesuai. Dan A Copy Of My Mind memiliki karakter Sari sebagai representasi dari problematika itu.

Kerasnya kehidupan kota Jakarta memang membuat setiap orang menjadikan apapun sebagai profesi asal bisa memenuhi sandang, papan, dan pangan sebagai kebutuhan pokok mereka. A Copy Of My Mind pun berusaha untuk menyindir itu lewat karakter Alek yang melakukan pekerjaan yang terasa bias antara ilegal dan legal. Orang menikmati hasil dari apa yang dikerjakan oleh Alek tanpa mengetahui apa dampak yang mereka kontribusikan atas apa yang mereka konsumsi. 


Kedua masalah sosial yang direpresentasikan lewat Alek dan Sari ini dipadu padankan satu sama lain oleh Joko Anwar. Sehingga, A Copy Of My Mind membentuk sebuah keintiman problematika luar biasa yang terasa miris. Di atas problematika yang dialami oleh setiap karakter fiktif yang dibentuk oleh Joko Anwar, mereka akan mencari kebahagiaan yang sederhana yang akan terasa nyata dan menyentil sisi emosional penontonnya. A Copy Of My Mind akan terasa getir dan sekaligus indah untuk dinikmati.

Joko Anwar tak lagi merekonstruksi realita sekitarnya yang ada. Tetapi menjelaskan secara murni apa yang ada disekitarnya. A Copy Of My Mind berusaha menampilkan realita senyata mungkin kepada penontonnya untuk menghadirkan kedekatan secara emosional. Joko Anwar memang tak segamblang itu mengkritik aspek-aspek sosial yang perlu dibenahi di dalam filmnya. Jelas, bukan menjadi sebuah sajian yang mudah diakses bagi setiap orang apalagi dengan alur lambat selama 115 menit.


Akan menjadi tantangan bagi penonton yang tak terbiasa untuk memasuki bagaimana Joko Anwar bertutur lewat A Copy Of My Mind. Tetapi, akan muncul efek jangka panjang yang diinseminasi ke dalam pemikiran penontonnya bahwa A Copy Of My Mind bukan hanya sebuah film yang begitu mudah untuk dilupakan. Tempelan-tempelan sistem tanda dan lambang di dalam A Copy Of My Mind begitu kuat akan membutuhkan penonton yang aktif untuk menginterpretasi itu agar menjadi sebuah pesan yang utuh.

Terpaan adegan demi adegan di dalam film A Copy of My Mind seperti mengajak penontonnya agar tak terperangkap dalam sebuah jarum hipodermik, yang mana penonton sangat pasif menerima setiap konflik yang secara langsung ditujukan kepada mereka. Dan dengan itulah, A Copy Of My Mind secara tak langsung memberikan salinan jangka panjang kepada memori penontonnya. Bukan hanya sekedar menghantui, tetapi untuk diterapkan dan sebagai bahan renungan untuk memperluas pandangan kita tentang kesenjangan sosial yang masih terjadi begitu kental dan tak hanya di Ibu kota. 


Dengan kontruksi cerita dalam A Copy Of My Mind yang terasa begitu sederhana dibandingkan film-film Joko Anwar lainnya, tetapi efek yang dihasilkan oleh A Copy Of My Mind akan terasa signifikan. Bukan hanya sekedar sebuah pesan utuh yang langsung dijejalkan kepada penontonnya secara mentah-mentah. Tetapi, butuh keaktifan penonton untuk menata ulang pesan-pesan metaforik yang disebarkan di setiap adegan A Copy Of My Mind. Karakter-karakter representatif dan reka adegan yang realistis menjadi kekuatan utama A Copy Of My Mind. Bukan sekedar intrik, tetapi juga keintiman menarik dalam karya Joko Anwar yang sekali-kali menuruti egonya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar