Minggu, 17 Oktober 2021

DEAR EVAN HANSEN (2021) REVIEW: Weakest from Stephen Chbosky But Still An Enjoyable One

Menyebut Dear Evan Hansen sebagai this year’s Cats adalah sebuah statement yang terlalu berlebihan.

Sebagai sebuah adaptasi dari musikal broadway ternama dan memenangkan penghargaan tentu saja tidak mudah. Begitu pula yang terjadi di Dear Evan Hansen, Mengadaptasi Dear Evan Hansen pun tidak mudah, Selain punya medium yang berbeda, tentu akan ada sedikit perubahan sana sini yang membuat film ini layak untuk disaksikan di layar perak. Belum lagi, fans dari play-nya pun sudah cukup punya banyak massa.


Padahal, Stephen Chbosky harusnya sudah familiar betul dengan materi dari Dear Evan Hansen yang ada di ranahnya. Cerita-cerita coming of age dan dysfunctional family drama yang sudah berhasil dia taklukkan lewat film The Perks of Being A Wallflower dan Wonder. Yang bahkan, ke duanya pun adalah sebuah adaptasi dari buku. Melihat trailernya yang sungguh uplifting, tentu banyak orang mulai menaruh ekspektasi berlebih kepada film ini.


Yang bahkan ketika ditonton pun, sebenarnya Dear Evan Hansen tak memiliki output yang buruk. Di dalam 137 menitnya, Dear Evan Hansen tetap bisa tampil dengan cukup menarik. Mengulik problematika hidup anak muda dengan segala pesan awareness tentang mental health issue-nya yang terkadang jarang disorot. Bahkan, sesekali diremehkan Karena beberapa oknum yang melakukan kesalahan kecil sehingga problematika ini pun dikecilkan dari sosietas masyarakat.



Kesalahan kecil itu lah yang dilakukan oleh Evan Hansen (Ben Platt) di sepanjang filmnya. Evan Hansen yang masih berjuang dengan social anxiety-nya di tahun baru sekolahnya mengalami kejadian besar dalam hidupnya. Dia terseret dalam kebohongan di mana dia mengakui bahwa dia berteman baik dengan Connor (Colton Ryan) yang baru saja memutuskan unutk mengakhiri hidupnya.


Pengakuan ini dikarenakan tulisan Evan Hansen, yang seharusnya dijadikan sebagai cara dia untuk terapi dengan psikiaternya ditemukan di kantong milik Connor. Keluarganya mengira surat tersebut adalah surat terakhir dari Connor sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Evan Hansen yang tak mengerti harus berbuat apa, akhirnya mengakui surat itu adalah surat dari Connor untuknya. Dan kebohongan-kebohongan kecil lain pun ikut tertumpuk di dalamnya.



Overglorifikasi tentang isu kesehatan mental dan suicide thoughts yang harus diberi pengertian.


Iya, dasar cerita Dear Evan Hansen memang terlihat remeh pada awalnya. Tapi, banyak sekali konflik-konflik kecil yang membuat film ini ternyata makin rumit dari yang dikira. Inilah perjuangan Stephen Chbosky untuk bisa menyampaikan segala konfliknya agar bisa tersampaikan dengan baik oleh penontonnya. Meskipun, harus merelakan beberapa poin penting dalam play-nya yang membuat film ini punya konflik rumit ini terasa disederhanakan agar durasinya tak terasa membengkak.


Meskipun yang harus penonton sadari adalah bagaimana dasar cerita dari Dear Evan Hansen ini pun perlu digarisbawahi. Menggunakan trauma, kekurangan, atau kesedihan seseorang untuk akhirnya menyembuhkan lukanya sendiri itu membuat triggering beberapa orang. Tapi, satu kalimat penting dari Alana di filmnya setidaknya membuat film ini memiliki statement berbeda dibanding premis cerita yang terlihat di permukaan. Evan Hansen mendapatkan balasan dan sekali lagi memberikan awareness kepada orang tentang mental health issue dan pesan tentang “You Will Be Found” seperti lagu utama di film ini yang didendangkan lantang. 


Tetapi, adanya pengurangan lagu Anybody Have A Map yang harusnya ada sebagai opening pun harus direlakan demi fokus ke cerita Evan Hansen sendiri sebagai karakter utamanya. Memulai lagu Waving Through The Window sebagai opening pun tentu membuat film ini memiliki narasi berbeda dengan drama panggungnya. Sebuah adjustment yang boleh-boleh saja, tapi yang harus ditahu dalam mengadaptasi drama ini ke dalam layar lebar adalah bagaimana dalamnya konflik dari keluarga dari sisi Connor maupun Evan Hansen.



Alih-alih mencoba untuk memberikan ruang untuk para karakter keluarga Evan Hansen dan Connor, naskahnya malah memilih untuk mengembangkan karakter Alana yang diperankan oleh Amandla Stenberg. Menarik juga mengulik masalahnya sebagai seorang karakter dan memfokuskan filmnnya sebagai suara remaja-remaja resah dengan mental health issue-nya. Tapi, hal itu membuat beberapa poin Evan Hansen dengan keluarganya tak bisa tersampaikan dengan baik. Bagaimana konflik batin Evan Hansen saat redefine arti tentang keluarga dan koneksinya dengan sang Ibu juga belum bisa tergambarkan dengan prima.


Tapi, tak usah diragukan lagi. Meski keputusan-keputusan di dalam naskahnya yang bermain terlalu aman, tapi Stephen Chbosky sebagai sutradara masih bisa piawai dalam mengolah emosi di dalam filmnya. Banyak sekali momen-momen uplifting yang disajikan di dalam film ini. Satu jam pertama film ini salah satunya adalah bagian terkuat di dalam filmnya. Berhasil mengantarkan cerita, mengenalkan karakternya dan mengantarkan segala musical sequences-nya dengan cara yang pas.



Waving Through The Window, For Forever, Requiem, hingga You Will Be Found pun bisa menjadi musical sequences penting untuk mengembangkan segala konflik dan emosi para karakternya. Meski seharusnya bisa lebih maksimal lagi, tapi beberapa performance tersebut sudah cukup menyentuh penontonnya. Tapi, yang  menyita perhatian adalah performance dari Kaitlyn Denver sebagai Zoe.


Vulnerability, Fragility, hingga feeling raw yang ditampilkan oleh Kaitlyn saat memerankan karakternya benar-benar bisa membuat penonton terkesima. Sehingga, dengan banyaknya karakter dengan nama-nama besar seperti Julianne Moore dan Amy Adams, Kaitlyn Denver bisa menyerap perhatian lebih banyak. Penonton bisa merasakan segala kompleksitas karakter Zoe dari konflik-konflik yang ada meskipun harus ada banyak konflik yang disederhanakan.



Meski begitu, secara keseluruhan, Dear Evan Hansen adalah sebuah coming of age film yang masih layak untuk ditonton. Ada banyak hati di dalam filmnya meski dengan beberapa poin kekurangannya, tapi tak pantas apabila film ini mendapatkan banyak hate comments tentang filmnya sendiri. Memang, ini adalah yang terlemah dari Stephen Chbosky. Tapi, tetap akan menghangatkan hati penontonnya saat menonton nantinya.


Where to watch:
Rent it on iTunes US
Coming soon to Indonesian Cinemas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar