This Is Sparta. Satu jargon yang akan mengingatkan kita dengan
satu film kolosal garapan Zack Snyder dengan judul 300. Di tahun 2014 ini, film
kolosal dengan penuh gaya yang berbeda itu kembali dihidupkan kembali lewat
sebuah film layar lebar terbaru. Film yang diadaptasi dari graphic novel milik
Frank Miller ini mendapatkan satu kesempatan kembali ditangan Nuam Murro untuk
hadir memuaskan para Fans yang merindukan cerita Leonidas dengan kawanannya di
film terdahulunya.
Apa yang akan diteruskan dari film terdahulunya? Toh, Film 300 sendiri
sudah memiliki akhir yang jelas. 300 : Rise of An Empire adalah sebuah film
prekuel dari Zack Snyder’s 300. Cukup mengagetkan memang ketika 300 mendapatkan
kesempatan hadir kembali. Tetapi, banyak orang akan memicingkan mata dengan
proyek prekuel yang sudah tidak ditangani lagi oleh Zack Snyder yang mampu
memberikan sebuah Style Over Substance
di film terdahulunya.
Mengambil setting di samping cerita Leonidas beserta 300 prajuritnya,
Themistokles (Sullivan Stepleton), sosok pemimpin Yunani yang berhasil membunuh
ayah dari Xerxes (Rodrigo Santoro) di dalam sebuah perang maraton. Keadaan itu
memicu Xerxes untuk membalaskan dendam kepada Themistokles. Dalam serangan
balas dendamnya, Dia dibantu oleh Artemisia (Eva Green).
Artemisia-lah yang mengatur semua rencana balas dendam yang akan
dilaksanakan Xerxes. Themistokles yang tahu akan rencana Artemisia mencari
berbagai bala bantuan terutama pada bangsa Sparta yang kala itu sedang mempersiapkan diri untuk bertempur melawan Xerxes
di lain hal. Gorgo (Lena Headey), Istri Leonidas ini ragu dalam memberikan bala
bantuan terhadap pasukan Yunani ini.
Overstyle in a mediocre substance.
Nuam Murro yang kali ini berkesempatan untuk mengarahkan Themistokles
dengan kawanan Yunani-nya mencoba menyamai apa yang sudah digapai oleh Zack
Snyder di film predesesor-nya. Tetapi,
apa yang membuat proyek ini terkesan akan bisa mencapai itu semua adalah
bagaimana Zack Snyder masih bisa mengontrol apa yang dikerjakan oleh Nuam
Murro. Karena, Zack Snyder masih berkesempatan untuk menaungi film ini karena
dirinya duduk di kursi produser.
Sayangnya, 300 : Rise of An Empire ini tidak bisa mencapai semua
pencapaian milik Zack Snyder di film 300 sebelumnya. Mungkin, satu hal yang
akan menarik dari 300 : Rise of An Empire adalah bagaimana setting waktu yang
beriringan antara film ini dengan film terdahulunya yang membuat satu kesatuan
menarik. Membuat 300 : Rise of An Empire ini memiliki koneksi dengan film
terdahulunya atau bisa dibilang menjadi satu film komplementer atau pelengkap
dari film pertamanya.
Menjadi satu film komplementer saja tidak cukup, 300 : Rise of An
Empire harus mengalami berbagai hal minor yang mempengaruhi segala pencapaian
minim milik Nuam Murro. Bagaimana cerita di film ini tidak memiliki satu hal
yang kuat. Cerita yang ada di film ini dipresentasikan apa adanya. Tidak ada
emosi kuat yang terjalin yang bisa membuat penonton betah untuk berlama-lama
menyaksikan para pejuang yunani untuk melawan Artemisia dan kawanan persia-nya.
Banyak sekali cerita-cerita yang dilewatkan. Cerita-cerita pendukung
milik para karakter yang begitu banyak di film ini. Terutama pada sosok Xerxes
yang mungkin disinggung beberapa hal di awal film. Tetapi, pada akhirnya,
Xerxes muncul hanya sebagai satu karakter figuran yang malah tidak tahu fungsi
dari karakter Xerxes tersebut yang harusnya menjadi satu karakter penting dalam
kelangsungan konflik film 300 : Rise of An Empire ini.
Mungkin, bagi penonton awam akan menyukai berbagai battle sequences yang ditawarkan oleh
Nuam Murro di film terbarunya ini. Nuam Murro tetap setia dengan berbagai style yang dibuat oleh Zack Snyder di
film terdahulunya. Membuat Battle Sequences
di film ini disajikan dengan efek slow-motion
dan CGI yang akan membuat mata terpanah. Tetapi bagaimana Nuam Murro tetap
setia dengan segala style milik Zack Snyder itu malah dipersalahgunakan.
Nuam Murro terlalu berlebihan dalam mengekspos battle sequences dengan
segala gaya slow-motion-zack-snyder-wanna-be.
Overstyle, iya. Ini berefek pada segala gimmick-nya yang malah terkesan sok
asik dan terlihat palsu sana sini. Mungkin akan berpengaruh dengan format
3D-nya tetapi bagi yang menyaksikannya dalam format 2D? CGI yang berlebihan
dengan style yang terlalu ditekankan itu pun menjadi satu efek minor bagi film
ini sendiri.
Darah-darah memang bermuncratan dimana-mana. Tetapi, dengan efek CGI
yang berlebihan membuat segala sesuatu di film ini tidak lagi asik. Style-nya tidak lagi smooth and cool like it used to be. Nuam
Murro jelas menekankan hal yang berlebihan dari presentasi Zack Snyder di film
predessesor-nya but in a bad way. Dengan presentasi cerita yang tidak
perhatikan, style battle sequences
yang berlebihan dimana-mana, bukan berarti tidak bisa dinikmati. Menghibur? Mungkin.
Karena beberapa battle choreography
film ini masih enak untuk dilihat.
Dengan nama-nama yang kurang terkenal layaknya Sullivan Stepleton yang
ditunjuk sebagai pionir yunani yang memimpin film 300 : Rise of An Empire ini
mungkin tidak terlalu kharismatik dan memorable. Tidak seperti karakter
Leonidas yang sangat ikonik di film terdahulunya. Bahkan, dirinya terlihat
lemah dibandingkan dengan para karakter perempuan di film ini. Malah, para
perempuan di film inilah yang mengambil alih segala spotlight yang ada terlebih pada sosok Eva Green yang menjadi
Artemisia. Para perempuan mendapatkan andil penting bagi kelangsungan film ini.
300 : Rise of An Empire bisa dibilang menjadi dibukanya satu pintu
gerbang untuk menjadikan 300 sebuah franchise
baru di dunia perfilman Hollywood. Dengan cliffhanger
ending, maka jelas menjadi satu clue
bahwa sekuel, prekuel, ataupun spin-off
dari 300 akan hadir kembali menyapa para penonton entah beberapa tahun lagi.
Toh, film ini dengan predesesor-nya
pun memiliki rentang waktu yang lama hingga akhirnya dirilis di bioskop.
Overall, 300 : Rise of An
Empire adalah sebuah prekuel yang dengan cukup banyak minus yang akhirnya
membuat film ini not well-cooked.
Cerita yang sama sekali tidak diperhatikan dan malah menekankan segala battle sequences dan style-nya yang juga terlalu berlebihan
membuat film ini tidak bisa mencapai keberhasilan predesesor-nya. Bring it back
to Zack Snyder, maybe it will be something massive in the next 300’s project
movie.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, 300 : Rise of An Empire pun
dirilis dalam format 3D untuk memaksimalkan adegan-adegan peperangan yunani dan
persia. Berikut resensi format 3D dari film 300 : Rise Of An Empire
DEPTH
Sangat luar biasa, kedalaman film ini saat disaksikan dalam format 3D
benar-benar mengagumkan. Kita seperti melihat langsung peperangan yang terjadi
di film ini.
POP-OUT
Dengan gimmick yang terkesan
over, mungkin efek pop-out dari 300 :
Rise of An Empire tidak memiliki satu hal yang signifikan. Beberapa mungkin
iya, tetapi tidak terlalu berinteraksi dengan mata penontonnya.
Overall, 300 : Rise of An
Empire sangat direkomendasikan dalam format 3D. Meskipun ceritanya memiliki
banyak sekali kekurangan. Setidaknya, dengan format 3D itu akan menghapus luka
bagi yang mengharapkan sesuatu lebih dari isi 300 : Rise of An Empire. It’s worth for every penny.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar