Raffi Ahmad berusaha untuk berpindah keberuntungan dari layar televisi
ke layar perak. RA Pictures menjadi rumah produksi baru yang menelurkan
film-film bioskop. Intensinya baik, menarik pasar televisi ke layar lebar dan
semakin memeriahkan perfilman Indonesia. Mulai dari Rafathar, The Secret,
hingga proyek terbarunya yang rilis pada musim lebaran tahun ini berusaha dia
lepas. Raihan penontonnya pun bisa dibilang lumayan untuk ukuran rumah produksi
baru.
Kali ini, Raffi Ahmad menunjuk seorang sutradara baru Andreas Sullivan
untuk mengarahkan sebuah drama kisah komedi romantis. Film terbarunya ini pun
disupervisi oleh Fajar Bustomi yang pernah mengarahkan Dilan 1990. Pun, dibantu
dengan naskah yang ditulis oleh Alim Sudio yang sudah sering menulis film dengan
genre yang sama. Dimsum Martabak,
judul ini dibintangi oleh Ayu Ting-Ting dan juga Boy William sebagai pasangan
utama.
Dimsum Martabak adalah debut
akting dari Ayu Ting-Ting di layar lebar. Tentu saja banyak yang meragukan
performa yang ditampilkan oleh Ayu Ting-Ting di dalam film Dimsum Martabak. Dengan banyaknya nama baru di dalam Dimsum Martabak, tentu saja proyek ini
bisa dibilang sangat berani untuk rilis di musim lebaran. Jika performa sebuah
film bisa diukur dengan keberaniannya, Dimsum
Martabak ini mungkin belum sepenuhnya berani dalam menyampaikan ceritanya.
Kisah ini dimulai dari seorang pelayan sebuah restoran chinese food bernama Mona (Ayu
Ting-Ting) yang hidup menjadi tulang punggung keluarga. Dirinya bekerja banting
tulang karena ayahnya yang sudah meninggalkan meninggalkan banyak hutang untuk
keluarganya. Mona harus bekerja siang malam demi bisa membayar hutang
keluarganya. Sayangnya, Mona harus dipecat oleh istri pemilik restoran karena
dikira ingin merebut suaminya.
Setelah dipecat, Mona kebingungan mencari pekerjaan ke sana ke mari
untuk tetap bisa membuat keluarganya bahagia. Bertemulah dia dengan Sooga (Boy
William), pemilik kedai Martabak yang butuh karyawan agar bisnisnya berjalan
lancar. Mona pun bersedia menjadi karyawan dan membantu Sooga untuk membuat
sistem untuk kedai martabaknya. Semakin lama, Sooga melihat ada sesuatu yang
menarik pada Mona. Ternyata, Sooga jatuh cinta kepada Mona.
Ya, cerita dalam Dimsum Martabak
memang semudah itu. Sebagai film komedi romantis, Dimsum Martabak memang tak perlu menjadi sesuatu yang rumit.
Apalagi, intensi dari rumah produksi ini adalah untuk memindahkan penonton
televisi ke layar perak. Dengan cerita semudah ini, tentu saja niat dari RA
Pictures bisa dikatakan berhasil. Inilah konten yang diinginkan oleh penonton
televisi kita selama ini. Mimpi menjadi seorang upik abu yang derajatnya naik
karena menemukan seorang pangeran tampan dan kaya raya.
Dengan kisah segenerik ini, Dimsum
Martabak sebenarnya masih bisa memuaskan segmentasi penontonnya. Bisa
dikatakan bahwa 40 menit pertama dari film ini masih diarahkan dengan baik. Konflik-konflik
sederhanya dikemas dengan ajaib dan ditambah pula dengan dialog serba cheesy, Dimsum Martabak sebenarnya masih sangat
bisa ditoleransi. Untuk film yang berada di kelasnya, Dimsum Martabak masih digarap dengan cukup baik.
Andreas Sullivan bisa membuat Dimsum
Martabak dinikmati oleh penontonnya. Kisah cintanya pas, ditambahi dengan
bumbu komedi yang juga tahu tempat dan porsinya. Sehingga, plot ceritanya bisa
tersampaikan dengan baik. Begitu pula dengan performa Ayu Ting-Ting yang
sebenarnya bisa mengeluarkan sinarnya. Menjadi sosok perempuan damsel in distress yang mungkin
karakternya generik tetapi untungnya masih bisa diperankan dengan baik oleh Ayu
Ting-Ting.
Tapi sayangnya, bagian terbaik dari Dimsum Martabak hanya bertahan hingga 45 menit pertamanya saja.
Setelahnya, Dimsum Martabak penuh
akan cabang-cabang cerita yang tak bisa disampaikan dengan baik. Sebenarnya
dalam naskah yang ditulis oleh Alim Sudio, sudah menunjukkan intensi untuk
menampilkan cabang cerita yang cukup banyak. Hanya saja, Pengarahan dari Andreas
Sullivan seperti tak tahu harus menyampaikan semua plotnya dengan benar.
Kesibukan membuat kesenangan di 45 menit pertama ternyata membuatnya
terlena untuk harus mengakhiri ceritanya. Paruh akhir dari Dimsum Martabak tampil sangat malas dan menunjukkan
konklusi-konklusi ala sinema elektronik yang sudah basi. Performanya pun
semakin menurun, dari kisah komedi romantis yang energik menuju ke sebuah drama mendayu-dayu dengan penyelesaian yang
juga semakin ajaib.
Belum lagi dengan pemilihan casting
dan penyampaian komedi ala variety
show yang ada di televisi yang semakin menunjukkan segmentasi dari film ini
sebenarnya. Padahal, seharusnya Dimsum
Martabak memiliki potensi untuk setidaknya dinikmati oleh berbagai
kalangan. Yang tersisa hanyalah kemewahan-kemewahan setting yang sebenarnya adalah properti pribadi dari Raffi Ahmad.
Hal itu pun tak bisa membuat Dimsum
Martabak kembali bisa dinikmati oleh penontonnya secara general.
Mungkin dalam berbagai aspeknya, Dimsum
Martabak adalah sebuah film generik yang seharusnya memiliki kesempatan
untuk bersinar. Sayangnya, tarik ulur dalam konklusinya membuat pace film ini
semakin lambat dan belum lagi adegan-adegan yang membuat mata berputar. Untuk
target segmentasinya, Dimsum Martabak
seharusnya masih bisa memuaskan mereka. Sayangnya, bagi penonton yang general
tanpa mengetahui intensi ini, Dimsum
Martabak hanyalah sebuah kisah upik abu dan mimpi para penikmat televisi
yang usang ditelan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar