Sudah banyak memang yang mencoba untuk mengangkat film-film bertema
bencana alam. Roland Emmerich contohnya, sutradara satu ini sering sekali
membuat film-film bertema serupa. Dan karyanya yang paling fenomenal adalah
2012, yang diangkat berdasarkan ramalan tentang kiamat di tahun 2012. Filmnya
memang tak berhasil menuai pujian dari para kritikus, tetapi film ini berhasil
menarik minat penonton sehingga menimbulkan antrian panjang di mana-mana.
Di tahun ini, film tentang bencana alam kembali hadir tetapi bukan
dari sutradara yang sama. Brad Peyton, sutradara dari Journey 2 : Mysterious
Island dan Cats & Dogs 2 ini mencoba hal baru dalam rekam jejak filmnya.
San Andreas, judul film terbaru dari Brad Peyton yang mengangkat bencana alam
gempa bumi sebagai landasan ceritanya. San Andreas pun mempunyai nama-nama
besar seperti Dwayne Johnson dan Alexandra Daddario di deretan pemainnya.
Memiliki nama-nama besar seperti Dwayne Johnson, Carla Gugino, bahkan
Alexandra Daddario. Juga, memiliki visual efek yang megah seperti apa yang
ditunjukkan lewat trailernya, tak lantas membuat film terbaru dari Brad Peyton
ini memiliki sesuatu yang segar di dalamnya. San Andreas hanyalah sebuah film
bertema bencana alam yang generik dan masih menawarkan sesuatu yang sama dengan
film-film bertema sama sebelumnya.
San Andreas memang tak punya plot yang spesial, segalanya hanyalah
kumpulan dari segala macam unsur klise dalam film bertema sama dan bergabung
menjadi satu. Ray (Dwayne Johnson) seorang penyelamat yang hidup penuh tantangan
memiliki keluarga yang sudah berantakan. Ray mendapat gugatan cerai dari sang
Istri, Emma (Carla Gugino) yang akan berpindah tempat tinggal di rumah sang
pacar baru, Daniel (Ioan Gruffudd).
Bersama dengan Emma, Ray memiliki anak bernama Blake (Alexandra
Daddario) dan seorang lagi yang sudah meninggal. Dengan adanya kejadian
tersebut di dalam keluarganya, Ray berusaha untuk tetap mencintai keluarganya.
Tetapi, ketika Blake akan pergi bersama dengan Daniel, gempa bumi besar datang
menyerang kota California. Ray dan Emma berusaha menemukan dan menyelamatkan
Blake yang terjebak karena gempa bumi yang meluluh lantakkan seluruh kota.
Dengan cerita yang sesederhana itu, San Andreas memiliki durasi
sepanjang 112 menit untuk menjalankan segala konflik ceritanya. Tak pelak, San
Andreas pun terasa terlalu panjang dengan konflik yang sebenarnya tak punya
sesuatu yang istimewa. Carlton Cuse selaku penulis naskah pun seperti mencoba
menyelipkan berbagai macam intrik untuk mengulur durasi dari San Andreas. Sehingga,
Brad Peyton bisa memamerkan kemegahan visual efek bencana alam sebagai sajian
utama film San Andreas.
Memang, rasanya terlalu naif ketika mengharapkan sesuatu yang segar
dalam plot cerita untuk film sejenis San Andreas. Film garapan Brad Peyton ini
pun seperti sebuah omnibus yang tak dapat bersatu di setiap pengembangan
karakternya. Sehingga, akan terasa adanya beberapa segmen yang berdiri sendiri
dengan performa yang berbeda-beda. Tetap, San Andreas memiliki sajian yang
klise dan luar biasa tak masuk akal untuk menyampaikan ceritanya.
Penonton pun akan dengan mudah terakses dengan cerita di dalam film
ini. Saking mudahnya akses tersebut, penonton pun akan tahu seperti apa film
ini akan berakhir dan berhasil menebak adegan seperti apa selanjutnya. Hal ini
karena Carlton Cuse mengambil template yang sama dari beberapa film dengan tema
serupa dan digabungkan ke dalam naskah film San Andreas. Sehingga, segala
bentuk konflik atau adegan klise di film ini pun terangkum di dalamnya.
Layaknya film-film Roland Emmerich, sepertinya San Andreas garapan
Brad Peyton ini pun terpengaruh dengan bagaimana Roland Emmerich memberikan
intrik yang luar biasa tidak masuk akal bagi penontonnya. Kesampingkan
bagaimana proses gempa bumi di dalam film ini yang mungkin masih menjelaskan
hal tersebut dengan berbagai penuturan ilmiah yang terasa meyakinkan. Tetapi,
bagaimana para karakter melewati bencana alam yang sangat ilmiah tersebut
terasa konyol untuk disaksikan.
Ada beberapa adegan yang akan terasa memudahkan bagaimana seseorang
menghadapi sebuah bencana yang sangat besar. Sehingga, bencana alam tersebut
akan terasa tidak nyata bagi penontonnya. Dengan adanya adegan-adegan seperti
itu, hal ini menegaskan bahwa San Andreas hanyalah sebuah medium untuk
memamerkan visual efek yang besar dan mengedepankan sekuens-sekuens aksi yang
maunya ingin memberikan tensi untuk ceritanya. Sayangnya, tensi itu terasa
mengapung tetapi ada beberapa poin yang masih membuat San Andreas menyenangkan
untuk diikuti.
San Andreas masih memiliki kekuatan dalam jajaran pemainnya. Terlebih
adegan final di film ini yang menguatkan sisi humanis dalam porsi drama
keluarganya. Dibandingkan dengan beberapa poin yang menjadi kekurangan film
ini, jajaran pemain dan paruh akhir film ini masih memberikan satu tensi yang
kuat sehingga film ini tidak lemah seutuhnya. Drama keluarga yang kuat dengan
beberapa jokes –di luar adegan yang tidak masuk akal –di dalam filmnya masih
bisa membuat penontonnya terhibur.
Maka, film garapan Brad Peyton ini memang hanyalah sebuah medium
untuknya dalam memamerkan segala visual efek yang megah untuk adegan-adegan
bencana alamnya. Tetapi, San Andreas memiliki keterbatasan dalam menyampaikan
setiap intrik ceritanya sehingga tensi tersebut akan terasa tertarik ulur
karena durasi yang terlalu panjang untuk plot yang setipis kertas. Tetapi, di
paruh akhir, San Andreas tahu apa yang membuat film ini masih layak untuk
disaksikan oleh penontonnya.
Dengan visual efek yang megah, tentu Brad Peyton menginginkan filmnya
disaksikan dalam format tiga dimensi. Berikut review keseluruhan tentang format
tiga dimensi dalam film San Andreas
POP OUT
Tak terlalu banyak adegan Pop-Out untuk film San Andreas dalam format
tiga dimensi. Hanya beberapa percikan air dan debu yang bisa menyapa
penontonnya. Sayang, film ini seharusnya direkam lewat native 3D bukan
converter.
DEPTH
Masih ada beberapa adegan di dalam film San Andreas yang menonjolkan
kedalaman sehingga apa yang kita lihat tampak nyata. Tapi, hal itu pun tidak
terlalu kuat.
Dengan beberapa poin dalam format tiga dimensi yang terlalu lemah, San
Andreas mungkin akan lebih menyenangkan disaksikan hanya dalam format dua
dimensi. Tak seperti film Brad Peyton terdahulu, Journey 2 : Mysterious Island,
yang tahu dalam memanfaatkan format tiga dimensi, San Andreas merupakan
penurunan dalam format tiga dimensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar