Selasa, 30 November 2021

THE MEDIUM (2021) REVIEW: Konversi Rasa Tidak Nyaman Menjadi Horor yang Menegangkan

Banjong Pisanthanakun memang tak pernah lepas dengan caranya memberikan sensasi ‘horor’ di setiap rekam jejak filmnya. Entah dengan kalibrasi genre apapun, tapi sensasi itu masih ada. Tentu saja masih membekas di ingatan, Shutter dan salah satu segmen di 4Bia. Belum lagi dia pernah mengarahkan Pee Mak, sebagai salah satu komedi horor yang menyenangkan untuk diikuti.


Sensasi ‘horor’ lainnya pun ada di dalam film One Day, romance-nya yang out of the box yang memberikan gambaran tentang cinta yang tak akan pernah bersatu dengan caranya yang menyakitkan. Iya, sensasi tak nyaman itu kembali hadir di film terbarunya, The Medium.


Film ini dikemas sebagai sebuah mockumentary horor yang tentu saja tak terlalu menjual banyak jump scares dan penampakan-penampakan makhluk halus seperti film-film horor pada umumnya. Terlebih ketika tahu bahwa sesungguhnya, film ini adalah hasil kolaborasi dengan Na Hong Jin yang sebelumnya telah membuat The Wailing, film horor Korea yang juga memiliki atmosfer serupa. Bahkan, The Medium juga diset sebagai sebuah prekuel dari film tersebut oleh Na Hong Jin dan timnya.



Maka tak salah, apabila The Medium juga mendapatkan treatment serupa di dalam penggarapannya. Banjong Pisanthanakun menghadirkan teror lain di filmnya dengan cara yang berbeda. Filmnya mungkin pelan, tapi semakin lama film ini akan meneror penontonnya dengan perlahan tapi pasti.


Ada rasa tidak nyaman, pasrah, dan tidak berdaya sepanjang film.


Tiga poin itu lah yang mungkin akan dirasakan penonton saat mengikuti perjalanan kisah sang Dukun, Nim (Sawanee Utoomna) yang memiliki tanggung jawab terhadap warisan supranaturalnya untuk menjaga Ba Yan, sosok spirit yang dijunjung tinggi oleh keluarganya. Tetapi, problematika hadir lain ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal. Suami dari Noi (Sirani Yankittikan), kakak dari Nim meninggal tiba-tiba dan ternyata menghantui keluarga tersebut.


Apalagi, ketka Mink (Narilya Gulmongkolpech), anak dari Noi mulai mendapatkan hal-hal mistis aneh di dalam dirinya. Dia mengalami kerasukan roh jahat yang membuat keluarga ini semakin panik dan berantakan. Nim, sebagai sosok dukun keluarga ini berusaha untuk bisa menyelesaikan masalah mistis ini agar Mink bisa kembali seperti sedia kala.



Slow burn psychological horror film menjadi intensi dari The Medium ini dibuat sebagai sebuah film. Banjong memberikan pengenalan terhadap karakternya secara perlahan. Mengenalkan terlebih dahulu karakter-karakter Penting di dalam filmnya hingga dirasa penonton memiliki koneksi dengan mereka. Di saat itulah, Banjong Mulai mengeluarkan taringnya perlahan.


Penonton akan diajak untuk merasakan gimana rasa tidak nyamannya Mink yang sedang mengalami pergulatan batin dan dirinya untuk melawan roh jahat di dalam tubuhnya. Penonton diajak untuk menilik apa yang sesungguhnya terjadi oleh setiap karakternya. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benak penonton, apa yang akan terjadi di dalam tubuh Mink. Ketidaktahuan Mink dan semua karakter-karakternya terhadap kejadian yang sedang terjadi, sinyalnya bisa tertangkap oleh penonton. 



Konflik yang terasa abu-abu yang semakin membuat filmnya semakin kelam.


Banjong dalam The Medium, membuatnya sebagai media bagi dia untuk terus mempertanyakan kebenaran yang diyakini oleh penontonnya. Apa benar Bayan adalah dewa baik yang melindungi keluarga Nim? Apa benar ketidakpatuhan keluarga Nim di dalam prosesnya adalah muara dari permasalahan yang sedang dialami selama 130 menit filmnya?


Konfliknya yang abu-abu ini yang membuat The Medium terasa memiliki penuturan yang kelam. Penonton akan mudah hanyut dengan segala atmosfer horor di dalam filmnya. Bahkan, ketika film ini berakhir, penonton bisa saja merasakan kelelahan batin yang luar biasa berpengaruh. Sensasi ini yang dimaksudkan oleh Banjong untuk bisa dirasakan oleh penontonnya. Ketidaktahuan penonton dimanfaatkan Banjong untuk menggali konflik-konflik tambahan untuk semakin menggoyahkan iman penontonnya. 



Pun, tetap memiliki cita rasa horor asia yang penuh akan kultur suprantural yang kental. Masih ada sentuhan jump scares tak terduga dan efektif membuat penonton sesekali berteriak. Sedikit melegakan segala kelelahan batin dan mental yang dirasakan selama menonton The Medium ini. Jump scares di sini seakan menjadi terapi agar penonton tak selamanya merasa represif, bingung, dan pasrah dengan keadaan filmnya yang begitu kelam.


Hingga di 30 menit terakhir filmnya, The Medium pun mengambil jalan gila dengan ritual-ritual yang akan membuat penonton seakan makin pasrah dengan keadaan. Mempertanyakan lagi apa yang dianggap benar saat itu. Sehingga, penonton yang awalnya berharap menemukan sebuah titik terang dalam Konflik yang terjadi di film ini pun, seakan meredup cahayanya. Ditutup epik dengan sebuah pernyataan dari karakter Nim yang mewakili perasaan penonton selama menyaksikan segala kekacauan di penutup filmnya.



Tak salah memang untuk sekali lagi percaya dengan Banjong Pisanthanakun dalam membuat film horor. The Medium ini memang dirasa lebih tenang dibanding Shutter, tapi lebih menghanyutkan bahkan  bisa membuat tenggelam sangat dalam. Ditambah dengan bentuk mockumentary yang membuat The Medium terasa lebih nyata berkombinasi dengan segala jajaran pemain dan pemilihan bintangnya yang dirasa sangat pas dengan karakternya. Hasilnya The Medium akan menyerap jiwamu tanpa sisa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar