Sabtu, 15 Januari 2022

PENYALIN CAHAYA (2022) REVIEW: Sebuah Ironi Tentang Bagaimana Isu Penting Disampaikan

Meraih piala Citra di banyak kategori, Penyalin Cahaya mendapatkan banyak sorotan dari berbagai macam pihak. Terlebih, ini adalah pertama kalinya bagi Wregas Bhanuteja untuk mengarahkan sebuah fitur film panjang.


Dari Lemantun sampai Prenjak, karya-karyanya selalu mendapatkan perhatian. Tentu saja, Penyalin Cahaya pun demikian. Selain memenangkan penghargaan di negeri sendiri, film ini juga mendapatkan pengakuan dari penghargaan luar. Contohnya ya, Busan International Film Festival. Kehadirannya di kanal streaming film tentu sangat dinantikan.


Tetapi, sebuah permasalahan datang menyerang. Isu film ini yang ternyata mengangkat tentang kekerasan seksual menjadi bumerang. Salah satu penulis pendamping naskahnya tersandung sebuah masalah yang sama dengan isu yang diangkat di dalam filmnya. Lantas, beberapa pihak menyayangkan, kecewa, sedih, dan penuh amarah. Menonton film ini pun akan tak bisa lepas dengan bagaimana sang penulis menggunakan referensi dan pengalamannya.


Sebelum tayang pun, film ini mendapatkan kecaman. Tetapi, tentu masih ada banyak orang yang masih penasaran dengan filmnya. Bagaimana film ini dikemas, apa alasan film ini saat itu banyak mendapat pujian.



Lalu, apa Isi film ini sebenarnya?


Menceritakan tentang Sur (Shenina Lawalita Cinnamon), seorang pembuat situs daring untuk mempromosikan sebuah teater bernama Mata Hari. Karir klub teater ini sedang bersinarnya dan mendapatkan penghargaan di mana-mana. Tetapi, dalam sebuah perayaan tertutup, Sur yang menikmati acara tiba-tiba terbangun di pagi hari dan tak teringat apa-apa.


Yang dirinya dapati adalah Sur yang sudah mengunggah swafotonya yang sedang bermabuk-mabukan di media sosialnya. Pas sekali, di hari itu, Sur harus mempresentasikan progres tentang beasiswanya. Tetapi, melihat hal yang diunggah Sur di media sosialnya, tentu pihak komite universitasnya merasa harus membatalkan beasiswa Sur karena tak sesuai dengan kaidah katanya. Mengetahui hal ini, Sur tidak terima dan berusaha untuk mencari tahu siapa yang merencanakan hal jahat ini kepadanya.



Penyalin Cahaya memang bukan sebuah film yang dibuat sembarangan. Ini tetaplah sebuah film yang dibuat oleh seseorang yang memiliki gairah dengan karirnya. Dari pengarahan hingga para pemainnya. Terlebih ansembel pemain yang berhasil mengeluarkan performa terbaiknya. Shenina Syawalita Cinnamon memang pantas untuk mendapatkan perhatian. Kegelisahannya, kebingungannya, kemarahannya atas ketidakadilan yang terjadi dalam dirinya berhasil dia sampaikan lewat performa aktingnya yang luar biasa.


Mungkin durasinya yang merentang panjang hingga 130 menit, Penyalin Cahaya sesekali kehilangan keseimbangan dalam penuturannya. Acap kali, film ini terasa goyah, tak tau arah, terkuras sudah ide ceritanya untuk bisa melanjutkan kegelisahan Sur dalam menemukan keadilan. Menontonnya pun tak lagi sepenuhnya mengikat hingga durasi filmnya usai. Tetapi, ada yang menjadi sorotan. Bukan sekedar performa Penyalin Cahaya sebagai sebuah film itu sendiri. Subteks lain yang menjadikan film ini menjadi problematik.



Penyalin Cahaya menjadikan filmnya sebagai tempat para penyintas bersuara, benarkah?

Penyalin Cahaya mengangkat isu penting. Wregas memiliki hak istimewa sebagai seorang pembuat film untuk menyatakan sebuah pendapat, menyampaikan kepentingan lewat filmnya agar isu kekerasan seksual di dalam filmnya bisa ditindaklanjuti. 


Ketepatan dalam menggunakan medium di film ini untuk menyampaikan hal tersebut pun masih saja belum terlampaui. Dengan naskah yang ditulis oleh laki-laki dan menyorot kehidupan penyintas perempuan sebagai tombak utamanya, Penyalin Cahaya masih saja menggunakan subjektivitas laki-laki dalam membentuk mise-en-scene di dalam filmnya.


Terlepas —bila benar —film ini telah mengalami proses diskusi dari berbagai pihak dari berbagai gender. Tetapi, tak bisa melepaskan Bahwa film ini tetap saja menggunakan referensi laki-laki sebagai mata untuk memandang kasus yang menimpa para wanita. Tentu saja ada sebuah ketimpangan yang terjadi, bagaimana bisa subjektivitas laki-laki melihat fenomena ini.



Paham, apabila tujuan Penyalin Cahaya adalah penggambaran realistis dari sang sutradara yang ingin menunjukkan bagaimana penggambaran para penyintas yang tertindas. Lewat beberapa adegannya, Wregas membangun perasaan kesal dan penuh amarah. Realita kelam yang terasa penuh ambisi untuk menyuarakan isunya dengan lantang. Tetapi, keputusan beberapa adegan untuk membuat ini berpihak kepada penyintas rasanya masih belum bijak.


Penyalin Cahaya terasa sebagai tempat untuk para pembuatnya mengkomodifikasi isu itu untuk menjadi sebuah tontonan, bentuk seni seperti yang terjadi oleh Sur di dalam filmnya. Ironis rasanya melihat kejadian di dalam filmnya, ternyata menggambarkan jati diri filmnya. Menyalurkan kesenangan dalam batin pembuatnya atas nama para penyintas.


Apabila ditelisik lebih dalam, beberapa penggambaran adegannya pun seakan membuat dilema. Bahkan, dalam fase menyayangkan pemilihan keputusannya untuk memilih adegan tersebut di dalam filmnya.



[PERINGATAN SPOILER]


Adegan fogging dan pengemasannya yang puitis.  Sang pelaku memasuki rumah, menggunakan pakaian teatrikalnya untuk ‘mengubur’ bukti yang dimiliki para korbannya dengan Mudahnya. Perasaan marah sejadi-jadinya muncul dalam benak. Bagaimana lagi-lagi pelaku memenangkan pertarungan. Pelaku lagi-lagi diromantisasi dengan adegan subtil dan penuh subteks. 


Apabila memang film ini ditujukan kepada para penyintas, digunakan sebagai medium untuk bersuara. Tapi, konklusinya pun tak menunjukkan keadilan. Bagaimana para pelaku akhirnya tetap berkeliaran. Bagaimana pelaku tak bisa ditunjukkan sebab-akibat atas perbuatan amoralnya kepada publik. Sehingga, mungkin penonton akan muncul asumsi-asumsi baru lagi kepada para penyintas. Bahwa, sesungguhnya kejadian ini bisa terjadi memang kesalahan dari penyintasnya. Pengalaman yang tak diinginkan ini bisa jadi karena para penyintas memberikan cela Kepada pelakunya.


Sedih, marah, dan sungguh disayangkan apabila diskursus itulah yang harus keluar dari benak penontonnya. Akan makin sulit perjuangan para penyintas dalam realita sesungguhnya untuk meyakinkan masyarakat awam tentang pentingnya isu ini diperjuangkan. 



Dalam adegan penghujungnya, dialog dan pembangunan adegannya yang menyebutkan bahwa ini akan hanya sebagai sebuah cerita saja. Hal ini tentu secara tak langsung melanggengkan, mengaminkan kekerasan seksual terjadi di sekitar. Hal ini seakan melumrahkan untuk mengubur trauma dalam-dalam bagi para penyintas atas kekerasan seksual yang dialaminya.


Bahkan, sang pelaku hanya mendapatkan satu tonjokan kecil dan masih memiliki waktu untuk tertawa miris. Terlihat sebagai gestur kecil memang. Tetapi, bayangkan saja apabila pelaku di luar sana masih saja bisa memiliki waktu tertawa di atas trauma kekerasan seksual. Hanya mendapatkan sedikit hukuman dari pedihnya perasaan korban yang harus meluangkan waktu dan batinnya untuk bisa menyembuhkan lukanya. Bukankah getir rasanya? Bukankah akhirnya Penyalin Cahaya hanya tempat sang pembuatnya untuk meromantisasi isunya? 


Maksud tulisan ini pun, bukan untuk menyimpulkan sendiri. Tetapi, untuk memunculkan ruang diskusi. Apa iya Penyalin Cahaya adalah medium yang tepat untuk bagi para penyintas mewakilkan suaranya untuk bisa didengar oleh khalayak yang lebih luas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar