Minggu, 14 Februari 2016

AACH... AKU JATUH CINTA (2016) REVIEW : Kekacauan Indah Sebuah Puisi Visual


Februari telah datang.  Muda dan mudi akan menyelenggarakan sebuah selebrasi cinta besar-besaran di dua minggu pertama. Tentu, euforia akan selebrasi cinta megah di penjuru dunia ini akan dirasakan oleh sejuta umat. Bukan hanya pasangan yang sedang dimabuk cinta, pun juga dirasakan oleh sineas-sineas untuk ikut serta meramaikan hari kasih sayang ini. Dan dengan cara memberikan tontonan romansa cinta itulah, para sineas berkontribusi menyemarakkan hari kasih sayang ini.

Salah satunya yang ikut serta dalam gegap gempita selebrasi kasih sayang ini adalah Garin Nugroho. Ya, meskipun pada awalnya film ini tak dikhususkan untuk meramaikan hari kasih sayang dan rilis akhir tahun lalu. Dan menayangkannya ke dalam bulan yang penuh kasih sayang pun akan dianggap pemilihan yang tepat. Garin mempersembahkan sebuah kisah kasih Romi dan Yuli lintas zaman lewat film Aach... Aku Jatuh Cinta.

Garin Nugroho terkenal dengan keunikannya dalam bertutur tanpa melupakan estetika yang membuat mata juga ikut terhibur. Meskipun, tak bisa banyak orang yang ikut turut serta merasakan gegap gempita Romi dan Yuli berpesta merayakan cinta. Tak peduli dengan itu, Garin Nugroho masih berusaha keras agar Aach... Aku Jatuh Cinta bisa diterima. Dan jadilah, Aach... Aku Jatuh Cinta sebagai sebuah puisi cinta paling tak terurus tetapi terindah yang pernah ada. 


Rumi (Chicco Jericho) dan Yulia (Pevita Pearce) hidup bertetangga sejak kecil. Mereka memiliki cerita pribadi masing-masing dengan keluarganya. Kehidupan Rumi sebenarnya baik-baik saja sampai usaha keluarganya harus terancam karena produk-produk impor yang masuk dan membuat ayahnya pailit. Hal ini menyebabkan sang ayah berlaku semena-mena dengan Rumi dan Ibunya. Dan dengan alasan ini pula, sang Ibu memutuskan untuk pergi meninggalkan Rumi dan Ayahnya.

Rumi dan Yuli adalah sahabat sejak kecil, dan ketika beranjak dewasa hubungan tersebut terasa lebih dekat. Rumi secara intensif mendekati Yuli karena menurutnya dia telah jatuh hati para Yuli. Meskipun, Yuli telah berusaha keras untuk menjauhi Rumi agar terhindar dari masalah-masalah hidupnya. Dan ketika Rumi pindah karena rumahnya di sita oleh perusahaan ayahnya, Yuli pun merindukan canda tawa Rumi. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda ketika Rumi pergi. 


Romi dan Yuli, terkesan sangat mirip dengan Romeo dan Juliet, sebuah roman klasik karangan William Shakespeare. Jelas, ini bukanlah sebuah ketidaksengajaan adanya kemiripan dengan karakter milik William Shakespeare ini.  Ya, Aach... Aku Jatuh Cinta menggunakan sebuah anagram dari nama karakter sebuah kisah cinta sepanjang zaman yang juga berkaitan dengan karakter-karakter yang dibuat oleh Garin Nugroho.

Kisah cinta Romeo dan Juliet yang legendaris yang tak pernah lekang dimakan zaman, kembali digunakan sebagai pondasi cerita Aach... Aku Jatuh Cinta. Kisah cinta konstruksi Garin Nugroho ini melewati 3 generasi dengan ikonnya masing-masing. Kultur di setiap era yang mulai berubah juga semakin lama mempengaruhi bagaimana karakter-karakter di film Aach... Aku Jatuh Cinta berkembang di setiap menitnya. Dan hasilnya, penonton disuguhkan bagaimana Romi dan Yulia tak hanya sekedar bertahan akan konflik yang menimpanya, tetapi juga perubahan karakternya yang semakin matang.

Oh, tentu saja Garin Nugroho tak henti-hentinya bermain dengan simbol-simbol yang sudah menjadi ciri khasnya dalam bertutur. Pun dengan Aach... Aku Jatuh Cinta, film ini digunakan sebagai tanda bahwa bahasa akan berubah di setiap generasinya. Bahasa memiliki sifat dinamis yang akan selalu berubah sesuai dengan apa yang disepakati pada era itu. Hal itu akan sangat terasa lewat dialog-dialog yang dilantunkan oleh Romi dan Yulia di sepanjang film. 


Sifat baku yang ditempelkan kepada bahasa yang digunakan setiap harinya semakin lama akan semakin menghilang. Dan sesuai dengan judul filmnya, Aach... Aku Jatuh Cinta, film ini adalah sebuah perpaduan bahasa-bahasa dari setiap era yang akan terasa sangat kacau. Hanya saja, kekacauan itu berubah menjadi sebuah balada asam manis cinta yang indah dan terasa sangat nyata. Bukan terasa mengada-ada, layaknya kisah cinta Romi dan Yulia yang tak menemukan akhirnya.

Ya, puisi visual milik Garin Nugroho lewat kisah Romi dan Yuli ini adalah sebagai penanda bagaimana sebuah kultur dalam negeri yang selalu bertahan. Meski perlahan, para “ahli waris” kultur ini semakin dikikis oleh pemikiran-pemikiran barat yang dijadikannya sebagai kiblat baru. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh kultur-kultur domestik ini selain bertahan dengan sisa-sisa relawan yang setia? Dan Garin Nugroho berusaha untuk mengingatkan itu lewat Aach... Aku Jatuh Cinta.

Meskipun carut marut, tetapi Aach... Aku Jatuh Cinta bukanlah film dengan teknis yang sembarangan. Garin Nugroho tetap memperhatikan detil-detil menarik lewat sandang-sandang cantik yang digunakan oleh para pelakonnya. Sehingga, akan terasa benar bagaimana Aach... Aku Jatuh Cinta menjadi sebuah maha karya cinta sebagai selebrasi kasih sayang dan bahasa. Pun, dengan lantunan musik moderen dikemas klasik yang membuat penonton mudah jatuh hati. 


Mungkin, ini adalah salah satu karya dari sutradara Garin Nugroho untuk merayakan kekuatan cinta dan budaya yang bertahan dalam era yang semakin berubah. Aach... Aku Jatuh Cinta bukanlah sekedar romansa kisah kasih Romi dan Yuli dengan plot tak mendalam. Garin Nugroho akan berusaha menempelkan pesan-pesan simbolik lewat beberapa dialognya dan perubahan-perubahan halus para karakternya yang semakin terasa matang. Maka jadilah. Aach... Aku Jatuh Cinta sebagai sebuah kekacauan puisi visual yang indah dan menyenangkan.     

3 komentar: