Kamis, 17 Oktober 2013

REVIEW - THE BUTLER

Tema rasis memang sering di gunakan oleh sineas Hollywood untuk membuat suatu karya. Lee Daniels kali ini mencoba untuk mengangkat tema ini ke dalam sebuah film semi biopic tentang kepala pelayan berkulit hitam. The Butler adalah judul yang di gunakan oleh Lee Daniels di film terbarunya kali ini.
 

Cecil Gaines (Forest Whitaker) adalah seorang anak dari penjaga kebun. Ayahnya meninggal di tembak pemilik kebun dan Ibunya menjadi gila karena mengalami trauma pernah di perkosa oleh pemilik kebun. Akhirnya Cecil pun di ajari oleh seorang wanita tua bernama Annabeth (Vanessa Redgrave) untuk menjadi seorang pelayan.

Akhirnya setelah dewasa, dia pun berkelana mencari pekerjaan. Dia pun berpindah-pindah. Dari menjadi pelayan sebuah toko, lalu menjadi pelayan di sebuah hotel bintang lima, dan akhirnya dia di rekomendasikan menjadi Kepala Pelayan di Istana Negara milik Amerika. Dia pun mendedikasikan penuh dirinya selama berpuluh-puluh tahun di tempat itu. 

Another Colored-skin racism story
Kulit hitam serta konflik-konfliknya sering sekali di angkat oleh sineas hollywood ke dalam sebuah gambar bergerak di layar. Tema-tema rasisme itu sepertinya masih menjadi suatu hal yang bisa diangkat dan mencuri perhatian banyak orang. Crash, film yang juga bertema rasisme itu pun masih bisa mencuri para juri Academy Awards dan menobatkan film itu menjadi Best Picture di tahun 2004. Tiap tahunnya, banyak film nominee Best Picture Academy Awards yang memiliki tema tentang orang kulit hitam dan tema rasisme kepada orang kulit berwarna.

The Help dan Django Unchained contohnya. Pengangkatan tema tentang Colored-skin people dengan treatment yang berbeda. The Help lebih mengarahkan film ini menjadi Drama melankolis dan penuh tangis haru. Django Unchained lebih menuju sebuah film Spaghetti Western dan lebih gila. Mereka menjadi dua film favorit saya. Lee Daniels pun mengangkat tema yang sama tapi dengan sentuhan biopic tentang seorang Kepala Pelayan yang juga berkulit hitam.

The Butler sendiri di ambil dari kisah nyata. The Butler tidak seperti The Help yang di sadur dari novel. Tapi, treatment mereka memiliki kesamaan. Membawa film ini menjadi film drama melankolis yang penuh inspirasi. Tapi sayangnya, saya lebih menyukai film The Help ketimbang The Butler. Dari segi kisah, kita akan menyaksikan berbagai konfliknya yang biasa saja. Beberapa perlakuan dari sang sutradara yang membuat film ini malah terkesan biasa saja meskipun ini jelas film ini sangat ‘Academy Awards’ dan bisa masuk ke dalam nominasi. 


Penuturan Lee Daniels untuk film ini masih kurang tertata jika saya boleh bilang. Awal film ini, sangat di ceritakan dengan begitu cepat. Tanpa ada penjelasan yang lebih lagi terutama keluarga dari Cecil sendiri. Konflik-konfliknya terjadi begitu cepat di awal film. Lee Daniels seperti masih kurang total dalam menggarap film ini. Sehingga film Biopic ini masih berjalan setengah-setengah. Malah banyak side story nya yang terlihat tidak nyata untuk menjadikan film ini menjadi film biopic.

Saya seperti masuk ke dalam dunia fiksi layaknya The Help. The Butler masih kurang bisa menggali lebih dalam lagi siapa itu Cecil. The Butler lebih ke konflik Cecil dengan Keluarganya. Dengan penokohan yang sedikit ngeblur tentang Cecil sendiri yang notabene adalah karakter utamanya. Banyaknya karakter-karakter di film ini yang masih diperhatikan juga. Daripada memilih satu karakter utama yang benar-benar di gali lebih dan terfokus. Itulah kelemahan The Butler. 

Hit and Miss moment and Forest Whitaker makes this movie better.
Karena penggarapan yang menurut saya masih setengah-setengah, banyak sekali momennya yang kadang mengena dan kadang tidak. Karena ada beberapa momennya yang mampu menyentuh hati penontonnya kala menyaksikan film ini. Tapi ada juga yang akhirnya juga gagal. Karena cerita yang di tuturkan masih kurang membangun momennya. Penuturan ceritanya yang kurang baik dan terkesan terburu-buru itulah yang akhirnya membuat momen mengharukan yang inginnya di tampilkan oleh Lee Daniels pun gagal di sajikan.

Maka, yang berhasil memberikan momennya adalah Forest Whitaker yang memerankan karakter Cecil dengan baik. Dia terlihat total dan bermain dengan bagus menjadi sosok Cecil, Kepala Pelayan yang bertugas dengan penuh tanggung jawab. Sepertinya, Forest Whitaker setidaknya akan masuk ke dalam nominasi Oscar dalam Best Actor tahun ini. Permainan mimik dan bagaimana dia mendalami sosok Cecil inilah yang mampu mengangkat semua momen haru biru di adegan film ini. 


Untuk cast-cast yang lain, Oprah Winfrey juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Meskipun saya sangsi dia akan mendapatkan nominasi. David Oyelowo yang juga menjadi sorot banyak di banyak konflik film ini juga masih bermain bagus. Nama-nama lain seperti Terrence Howard, James Marsden, Alan Rickman, dan John Cusack mampu bermain menghiasi layar dan membuat film ini berwarna. Serta penampilan singkat Alex Pettyfier dan Mariah Carey hanya pemanis saja di film ini.

Sukanya, The Butler pun memberikan penggambaran-penggambaran yang asyik tentang periode kepemimpinan banyak Presiden Amerika. Inilah yang membuat saya setidaknya menikmati film ini. Periode-periode dari presiden Amerika seperti John F. Kennedy, Richard Nixon, Ronald Reagan dan yang lainnya menjadi presentasi menarik. Memperlihatkan keadaan-keadaan pemerintahan yang mencoba untuk mengatasi perseteruan antara white-skin people dengan colored-skin people di Amerika yang memang sering terjadi. 


Overall, The Butler adalah sebuah film Biopic yang tidak jelek tapi tak juga bagus sekali. Masih sangat bisa di nikmati. Menjadi sebuah film dengan tema rasisme lainnya yang mungkin akan mencuri hati juri Academy Awards tahun ini. Bukan yang terbaik di temanya, tapi Forest Whitaker masih bisa mengangkat momen haru biru di film ini.

 

1 komentar: